Dalam dunia akademik ada jurang pemisah antara riset dan skill/keterampilan. Jika riset mengharuskan adanya penelitian yang menghasilkan kontribusi, skill mengharuskan seseorang mampu mengerjakan dan menghasilkan sesuatu. Biasanya keterampilan diuji dengan ujian LSP sementara riset lewat tugas akhir. Riset biasanya menguji sesuatu, entah itu metode maupun melakukan improvement agar dihasilkan metode yang lebih baik. Hanya saja untuk level sarjana (S1) tentu saja tidak diharuskan menghasilkan metode baru baik modifikasi maupun metode baru (novelty).
Agak sedikit membingungkan jika mahasiswa S1/sarjana profilnya mampu riset, yang biasanya itu untuk S2 dan S3. Mahasiswa S1 sendiri profilnya jika disesuaikan dengan aturan pemerintah hanya di level menggunakan saja. Istilah menggunakan ini bukan menggunakan tools seperti SPSS, rapid miner, atau tool lain yang fokusnya ke riset, tapi menggunakan bahasa pemrograman, pengetahuan jaringan komputer, framework-framework aplikasi, dan sejenisnya yang memang sangat dibutuhkan dunia kerja/industri.
Ada sedikit masalah ketika mahasiswa S1 syarat lulusnya publish di jurnal. Walaupun kadang ada juga aturan kampus (maksudnya mungkin baik, standar melebihi standar DIKTI) yang mengharuskan publish, atau sekedar submit (nah, ini yang merepotkan pengelola jurnal seperti saya, karena mereka asal submit dan ‘nyampah’ – tak perduli diterima atau tidak).
Kampus tertentu saya lihat memiliki sedikit trik, yakni tidak hanya membangun sistem dengan 1 model, melainkan beberapa model yang dibandingkan, setelah itu ketika sudah jadi diimplementasikan dalam sebuah aplikasi sederhana (bukan dalam script saja, e.g. di colab/editor). Jadi riset nya dapat, skill develop system dapat. Untungnya saat ini masalah implementasi jadi mudah dengan bantuan ChatGPT.
Selain itu mahasiswa perlu memodifikasi kode, mirip dengan parafrase tulisan biasa, agar tidak terdeteksi plagiarisme kode program [link]. Berikut contoh implementasi Deep Learning pada Web.