Sekarang, apapun profesi kita, ternyata harus adaptif. Perubahan yang terjadi sangat cepat, tidak seperti era 90-an atau 2000-an. Untuk bidang pendidikan, bukan saja menteri yang diganti tetapi terkadang departemen pun berubah, kadang melebar, kadang menyempit. Seperti saat ini Kemendikbudristek pecah menjadi Kemendikdasmen, Kemendikti, dan Kemendikbud. Sementara Kemristek memisahkan diri yang dulu bagian dari Kemendikbudristek. Apapun yang terjadi, memang membingungkan dan meresahkan tetapi dilihat dari sistem, kita ibaratkan sistem yang adaptif. Sistem yang mampu merespon keadaan saat ini. Atau bisa juga sistem kontrol, adanya error dapat segera direspon agar tetap di jalurnya.
Baru saja peraturan Kemendikbudristek No. 44 tahun 2024 ditunda pelaksanaannya [post yg lalu], kini UU no. 15 tahun 2024, ikut-ikutan ditunda juga. Undang-undang ini membahas tentang penjaminan mutu perguruan tinggi.
Entah bagian mana yang sepertinya perlu dievaluasi. Padahal di kampus saya baru dua minggu yang lalu diadakan sosialisasi peraturan itu, khususnya di bagian PEMUTU, alias akreditasi otomatis. Sepertinya pemerintah bimbang, ingin menghapus akreditasi takut perguruan tinggi tidak terkontrol kualitasnya, akhirnya dibuatlah PEMUTU [Url].

Tentu saja kita tidak bisa lepas dari pergaulan internasional. Lembaga akreditasi dunia dalam akreditasi entah itu AQAS, IABEE, dan lain-lain dalam mengakreditasi pasti akan meninjau langsung. Mungkin maksudnya menghemat biaya karena dianggap kampus yang telah terakreditasi tersebut tidak mengalami perubahan peringkat. Kalau mau hemat sekalian saja tidak diwajibkan akreditasi.
Beberapa Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM) sudah terbentuk, seperti dapat dilihat dari website PEMUTU, mulai dari LAM PTKES hingga LAM SPAK. Instrumen sudah dibuat, beberapa sudah menyiapkan asesor-nya dengan saringan yang ketat. Manajemen sudah berjalan dengan baik. Dengan adanya akreditasi yang otomatis lewat pemantauan sistem, maka prodi akan memperoleh akreditasi tanpa adanya evaluasi langsung ke lapangan.
Selama ini memang evaluasi lapangan yang dikenal dengan istilah asesmen lapangan (AL) menjadi momok menakutkan bagi kampus-kampus. Tapi setelah lepas dari BANPT, AL bagi kampus sebenarnya bisa menjadi ajang meningkatkan kualitas karen asesor yang datang ke kampus-kampus di seluruh indonesia bisa menjadi narasumber untuk perbaikan kampus ke depan, tidak hanya memvonis. Selain, tentu saja menjaga tali silaturahmi, mengingat biasanya ada asesmen silang, yang dari sumatera, misalnya Aceh, akan dievaluasi oleh dosen dari Jawa, Kalimantan, dan wilayah lain.
Nah untuk sekolah menengah ternyata perlu sekali. Beberapa informasi menunjukan dengan dihapusnya ujian nasional, kampus-kampus di luar negeri seperti Belanda dan Jerman, ketika menyaring mahasiswa S1 dari SMA di Indonesia memiliki kesulitan, khususnya standar [Url]. Apalagi bidang-bidang dasar sangat kurang seperti matematika, fisik, kimia dan sejenisnya yang diperlukan sebagai bahan pertimbangan kampus-kampus luar. Beberapa kasus viral di mana SMA tidak mampu menjumlahkan angka.
Sepertinya perlu dipikirkan oleh pemerintah. Saya ingat ketika kuliah di luar, dosen dari Amerika bertanya ke mahasiswa, belajar variabel kompleks kapan. Thailand dan Vietnam menjawab di S1, dan sangat mengejutkan, mahasiswa dari Perancis menjawab sudah diajarkan di SMA. Jadi, harus segera dibenahi, khususnya ilmu-ilmu dasar harus dikuasai anak-anak kita.






