Uang Kuliah Tunggal

Ketika anak masih TK, SD, dan sekolah menengah, orang tua bekerja dan melakukan aktivitas sehari-hari biasa saja. Walaupun ketika SMA biasanya sudah mulai bersaing ketat untuk masuk ke SMA favorit tetapi kalau pun gagal, jumlah SMA negeri tidak jadi masalah. Kalaupun swasta, biaya pun tidak terlalu mencekik, asal standar yang biasa saja untuk penduduk rata-rata. Problem muncul ketika mulai masuk kuliah, hampir semua siswa ingin masuk ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN), baik level atas seperti UI, UGM, ITB dan rombongannya hingga level bawah yang memang masih baru.

Berbeda dengan era 90-an, saat ini uang kuliah di PTN dikenal dengan istilah Uang Kuliah Tunggal (UKT) dengan beberapa golongan tergantung kemampuan orang tua. Ada bagusnya karena saat saya kuliah dulu, uang kuliah (dulu namanya SPP) dipukul rata sama, hanya yang membedakan sains atau tidak, untuk sains lebih mahal sedikit (hanya 25 ribu selesihnya) karena adanya praktikum. Kemampuan orang tua dipukul rata sama, yang membedakan hanya bayar atau mendapat bantuan karena tidak mampu. Padahal bisa jadi ada yang bisa membayar lebih tapi tidak ada media untuk mengakomodasinya. Nah, UKT yang terdiri dari beberapa golongan bisa digunakan untuk mengakomodasi hal tersebut.

Untuk orang tua yang pernah kuliah di daerah lain, ketika anak sudah mulai kuliah, tentu saja langsung teringat kembali masa-masa kuliah dahulu. Masa dimana sebagai anak muda mulai mencari pengalaman di daerah lain (mungkin di negeri orang jika kuliah ke luar negeri), dari mencari kos, bertemu teman baru, dan sibuk beraktivitas di kampus baru. Kenangan muncul kembali, dan ini mungkin yang membuat orang tua menginginkan anak kuliah di daerah tempat waktu dia kuliah dahulu. Terpaksa sebagai orang tua segera mencari informasi aturan-aturan dan hal-hal lain yang jauh berbeda dari puluhan tahun yang lalu. Bimbingan belajar menjadi andalan karena di sana sumber informasi dari trik-trik agar si anak lulus dan masuk ke negeri sesuai dengan kemampuan, tidak nekat seperti saya dulu. Munculnya kampus negeri baru menambah peluang diterima di kampus negeri, kebanyakan siswa bisa kuliah sesuai dengan kemampuan, baik dari sisi keuangan maupun kemampuan si anak. Ditambah lagi banyak skema yang tersedia dari jalur raport dan prestasi hingga ujian mandiri dengan sumbangan gedung layaknya kampus swasta untuk PTN.

Yang unik adalah ketika si anak ditetapkan diterima, UKT yang diputuskan dapat disanggah lewat mekanisme sanggah UKT yang bisa diambil atau tidak. Banyak yang tidak diambil karena memang PTN biasanya murah. Tapi ternyata dibanding jaman dulu ternyata biaya di kampus PTN tidak jauh berbeda dengan PTS rata-rata, tetap mahal. Setelah berpikir sejenak, akhirnya mengikuti permintaan emak-emak, terpaksa mengajukan sanggah UKT. Tambahan adalah biaya hidup yang memang di form isian tidak ada sehingga memberikan informasi baru ke kampus tujuan mengenai kondisi keuangan kita. Ternyata jika hasil pengecekan diperkirakan benar golongan UKT bisa turun. Tentu saja laporan yang diberikan berdasarkan kenyataan di lapangan, tidak dibuat-buat apalagi dengan dokumen-dokumen yang tidak benar. Biasanya diterima karena kondisi negara saat ini memang membuat kelas menengah seolah-olah hilang dari muka bumi, sebagian besar masuk ke menengah bawah. Lihat saja untuk beli sesuatu, jangankan rumah, motor saja saat ini sudah tidak masuk akal harganya, sementar penghasilan/gaji naiknya tidak linear dengan kenaikan kebutuhan. Semoga generasi kita ke depan bisa memperbaiki kondisi negara saat ini.