Stoisisme pada Anak Milenial?

Anak-anak generasi sekarang memiliki keunikan tersendiri yang membedakannya dari generasi sebelumnya. Mereka tumbuh di era digital yang penuh dengan kemudahan informasi dan akses teknologi, sehingga cara mereka berpikir, berperilaku, dan berinteraksi pun lebih dinamis serta sangat cepat berubah. Keunikan ini kadang membingungkan generasi sebelumnya, tetapi juga menunjukkan potensi luar biasa jika diarahkan dengan tepat.

Sering disebut sebagai generasi stroberi, banyak anak muda masa kini dikenal sensitif dan lebih mudah merasa terluka. Mereka cenderung ingin mendapatkan pengakuan dan pujian atas usaha mereka, dan ketika tidak mendapatkannya, bisa merasa tidak dihargai. Meskipun kesan ini kadang negatif, di sisi lain ini juga menunjukkan bahwa mereka peduli terhadap nilai diri dan ingin eksistensinya diakui.

Namun, tidak semua anak muda terjebak dalam stereotip tersebut. Contoh terkini adalah Megawati Hangestri, atlet voli Indonesia yang memilih pulang ke Tanah Air setelah 2 musim bermain di Korea Selatan untuk merawat ibunya yang sakit, meskipun ia mendapat tawaran bayaran tinggi untuk tetap bermain di luar negeri. Keputusannya menunjukkan bahwa nilai-nilai seperti kasih sayang dan tanggung jawab masih sangat hidup dalam diri generasi muda, tidak hanya melihat nominal uang dan kekayaan saja.

Menariknya, konsep stoisisme yang mengajarkan ketenangan batin dan keteguhan dalam menghadapi hidup juga mulai meresap ke kalangan milenial. Di tengah tuntutan hidup yang semakin kompleks, banyak anak muda yang mulai belajar menerima hal-hal di luar kendali mereka, fokus pada proses, dan menjaga ketenangan dalam tekanan. Ini menjadi penyeimbang di tengah dunia yang serba cepat dan penuh distraksi.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.