Kualitas Udara Kita

Kalau kita jalan-jalan ke Jakarta sering kita jumpai tempat/jalur pesepeda yang kadang-kadang diisi oleh motor. Saya lihat pesepeda rata-rata cukup lengkap dari seragam, alat minum, hingga asesoris-asesori lainnya. Sempat terpirkan bagaimana mereka sanggup menggenjot sepeda di kondisi udara Jakarta seperti itu. Postingan ini sedikit membahas bagaimana mengetahui kualitas udara di tempat kita.

Kualitas udara secara detil dapat diperoleh dengan memasang sensor di titik-titik tertentu di wilayah yang akan dicari datanya. Salah satu website yang dapat diakses antara lain Link berikut [URL]. Gambarannya adalah sebagai berikut.

Kalau dilihat Jakarta berwarna ungu yang dari legend artinya Berbahaya. Silahkan kalau mau bersepeda pun tidak apa-apa asal bawa masker. Link yang lain ada juga yang lebih detil membahas kualitas udara berdasarkan titik-titik tertentu [URL].

Situs ini berisi informasi lokasi sensor kualitas udara. Hasilnya dapat dilihat secara detil berikut ini. Kondisi berbahaya ternyata ada saran untuk penduduk berikut ini.

Di sini tampak bahaya bagi kelompok orang yang sensitif. Untuk yang masalah di paru-paru, istilahnya halusnya apa ya, bahasa betawinya sih bengek, silahkan menggunakan masker jika ingin beraktifitas di wilayah tersebut.

Ibu Kota Baru – Nusantara

Pilpres 2024 sudah berlalu dan kemungkinan besar presiden pendukung ibu kota baru yang menang, jadi IKN tetap berjalan (walau siapapun yg menang sih, karena sudah ditetapkan). Terpikir di benak saya keinginan untuk melihat seperti apa sih IKN itu. Mirip istilah Semesta Mendukung (mestakung) yang dicetuskan oleh Prof Yohannes Surya, tiba-tiba ada tugas ke salah satu kampus negeri di Balikpapan. Kebetulan dah.

Seperti biasa, pesawat menuju bandara Sepinggan dari tempat saya lewat Soetta. Berangkatlah ke sana dengan Garuda selama kurang lebih dua jam. Bandara itu ternyata tidak terlalu besar tidak juga kecil, mungkin karena tidak sepadat bandara di kota-kota besar lain seperti Surabaya, Bali, atau Jogja. Namun fasilitas sudah cukup baik.

Karena hari sudah menjelang siang, terpaksa mampir di warung makan Buguri, yang merupakan singkatan dari Bumbu Gurih. Lokasinya di pinggir pantai, dengan pemandangan yang oke banget.

Perjalanan ke IKN karena belum ada toll langsung harus melewati toll ke Samarinda, berbelok ke barat melewati jalan berliku dari lokasi hotal Platinum butuh 1.5 jam. Kabarnya jika sudah ada toll langsung yang melewati muara yang menjorok ke dalam IKN tidak sampai 1 jam.

Banyak kendaraan berat lewat, maklum ada target deadline 17 Agustus 2024 akan ada upacara 17-an di IKN yang dihadiri oleh presiden Jokowi. Nah, ada warung makan Acang, yang dikepalai oleh keturunan Cina yang ternyata enak juga dengan rasa khas masakah Cina.

Setelah shalat, lanjut ke IKN yang melewati jalan naik turun (tidak rata). Setelah tiba tampak pohon-pohon ekaliptus yang biasa dijadikan bahan baku kertas. Sepertinya dulu tempat hutan untuk pabrik kertas.

Sepertinya masih on progress agar bisa jadi tempat rekreasi. Ada satu stan untuk nyewa foto-foto di titik nol IKN. Titik nol ditandai dengan satu gapura kecil buatan Badan Informasi Geospasial (BIG). Lihat orang-orang yang foto, jadi kepengen juga.

Hari ketiga (selasa) entah kenapa tiba-tiba di hotel ramai, banyak polisi, ternyata beberapa hari kemudian (hari jumat), presiden Jokowi menengok progres pengerjaan IKN. Tiga hari ternyata sudah cukup untuk melihat bagaimana kondisi Balikpapan yang sepertinya tidak lama lagi akan ramai. Oiya, jangan lupa beli Mantau rasa sapi lada hitam ya …

Mem-bo-san-kan

Di dunia per-medsos-an, atau mungkin saat ini yg lebih tepat per-tik-tok-an, bosan merupakan indikator kalau suatu konten gagal. Tiap orang berusaha membuang jauh-jauh istilah tersebut kalau ingin tetap diperhatikan. Di sinilah problem untuk bangsa kita, dengan jumlah nitizen yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Apakah ini baik-baik saja?

Untuk menarik perhatian usaha membuat sesuatu itu tidak membosankaan adalah baik, tetapi lebih baik lagi membuat sesuatu yang membosankan menjadi menarik. Mbah surip pernah menyanyikan lagu dengan lirik ” bangun tidur, tidur lagi. Bangun lagi, tidur lagi. Bangun … tidur lagi, hahaha”. Unik juga, sesuatu yang membosankan bisa dikemas menarik.

