Ketika saya masih di sekolah dasar, di depan kelas selalu tergantung sebuah gambar burung dengan gagahnya melebarkan sayapnya. Waktu itu saya diperkenalkan dengan lambang nagara saya burung garuda pancasila. Dengan simbol sila-sila dalam perisai yang tergantung di lehernya, dan bulu-bulu yang melambangkan hari kemerdekaan, lambang itu terasa gagah menurutku. Yang unik adalah cakar di kaki yang menggenggam semboyan terkenal “Bhinneka Tunggal Ika”, yang merupakan selogan Mpu Tantular. Artinya adalah berbeda-beda tetapi tetap satu.
Tidak ada satupun siswa yang melecehkan, meledek, ataupun tidak setuju terhadap lambang negara Indonesia itu. Antara satu anak dengan anak yang lain tidak ada sama sekali perbedaan. Waktu itu saya tinggal di Jakarta Utara. Wilayah yang menurut saya cukup heterogen. Saya ingat salah seorang teman saya keturunan India, dengan agamanya yang Hindu. Saya kagum dengan kemampuannya bermain basket yang lincah, serta saya selalu kalah ketika pelajaran prakarya membuat patung dari tanah liat. Wilayah saya masuk kecamatan Tanjung Priok, wilayah dengan basis Islam yang fanatik. Mungkin pembaca pernah mendengar kasus tragedi priok tahun 80-an yang hingga tulisan ini dibuat masih menjadi misteri. Yang anehnya walaupun di basis Islam yang keras, toleransi tetap berjalan dengan baik. Anehnya, di wilayah saya yang hanya memiliki umat kristiani waktu itu yang kurang dari 10 orang, tetapi penduduknya mengijinkan dibuatnya gereja HKBP. Bayangkan jika saat ini proses pembangunannya, penduduk tidak bakal mengijinkan. Ternyata beda jaman, beda juga pemahamannya. Entah lebih baik atau lebih buruk, keputusan ada di tangan kita.
Sesekali saya bermain dengan rekan saya, namanya Johan Manto. Hemm .. sungguh di luar dugaan, saya masih mengingat namanya, ada di mana dia sekarang. Keluarganya adalah penganuh katolik yang taat. Sempat saya mampir ke rumahnya dan di ajak makan oleh ibunya yang baik hati. Sebelum makan mereka mengepalkan kedua tangannya, kemudia membaca doa sebelum makan ala nasrani. Tidak ada paksaan atau ajakan untuk beralih ke agama mereka, demikian pula saya tidak pernah mengajaknya ataupun mengatakan agama buruk, dan agama saya lebih baik. Walaupun tentu saja tiap pemeluk kepercayaan pasti beranggapan agama dan kepercayaannya lebih baik.
Saya ingat waktu itu wilayah kami merupakan wilayah konflik akibat banyaknya premanisme. Mungkin yang seumuran saya pernah mendengar adanya lagu berjudul preman yang dibawakan oleh Ikang Fawzi. Lagu yang cukup populer waktu itu memang menggambarkan kondisi sesungguhnya waktu itu. Namun dengan sikap keras era Suharto dengan kebijakan PETRUS-nya, banyak preman-preman yang jera dan alih profesi. Setelah preman tidak ada, saya merasakan udara sejuk yang tidak dapat saya jumpai hingga saat ini. Udara sejuk itu adalah rasa saling menghargai sesama manusia. Antara satu suku, agama, adat, dan lain sebagainya bisa langsung berbaur dan bergaul dengan baik. Yang saya bingung mengapa akhir-akhir ini sikap seperti itu seperti punah?
Masuk ke jenjang yang lebih tinggi, masih saya rasakan udara sejuk itu. Sepertinya di tempat lain sekitar kami juga demikian. Bulan puasa, dan hari raya idul fitri merupakan perayaan yang sungguh besar, benar-benar hari raya. Tidak ada kebahagian yang melebihi hari raya idul fitri dan bulan puasa ketika saya kecil. Beda dengan saat ini, dimana bulan puasa dan hari raya seperti sambil lalu saja. Entah mengapa, saya sendiri masih bingung. Islam yang kami anut waktu itu sangat berbeda dengan saat ini, mungkin waktu itu tidak ada internet, atau pun siaran tv langsung dari Mekkah. Tidak ada nuansa arab dalam pelajaran yang saya peroleh, semuanya murni dari alquran dan beberapa hadits, yang saya tidak tahu diriwayatkan oleh siapa. Walaupun beberapa kiyai tiap tahun pergi haji, tetap saja ketika kembali dan mengajar ngaji tidak 100% menggunakan atribut-atribut arab. Tetap saja mereka sama dengan penduduk yang lain, dengan sarung dan peci, cukup. Celana panjang biasa saja, tidak menggantung hingga 1/3 kaki, walaupun bagi saya tidak menjadi masalah. Jenggot pun tumbuh sekedarnya, tidak ada usaha untuk memanjangkannya dengan minyak penumbuh rambut atau sejenisnya. Sesekali pernah sebelum saya pindah ke Yogyakarta, ketika sedang bermain tenis, dua orang dengan jenggot panjang dan celana menggantung menghampiri saya dan teman