Anda yang lulus di bangku kuliah di awal milenium baru, tahun 2000-an, pasti mengalami kesulitan karena sulitnya mencari kerja akibat krisis yang baru saja pulih. Banyak lulusan perguruan tinggi yang bukan saja kesulitan mencari kerja, beberapa malah ada yang terkena PHK. Generasi era itu merupakan generasi yang unik, karena saat ini banyak korban-korban PHK di jaman itu yang justru menjadi profesor, mengepalai beberapa perusahaan, pengusaha, dan lain-lain.
Salah satu yang menjadi fokus pada postingan ini adalah mental saat itu yang jika tidak kuat akibatnya bisa fatal. Tapi untungnya sebagian besar kuat dan justru jadi tangguh. Entah, mungkin karena banyak temannya. Kecewa ditolak lamarannya hingga persaingan di dunia kerja mewarnai era itu, maklum terkait dapur, kadang manusia lupa jati dirinya.
Bayangkan Anda hidup di era sebelum ada medsos dan dunia online. Informasi harus dicari dengan segala cara. Untungnya internet sudah mulai tumbuh, namun tidak se-masif sekarang, ditambah biaya pulsa yang tidak murah waktu itu. Warnet merupakan lokasi andalan, karena rumah tidak ekonomis untuk berlangganan internet.
Kondisi waktu itu diperparah karena harus keluar kerja karena suami istri dilarang kerja di tempat yang sama. Alhasil, kerja serabutan pun ditempuh, salah satunya sebagai karyawan outsourcing di bank swasta nasional. Berbeda dengan dunia kampus yang politiknya ‘halus’, perusahaan lebih kasar. Beberapa kali pegawai outsourcing menjadi sapi perah pegawai tetap. Pernah juga menjadi ‘tameng’ ketika ada kesalahan. Cukuplah tiga tahun tersiksa sebagai pegawai outsourcing yang digaji separuh dari uang yang diberikan perusahaan induk ke perusahaan outsourcing. Kekecewaan yang ada menghasilkan dua pilihan: 1) menjadi luka batin, atau 2) bahan baku peningkatan mental. Karena manusia berhak memilih, pilihan kedua menjadi pilihan yang terbaik. Jika Anda kecewa diperlakukan seperti itu, maka tidak seharusnya melakukan itu ke orang lain, yang pastinya akan membuat kecewa.
Di siang itu, setelah menunggu kabar lamaran saya ke sebuah kampus di dekat wilayah senen, Jakarta. Akhirnya ada informasi penolakan yakni bidang ilmu saya yang tidak cocok dengan kampus informatika itu. “kalau teknik elektro sih ok, masih dekat”, informasi yang saya peroleh mengenai alasan penolakannya. Kecewa? tentu saja, tapi di dalam benak saya waktu itu muncul energi yang seolah-olah mengatakan, “tunggu, suatu saat saya akan kuliah di jurusan informatika sampai mentok”. Walau setelah itu tersadar bahwa waktu itu jangankan pikiran S3, magister saja belum kepikiran.
Namun energi itu ternyata menarik ke arah cita-cita itu. Secara perlahan setiap hari tidak ada kata berhenti belajar, atau meningkatkan kualitas diri. Dan uniknya, peluang selalu bermunculan. Karena sudah siap, maka peluang yang ada dengan serta merta diambil tanpa susah payah. Jadi, keberuntungan itu adalah kombinasi dari peluang dan kesiapan. Ada peluang tapi Anda tidak siap, maka peluang itu berlalu sia-sia.
Ada kesempatan untuk S2 dengan biaya 50% langsung saja diambil, tanpa perlu pikir panjang. Alhasil lulus dan bergelar master. Tidak lama kemudian, kampus di Bekasi menerima untuk menjadi dosen tetap, setelah 1 tahun menjadi dosen honorer. Seperti biasa, persaingan ada di mana-mana. Rekan saya sempat memberitahu saya kalau pemimpin di tempat saya mengatakan kalau saya bodoh. Tahukah Anda, dibilang bodoh adalah stress terberat bagi orang Jawa. Kecewa? Marah? Tentu saja tidak, justru jadi saya jadikan bahan bakar mental, bahkan menguatkan cita-cita beberapa tahun yang lalu.
Tidak lama kemudian, ada pelatihan bahasa gratis oleh DIKTI ke Jogja selama 3 bulan. Langsung saja diambil walau berat. Toh, mudah karena dulu kuliah di sana enam tahun. Alhasil dengan IELTS score sebesar 6.0, dan bagian writing ber-skor 6.0 sudah cukup untuk studi ke luar negeri. Dan benar, ketika ada peluang beasiswa, saya yang sudah siap dengan IELTS dan proposal, diterima dengan biaya nol rupiah.
Seperti kata Denzel Washington, pemain film ternama yang juga motivator, bahwa saingan atau kompetitor Anda yang sesungguhnya adalah bukan rekan, atasan, atau orang lain, melainkan diri Anda yang kemarin. Asalkan Anda selalu berusaha lebih baik dari Anda yang kemarin, dipastikan Anda akan sukses, cepat atau lambat. Kalau Anda menganggap rekan sebagai kompetitor, maka cenderung lebih mudah ‘menjegal’ dari pada meningkatkan diri, apalagi kepada juniornya. Sulitnya memperoleh ijin dan hal-hal yang menghalangi rekannya yang mau studi lanjut dengan alasan yang mengada-ada, bisa jadi contoh menganggap kompetitor kepada orang lain. Tapi, untungnya yang seperti itu minoritas di kebanyakan institusi.
Walaupun rekan saya banyak yang lebih sukses, bahkan sekarang jadi Profesor, tetapi itu bukan menjadi kompetitor bagi saya, termasuk pembaca sekalian, kompetitor utama saya adalah saya yang kemarin. Sekian, semoga menginspirasi.