Sebagian besar kegiatan kita sehari-hari pun bisa dibilang membosankan, akan tetapi toh tetap harus dijalankan. Jika kita perhatikan anak-anak, mereka melakukan sesuatu yang bagi kita membosankan dan tidak menarik dengan keceriaan. Ternyata salah satu prinsip yang mereka jalankan adalah keingintahuan atau kalau dalam bahasa Inggris curiosity. Atau dalam istilah kekiniannya: kepo. Anak-anak ingin tahu segala hal, maka bagi mereka kehidupan tidak ada yang membosankan. Repotnya ketika masuk dunia pendidikan, khususnya pendidikan di negara kita, keingintahuan secara perlahan berkurang.

Saya pernah menghadiri pelatihan seminggu tentang penulisan artikel ilmiah. Dalam kondisi habis sesi ISHOMA, hawa kantuk mulai menyelimuti peserta dan sang profesor pun agak kesulitan dalam mengatasi kondisi membosankan.

Karena ngantuk saya coba untuk menggunakan ke-kepo-an saya. “Prof, mengapa judul gambar di bawah tetapi judul tabel di atas?”, wajah sang profesor pun tiba-tiba cerah. Sepertinya terkejut senang karena ada juga yang memperhatikan. Dia menjelaskan dengan sedikit logika bahwa judul tabel di atas karena tabel tumbuh ke bawah, sementara judul gambar di bawah karena biasanya gambar tumbuh ke atas, walaupun ada gambar tertentu yang memang tumbuh ke bawah, misalnya bagan organisasi. Lihat, sesuatu yang membosankan ternyata bisa juga menarik.

Einstein enggan dibilang orang cerdas, dia hanya ingin dibilang orang yang selalu ingin tahu. Nah, rendah hati bukan? Ya, rendah hati adalah salah satu obat kalau ingin memiliki sifat ingin tahu.

Saya pernah ikut kuliah umum pada mata kuliah tertentu tentang GIS, selesai presentasi beberapa mahasiswa bertanya. Yang unik adalah terkadang pertanyaan-pertanyaan dari siswa yang berasal dari Jepang adalah pertanyaan yang menurut saya waktu itu biasa saja, kalau tidak ingin dibilang ‘katro’, kalau dalam istilah anak gaul “ya elah, gitu aja kok nanya”. Tapi kalau dipikir-pikir, namanya orang bertanya pasti maksudnya ingin tahu kan? bukan ingin dipuji. Jadi jika ada keingintahuan di hati kita, buang jauh-jauh gengsi, takut dibilang bodoh, dan lain-lain.

Ketika masih mengagung-agungkan gengsi maka salah sendiri jika menderita karena tidak tahu, mirip puisi Khairil Anwar “Bukan maksudku mau berbagi nasib, nasib adalah kesunyian masing-masing’. So, agar tidak bernasib malang, buang jauh-jauh gengsi agar tidak ‘malu bertanya sesat di jalan’ menyelimuti kita. Yang tidak sedang tugas belajar pun jika selalu ingin tahu, maka berarti lifelong learning ada dalam diri kita. Oiya, sebaiknya jangan pangkas keingintahuan hanya pada gossip, atau ghibah, atau perpolitikan praktis yang saat ini sedang jadi alat baik media massa ataupun medos agar jadi trending topic, gunakan untuk pekerjaan/tugas sehari-hari juga, dan semoga pekerjaan dan tugas kita hari ini lancar ya gays.

Kita Ingin Diperlakukan Sama

Cepat sekali waktu berlalu, tahu-tahu sudah mulai bulan puasa lagi. Beberapa kegiatan banyak yang numpuk minggu-minggu menjelang bulan penuh berkah ini. Hari jumat ini, sudah bisa ditebak, tema kutbah Jumat pasti tidak jauh dari perintah puasa.

Salah satu ayat yang terkenal adalah Al-Baqarah ayat 183 tentang perintah untuk berpuasa. Yang unik dari surat ini adalah “..sebagaimana telah diwajibkan kepada kaum-kaum sebelum kamu..”. Argumen sederhana yang menyentuh salah satu sifat manusia yang selalu membanding-bandingkan dan iri jika diperlakukan tidak adil.

Perintah sunat pun perlu narasi penjelasan bahwa perintah tersebut telah dilakukan oleh umat-umat sebelumnya bahkan sejak jaman nabi Ibrahim a.s. Sepertinya sifat ingin diperlakukan sama merupakan bawaan dari manusia.

Ketika diimplementasikan pada kebijakan, hasilnya pun serupa. Kalau tidak membeda-bedakan, hasilnya dijamin akan damai, sebaliknya jika ada perlakuan yang membeda-bedakan, diskriminasi, dan sejenisnya, pasti ada penolakan. Mirip apartaid di Afrika Selatan, atau jaman penjajahan Belanda dulu, tidak akan lama, penguasa akan runtuh. Bukan hanya sekedar sama, tentu ada unsur keadilan juga. Mirip permintaan Nabi Muhammad SAW yang meminta adanya perlakuan khusus untuk umatnya yang umurnya singkat, berbeda dengan jaman nabi-nabi yang terdahulu yang bisa sampai ratusan tahun usianya. Akhirnya diberikanlah malam Lailatul Qadar, yang satu malam jika beribadah setara dengan 1000 bulan atau sekitar 83 tahun.

Untuk pemerintahan yang sebentar lagi berganti, jika ingin damai, sebaiknya kebijakan tidak membeda-bedakan, karena tidak ada yang suka diperlakukan berbeda dengan yang lain.