Budaya Mutu dalam Pendidikan

Manusia merupakan sumber daya juga dalam suatu negara yang tidak kalah dari sumber daya alam (SDA). Jika SDA bisa habis, sumber daya manusia (SDM) selalu ada, kecuali memang jumlahnya habis. SDM kita cenderung bertambah karena pertumbuhannya yang positif dan diperkirakan mencapai puncaknya di 2045 dimana komposisi tertinggi pada usia muda yang produktif.

Berbicara tentang SDM tentu saja tidak lepas dari dunia pendidikan, misalnya pendidikan tinggi. Kita tidak melupakan pendidikan tinggi walaupun dari sisi statistik, penduduk Indonesia rata-rata tamatan SMP. Pendidikan tinggi bagi suatu negara merupakan motor penggerak karena level ini salah satu jenjang yang di seluruh dunia tidak jauh berbeda. Lulusannya kebanyakan bisa bekerja lintas negara asalkan dibekali bahasa asing, misalnya bahasa Inggris. Beberapa SMK memang banyak yang bisa bekerja di luar negeri, misalnya Jepang, tapi kebanyakan untuk bidang-bidang yang skill-nya standar, misalnya pengelasan, perakitan, dan sejenisnya.

Peraturan mendikbudristek menekankan akan budaya mutu dalam institusi pendidikan. Ciri-ciri budaya mutu yang baik adalah mengikuti standar yang ada. Setelah ada standar, berikutnya adalah pelaksanakaan siklus PPEPP. Siklus ini singkatan dari Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian dan Peningkatan. Standar yang diwajibkan di negara Indonesia adalah standar nasional pendidikan tinggi (SN-DIKTI). Standar ini merupakan standar minimal, yang jika. hanya memenuhi standar ini hasilnya adalah terakreditasi baik (kalau dulu c), yang rencananya pun akan berubah nanti menjadi “Tidak Terakreditasi”, “Terakreditasi”, “Unggul”, dan “Internasional”. Nah, bagaimana mengetahui SN-DIKTI? Silahkan lihat situs resminya [url] atau googling saja dengan kata kunci: “Pusat Standar & Kebijakan Pendidikan”. Dalam PPEPP perlu ada usaha untuk mengukur sejauh mana kinerja perguruan tinggi mengikut standar yang ada.

Oleh karena itu diperlukan indikator yang diistilahkan dengan Indikator Kinerja Utama (IKU). Biasanya dinyatakan dalam jumlah/kuantitatif agar bisa diukur. Dari contoh SN-DIKTI gambar di atas tampak misalnya standar pembelajaran perlu perencanaan pembelajaran, yang bisanya dalam bentuk RPS. Jadi kalau dikuantitatifkan berapa jumlah mata kuliah dan berapa jumlah RPS-nya. Jika seluruhnya berarti sudah memenuhi standar minimal. Selain itu ada Indikator Kinerja Tambahan (IKT) yang merupakan usaha suatu kampus untuk meningkatkan kualitas melebihi standar SN-DIKTI yang merupakan standar minimal. Misal jika program S1 menurut SN-DIKTI minimal S2/magister, maka jika kampus ingin meningkatkan standarnya, bisa menambahkan IKT agar standar minimal baru, misalnya 50% bergelar doktor.

Salah satu manfaat adanya budaya mutu adalah meningkatnya performa kampus, mengingat banyak kampus-kampus berguguran akibat budaya mutu yang rendah. Usaha meningkatkan mutu tidak boleh hanya segelintir orang saja, ibarat mesin yang sudah bisa berjalan walaupun personelnya berganti.