saya, saya ingat namanya Laode Syainsyah. Untungnya ada facebook, saya jadi masih bisa berkomunikasi. “Anda beragama Islam?”, salah seorang bertanya ke kami, “Ya, bang”, jawab saya. Ayo ikut ke masjid, ambil sarung. Terus terang dengan wajah tegasnya saya ketakutan. Seorang mengikuti teman saya dan satu lagi mengikut saya ke rumah. Sampailah kami di masjid tempat saya mengaji. Ternyata mereka merupakan tamu yang akan menginap beberapa hari untuk dakwah. Tampak pula teman-teman saya yang lain yang ketangkep dan dipaksa ke masjid. Seperti biasa saya diberi tausyiah yang sedikit aneh. Dia mengatakan bahwa membunuh itu dosa kecil, sedangkan tidak shalat itu dosa besar. Saya yang berumur 12 tahun waktu itu secara logika menolak, tapi saya diam saja, dari pada benjol. Kemudian dia menerangkan sebuah surat pendek Aroaitallazi .. dst, yang tentu saja saya hafal. Tetapi anehnya dua ayat terakhir sepertinya dia lupa. Saya dan teman saya saling berpandangan dan ingin membenarkannya takut, akhirnya kami manggut-manggut saja seolah baru pertama kali mendengarnya. “Mau ke mana? Kata salah seorang yang jadi pemimpin rombongan itu kepada rekan saya yang mau keluar, “Mau ke toilet pa”, katanya dengan ketakutan, “ya, jangan lama-lama”. Lama saya perhatikan, dia tidak balik-balik. Kurang ajar, dalam hatiku, ternyata dia kabur. Si penceramah melihat saya yang sesekali melihat jam dinding, dan menegur saya, agar fokus. Tentu saja saya khawatir karena sebentar lagi saya harus masuk sekolah karena saya masuk siang ( smp kelas 1). Ketika shalat dzuhur dimulai, mohon maaf, saya harus kaburrrrrr.
Waktu terus berjalan dan saya SMA dan kuliah di Yogyakarta, tempat saya dilahirkan. Saya tinggal menumpang di rumah kakek nenek saya sebelum pindah kos karena letaknya yang jauh dari kampus. Sejak saat itulah mulai terasa perbedaan-perbedaan yang secara perlahan mengusik Bhinneka Tunggal Ika negara kita. Di kota gudeg, ternyata keberagaman lebih banyak lagi. Saya melihat sendiri rombongan anak muda dengan pakaian yang unik ala Bali yang akan bersembahyang. Bahkan di tempat kos saya ada satu area dengan tulisan Kundalini Yoga, yang mengajarkan meditasi ala Budha. Bahkan kakek tiri saya sendiri menganut ajaran apa saya tidak mengerti, katanya sih warisan dari majapahit. Tapi anehnya mereka tetap bisa berjalan seirama. Tetapi saya merasakan adanya suatu gerakan entah apa namanya yang secara perlahan-lahan ingin menyeragamkan segala sesuatu. Saya tidak berani menyebutkan itu aliran apa. Sungguh sesuatu yang menurut saya sangat berbahaya, karena sudah merasuki anak-anak muda terpelajar, bahkan yang kuliah di tempat saya, Universitas Gadjah Mada. Sempat selesai dari KKN, kami dan rekan sesama KKN ingin mengadakan pertemuan, seperti reuni kecil-kecilan. Ketika Maghrib, saya dan rekan saya, namanya Six Fatmanto, seorang yang taat beragama, saya lihat dari laporan KKN yang detil dan tidak berbohong seperti saya (walaupun menurut saya sih nyusahin diri sendiri aja), ketika akan pulang dihalangi oleh seorang mahasiswa muda, yang menurut saya ingin berdakwah. Tentu saja bagi saya baik, hanya saja caranya yang terkesan menggurui itu yang saya kurang suka. Bagaimana mungkin mahasiswa yang sebentar lagi wisuda diceramahi oleh mahasiswa baru, mengkritik saya yang menggunakan celana Jean, dan seterusnya. Ketika dia mengucapkan satu kalimat, “Terus terang saya tidak yakin apakah saya bisa masuk surga, semua itu kehendak Allah”, itulah saat yang tepat bagi saya, he he. “Baik ya dik, karena kita sama-sama tidak yakin bakal masuk surga, saya pamit dulu ya”. Kalimat saya di luar dugaannya, dia hanya terpaku ketika saya tinggalkan.
Saya tidak merasa cerdas, pintar, atau apapun sebutannya. Entah berapapun kapasitas otak kita, tidak seharusnya kita melupakan pesan Rasulullah, agar membaca. Bahkan malaikat jibril saja gemas dengan kekasih Allah ketika mengatakan tidak bisa membaca. Apalagi terhadap kita, bisa-bisa nanti kita jadi bulan-bulanan malaikan di alam nanti. Bacaanpun tidak pilih-pilih, baca saja semua, kita kan punya otak dan logika. Jangan sampai kita hanya boleh membaca aliran tertentu saja karena jika membaca aliran yang lain takut akan terpengaruh. Kalo kita baca A dan B dan menurut kita B lebih baik, ya tentu saja A harus instrospeksi dong. Jangan sampai kita memaksakan A dan melarang orang membaca B. Ada karikatur lucu: