Tren dan Tantangan Studi Doktoral bagi Dosen di Indonesia

Walaupun syarat dosen minimal bergelar magister, saat ini tanpa paksaan banyak yang studi lanjut ke jenjang doktoral. Beberapa rekan yang sebelumnya salah mengambil S3 karena tidak linear berusaha mengambil doktor lagi agar linear. Sebagai informasi, sebenarnya linearitas itu tidak harus linear dengan magisternya melainkan dengan riset yang ditekuni atau dalam istilah yang resmi saat ini: rumpun ilmu.

Banyak aspek lain yang membuat rekan yang sudah S3 mengambil lagi S3 bidang yang lain. Salah satunya adalah S3 di bidang yang bisa dibilang banyak dibutuhkan, misalnya informatika atau ilmu komputer, beserta turunannya seperti teknologi informasi, sistem informasi, dan sejenisnya. Jika tetap mengambil S3 yang sudah diambil sebelumnya, misalnya manajemen, maka ranting ilmu yang harus dipilih untuk naik ke lektor kepala atau guru besar harus sesuai S3-nya, padahal mungkin dia bekerja di kampus informatika. Jadi tidak ada jalan lain selain mengambil S3 bidang informatika lagi.

Kampus baru yang membuka S3 pun mulai bermunculan, membuat dosen-dosen yang ingin upgrade ke jenjang yang lebih tinggi lagi untuk memilih kampus mana yang dirasa pas dengan situasi dan kondisinya. Kampus negeri, seperti UI, ITB, UGM, dan top-10 lainnya masih menjadi pilihan. Hanya saja kampus ini seperti karakteristik kampus negeri di tanah air, memaksa mahasiswa mandiri. Promotor tidak akan mencari si mahasiswa kalau menghilang, berbeda dengan misalnya Binus University, tempat istri saya mengambil S3, ke ujung dunia pun akan dicari.

Jadi sekarang dosen-dosen banyak pilihan untuk melanjutkan ke S3 sesuai dengan kemampuan, apalagi untuk yang dengan biaya sendiri. Kemampuan di sini tidak berarti pandai atau tidak, melainkan mungkin karena sambil bekerja sehingga waktu tersita. Walau cerdas tetap saja karena tidak menyediakan waktu yang cukup, akibatnya drop out. Oiya, ada informasi beberapa kampus tidak men-DO mahasiswa doktoralnya tetapi mereset NIM menjadi NIM baru, akibatnya walau riset tetap dilanjutkan tetapi tidak boleh lulus sampai 2,5 tahun ke depan. Tentu saja 2,5 tahun artinya waktu dan biaya tambahan.

Untuk yang mengambil bidang informatika, khususnya ilmu komputer, dengan adanya ChatGPT, masalah sebagian besar sudah terpecahkan, mulai dari State of the Art (SOTA) maupun kode program. Kalau dulu mahasiswa doktoral hanya merancang disain penelitian dan noveltinya, dan menyerahkan eksperimen ke programmer, sekarang bisa dilakukan sendiri dengan bantuan AI.

Studi doktoral di Indonesia berbeda dengan luar negeri yang karakternya sudah mapan sejak lama. Jika di LN kalau mahasiswa sudah layak lulus, pihak kampus mulai dari dosen, tata usaha, dan lainnya dilarang menghalang-halangi kelulusannya. Jika di Indonesia untuk sidang terbuka harus mengeluarkan biaya seperti hajatan, di LN tidak terjadi karena itu dianggap ‘menghalang-halangi’. Sepertinya hanya 20% saja dari kemampuan intelektual kita yang digunakan untuk S3, 80% sisanya adalah hal-hal lain seperti keuangan, waktu yang tersedia, kedekatan dengan promotor/co-promotor dan lain-lain. Jadi, saran saya untuk Anda yang mengambil S3 di dalam negeri, gunakan semua kelebihan yang ada di dalam diri kita karena kampus dalam negeri memang begitu karakteristiknya. Jika Anda penulis buku dan cepat mengetiknya, atau jago negosiasi, pandai bicara karena marketing, jago memahami undang-undang/aturan, atau hal-hal lain nya, bisa dimanfaatkan, asalkan halal. Bayangkan Universitas Indonesia (UI) saja, semua paham di level berapa kampus itu di negara kita, yang hanya bisa disaingi oleh ITB dan UGM, tetap saja ada mahasiswa doktoral yang memanfaatkan kelebihan yang ada dalam dirinya yang seorang menteri, walaupun kabarnya ditangguhkan.

Sekian, semoga menginspirasi.