PTS

Tahun 90-an merupakan tahun dimana kampus swasta berjaya. Kebetulan waktu itu masih kuliah di kota pelajar, Yogyakarta. Televisi dan radio masih menjadi media hiburan primadona. Koran pun masih dengan mudah dijumpai. Masih dalam ingatan ketika mengecek diterima atau tidak Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) lewat surat kabar. Teringat para mahasiswa membaca koran, selepas shalat Jumat, yang ditempel di mading masjid dekat tempat kos. Ternyata pada membaca berita munculnya versi baru sistem operasi Windows, yakni Windows 95, menggantikan Windows 3.11 yang kurang bagus jendelanya.

Waktu itu era dimana ketika tidak lulus ujian masuk PTN ada dua kemungkinan, ikut lagi tahun depan atau kuliah di PTS. Waktu berlalu, dan setelah melalui krisis moneter 1998, di tahun 2000 mulailah PTN berstatus menjadi PTNBH dengan otonomi dalam pengelolaan keuangan, dari penerimaan mahasiswa, kerja sama hingga pengelolaan aset.

Kelas-kelas khusus seperti D3 mulai bermunculan. Ternyata dengan penerimaan yang tak terkendali secara perlahan mengurangi jumlah mahasiswa PTS. D3 ini cukup laris karena PTN membuka kelas ekstensi, dimana dari D3 lanjut beberapa tahun menjadi S1. Jadi yang tidak lulus UMPTN bisa lulus S1 PTN dengan cara ambil D3 lalu ekstensi ke S1. Sialnya, di tahun 2011 D3 di UGM dilarang ekstensi ke S1, hebohlah mahasiswa pada demo, kebetulan waktu itu ada di Jogja, pelatihan bahasa untuk studi lanjut.

Pernah saya diminta menseleksi beasiswa full bright gratis dari masuk hingga lulus. Setelah lelah menyeleksi, profiling, dan seterusnya akhirnya diambil keputusan diterima 1 orang. Di luar dugaan, si calon penerima beasiswa menolak beasiswa itu dengan alasan diterima di program D3 Universitas Negeri Jakarta. Mungkin dia santai saja menolak, tapi secara etika dia juga secara tidak langsung menggagalkan mahasiswa lain yang kalah seleksi untuk dapat beasiswa karena ternyata setelah penolakan itu, saya tidak bisa menjadikan calon lain dapat beasiswa, repot dah. Semoga Allah SWT menegur.

Waktu terus bergulir, muncullah PTN-PTN baru hasil akuisisi PTS di daerah-daerah. Ini menjadi alternatif lain calon mahasiswa karena dianggap PTN baru itu lebih baik dari PTS. Pemerintah santai saja, padahal PTS-PTS mulai kelabakan. Seperti biasa, kebijakan di tanah air adalah parsial. Melihat PTS-PTS yang mulai kolaps, ada kebijakan merger yang kebanyakan bukan merger tapi saling memakan, alias dijual oleh PTS yang lebih kuat. Bukan hanya mahasiswa yang berlari ke PTN, dosen-dosen swasta pun banyak yang berlari ke PTN. Seperti biasa, pemerintah membuat kebijakan, misalnya beasiswa KIP yang persentasenya melihat level/peringkat kampus. Kampus yang levelnya bagus akan memperoleh banyak yang peringkatnya rendah, dapat sedikit. Jadilah yang kuat makin kuat, yang lemah makin hancur. Semoga pemerintah memperhatikan kondisi ini.