Di dunia per-medsos-an, atau mungkin saat ini yg lebih tepat per-tik-tok-an, bosan merupakan indikator kalau suatu konten gagal. Tiap orang berusaha membuang jauh-jauh istilah tersebut kalau ingin tetap diperhatikan. Di sinilah problem untuk bangsa kita, dengan jumlah nitizen yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Apakah ini baik-baik saja?
Untuk menarik perhatian usaha membuat sesuatu itu tidak membosankaan adalah baik, tetapi lebih baik lagi membuat sesuatu yang membosankan menjadi menarik. Mbah surip pernah menyanyikan lagu dengan lirik ” bangun tidur, tidur lagi. Bangun lagi, tidur lagi. Bangun … tidur lagi, hahaha”. Unik juga, sesuatu yang membosankan bisa dikemas menarik.
Sebagian besar kegiatan kita sehari-hari pun bisa dibilang membosankan, akan tetapi toh tetap harus dijalankan. Jika kita perhatikan anak-anak, mereka melakukan sesuatu yang bagi kita membosankan dan tidak menarik dengan keceriaan. Ternyata salah satu prinsip yang mereka jalankan adalah keingintahuan atau kalau dalam bahasa Inggris curiosity. Atau dalam istilah kekiniannya: kepo. Anak-anak ingin tahu segala hal, maka bagi mereka kehidupan tidak ada yang membosankan. Repotnya ketika masuk dunia pendidikan, khususnya pendidikan di negara kita, keingintahuan secara perlahan berkurang.
Saya pernah menghadiri pelatihan seminggu tentang penulisan artikel ilmiah. Dalam kondisi habis sesi ISHOMA, hawa kantuk mulai menyelimuti peserta dan sang profesor pun agak kesulitan dalam mengatasi kondisi membosankan.
Karena ngantuk saya coba untuk menggunakan ke-kepo-an saya. “Prof, mengapa judul gambar di bawah tetapi judul tabel di atas?”, wajah sang profesor pun tiba-tiba cerah. Sepertinya terkejut senang karena ada juga yang memperhatikan. Dia menjelaskan dengan sedikit logika bahwa judul tabel di atas karena tabel tumbuh ke bawah, sementara judul gambar di bawah karena biasanya gambar tumbuh ke atas, walaupun ada gambar tertentu yang memang tumbuh ke bawah, misalnya bagan organisasi. Lihat, sesuatu yang membosankan ternyata bisa juga menarik.
Einstein enggan dibilang orang cerdas, dia hanya ingin dibilang orang yang selalu ingin tahu. Nah, rendah hati bukan? Ya, rendah hati adalah salah satu obat kalau ingin memiliki sifat ingin tahu.
Saya pernah ikut kuliah umum pada mata kuliah tertentu tentang GIS, selesai presentasi beberapa mahasiswa bertanya. Yang unik adalah terkadang pertanyaan-pertanyaan dari siswa yang berasal dari Jepang adalah pertanyaan yang menurut saya waktu itu biasa saja, kalau tidak ingin dibilang ‘katro’, kalau dalam istilah anak gaul “ya elah, gitu aja kok nanya”. Tapi kalau dipikir-pikir, namanya orang bertanya pasti maksudnya ingin tahu kan? bukan ingin dipuji. Jadi jika ada keingintahuan di hati kita, buang jauh-jauh gengsi, takut dibilang bodoh, dan lain-lain.
Ketika masih mengagung-agungkan gengsi maka salah sendiri jika menderita karena tidak tahu, mirip puisi Khairil Anwar “Bukan maksudku mau berbagi nasib, nasib adalah kesunyian masing-masing’. So, agar tidak bernasib malang, buang jauh-jauh gengsi agar tidak ‘malu bertanya sesat di jalan’ menyelimuti kita. Yang tidak sedang tugas belajar pun jika selalu ingin tahu, maka berarti lifelong learning ada dalam diri kita. Oiya, sebaiknya jangan pangkas keingintahuan hanya pada gossip, atau ghibah, atau perpolitikan praktis yang saat ini sedang jadi alat baik media massa ataupun medos agar jadi trending topic, gunakan untuk pekerjaan/tugas sehari-hari juga, dan semoga pekerjaan dan tugas kita hari ini lancar ya gays.