Krisis Doktor

Terkejut juga ketika mendengar rekan seperjuangan saya S3 di Thailand dikabarkan meninggal dunia. Masih muda, ketua program studi, usia tiga tahun di bawah saya. Yang sedang S3 pun tidak kalah beritanya, banyak juga yang telah pergi mendahului. Berita yang kian membuat para dosen-dosen baik junior maupun senior berfikir beberapa kali untuk lanjut kuliah ke jenjang tertinggi. Sebagai informasi, dari situs resmi pemerintah menunjukan dosen berpendidikan S3 masih seperempat dari dosen berpendidikan tertinggi S2.

Untuk berbicara di level dunia memang sangat sulit, bahkan di asia tenggara pun kita kalah dengan tetangga dekat (Lihat). Dibanding AS yang memiliki 9.850 per 1 juta orang, kita hanya 143 orang doktor/1 juta orang. Ok, lupakan semua itu, yang penting adalah bagaimana membuat semangat dosen-dosen muda kita kan.

1. Anggap saja Doktoral Main-Main

Sambil mendengarkan suara burung perkutut, sore itu seperti biasa saya nongkrong di warung kopi langganan para mahasiswa di tempat saya kuliah. Waktu ujian memang kurang menyenangkan karena wajah-wajah para mahasiswa tidak seperti biasanya. Wajah yang tegang, cemas, pasrah, dan sebagainya membuat kita ikut juga tertular. Termasuk rekan-rekan mahasiswa dari Indonesia. Namun beberapa ada juga yang santai, tidak terpengaruh hal tersebut.

Acara minum kopi merupakan sarana kumpul dan berbincang dengan teman seperjuangan. Terkadang solusi ditemukan saat itu, bukan saat duduk serius di meja belajar kamar. Bahkan solusi yang ‘strategis’ dan ‘illogical’ bisa muncul, yang bisa men-cut atau mem-bypass jalan menuju lulus. Nah, rekan saya merupakan mahasiswa jurusan mekatronika yang menurut saya cukup sulit, mengingat eksperimen membutuhkan alat-alat yang harus dibeli. Tidak seperti saya, eksperimen hanya menggunakan laptop subsidi kampus. Iseng saya bertanya, ‘sebenarnya yang dicari mahasiswa doktoral apa ya?’. Di luar dugaan, dia hanya menjawab riset S3 itu hanya main-main. Di sini main-main maksudnya adalah tidak serius. Jadi, jangan berfikir luaran S3 adalah paten, atau bahkan nobel prize. Walaupun kalau bisa ya hebat banget. Mirip pesan DIKTI ketika melepas para mahasiswa bahwa dana bagi negara kita sangat penting, jadi fokus saja lulus secepat mungkin. Bahkan beberapa referensi mengatakan bahwa disertasi kita seharusnya merupakan ‘tulisan terburuk’ kita. So, tulisan kita setelah lulus harus lebih baik lagi. Dan alasan berikut ini juga mendukung ‘main-main’ itu.

2. Paper Tidak bisa untuk naik Pangkat

Ini sedikit di luar nalar. Salah satu syarat lektor kepala ternyata paper yang bukan bagian dari disertasi. Banyak lulusan S3 yang sudah ‘kelelahan’ mengerjakan laporan dengan hasil paper ilmiah, ketika mau naik pangkat ditolak syarat khususnya karena bagian dari disertasi. Repot juga. Jadi info ini sangat mendukung point 1 di atas, alias ngapain serius banget kalau ujung-ujungnya harus riset yang 75% berbeda dari disertasi atau riset saat kuliah S3 dulu. Tapi, untungnya paper yang jadi syarat naik pangkat (syarat khusus) boleh jurnal nasional Sinta 2, tidak harus terindeks Scopus atau bereputasi, tentu saja khusus dosen yang sudah doktoral.

Kita sudah berbeda jaman dengan pendahulu-pendahulu kita, seperti di film Oppenheimer di jamannya mahasiswa doktoral adalah ‘ultimate’ ilmuwan yang bisa mendobrak jaman. Lanjut ke generasi berikutnya, jika Anda mengenal bahasa Rubi and Rails, itu merupakan karya disertasi mahasiswa S3, termasuk juga database no-sql ‘mongo-db’.

3. Santai

Berbeda dengan jaman dulu, justru saat ini mahasiswa tidak bisa santai padahal hiburan makin banyak, baik para ekstrovert, maupun introvert seperti saya tersedia juga hiburan. Orang jaman dulu mungkin hanya mengandalkan merokok sambil ngopi. Bahkan kabarnya mahasiswa di era 90-an yang kuliah di Thailand nonton McGyver di TV sambil mendengarkan radio karena di TV di dubbing bahasa Thailand, sementara bahasa Inggrisnya dari radio .. hehe. Ya, memang resikonya saya sudah beberapa teman kuliah dari negara lain mengatakan saya malas, tapi ya tetap santai, toh saya lulus duluan ujung-ujungnya.