Berita kerusuhan di Thailand sudah tersebar hingga ke Indonesia. Tentu saja membuat cemas para orang tua yang anaknya sedang kuliah di sana, bekerja, dan sebagainya. Begitu juga keluarga dan sobat karib saya yang berada di Indonesia selalu menanyakan kondisi di sini, apakah seperti yang diberitakan di televisi?
(bbc.co.uk)
Sesungguhnya saya tidak begitu mengerti, tetapi karena banyak teman-teman kuliah saya yang orang Thailand, dan terkadang pengajar yang bukan orang asli sini kerap bertanya kepada mereka mengenai kondisi Thailand saat perkuliahan, saya sedikit banyak mengerti. Kondisi raja yang sudah berumur dan tidak begitu mencampuri lagi urusan pemerintahan, dan masalah-masalah lain yang berhubungan dengan sikap politik yang bagi partai oposisi menyimpang, menyulut pertentangan antara kubu kaos merah dengan kubu kaos kuning. Saya sendiri heran kenapa ada istilah warna seperti itu.
Ketika perdana menteri Thaksin jatuh dan melarikan diri, ternyata saat ini dikuasi pemerintahan dikuasai oleh Yingluck yang merupakan kerabatnya. Pemilu dimenangkan oleh Yingluck karena memang kebijakan Thaksin yang sejak dulu sangat mendukung pertanian. Mungkin sangat mirip dengan jaman Suharto dulu. Ketika Yingluck mengusulkan adanya undang-undang untuk pengampunan (mungkin ditujukan agar Thaksin dapat kembali ke Thailand dengan damai) muncullah protes keras dari kubu yang menjatuhkan Thaksin dulu. Saat ini terjadi dua demonstrasi antara kubu Yingluck (dari petani luar Bangkok) dan dari kubu oposisi (dari dalam kota Bangkok) yang jika sampai bertemu, sudah dapat dipastikan terjadi pertumpahan darah. Itu yang saya tangkap dari informasi sana sini. Saat tulisan ini dibuat, kerusuhan mereda karena Raja Bhumibol sedang ulang tahun yang ke-86.
(sindikasiberita.com)
Kondisi Geografis dan Budaya
Berbeda dengan Indonesia, Thailand sedikit unik. Seluruh sarana dan fasilitas terkonsentrasi ke ibu kota Bangkok. Tidak ada kota-kota besar seperti Bandung, Jogjakarta, Medan, dan kota besar lainnya selain Jakarta seperti di indonesia. Kebetulan saya sekolah di kampus yang terletak di pinggiran Bangkok. Dan memang saya merasakan ada kesenjangan antara kota dengan desa. Akan tetapi menurut saya bagus juga dari sisi budaya. Orang yang di luar Bangkok masih memiliki jiwa yang belum tercemar. Ketika menuju suatu Mall saya naik van (seperti angkot tetapi mewah, dengan AC dan kebersihan yang terjaga) dan yang membuat saya heran adalah ketika akan membayar, kita hanya meletakkan uang yang sudah tertentu harganya, kemudian nampan itu beredar di antara penumpang. Tidak ada kondektur, hanya seorang supir. Ketika semua selesai meletakkan uang untuk ongkos perjalanan ke nampan, sang supir pun sepertinya tidak menghitung lagi uang tersebut kurang atau tidak. Bayangkan jika ini diterapkan di Jakarta, uang yang beredar dijamin hilang.
Peran Raja
Saya pernah belajar geografi di sekolah, dan ketika mempelajari negara-negara ASEAN, saya sempat membaca negara Thailand, diman dipimpin oleh seorang raja dengan perdana menteri. Disebutkan juga Thailand merupakan satu-satunya negara yang tidak pernah dijajah. Di sini istilah dijajah berarti ditindas dan sumber daya alamnya dikuras habis oleh penjajah, sementara Jepang tidak bisa dibilang menjajah karena hanya menduduki untuk dijadikan basis pertempuran dengan sekutu, walaupun terkadang lebih kejam dari penjajah akibat kepepet dan harus menang dalam perang.
(Chiangmai-mail.com)
Salah satu hal yang ternyata menurut saya salah ketika mendapat pelajaran sejarah Thailand di sekolah adalah bahwa Thailand tidak dijajah karena memang kebetulan letaknya berbatasan antara jajahan Inggris di selatan dengan jajahan Perancis di utara. Masuk akal memang, tetapi ketika saya menelusuri situs-situs sejarah Thailand ternyata peran raja Chulalongkorn sangat penting ketika itu. Raja Chula merupakan raja yang disayangi oleh rakyatnya. Raja ini terkenal sebagai raja yang suka belajar dan berpetualang ke negara-negara lain. Dengan taktiknya silaturahmi ke negara-negara lain yang biasanya negara monarki juga, ketika Perancis dan Inggris akan menguasai Thailand, banyak bantuan dari sahabat-sahabat raja. Sesekali pernah Tsar rusia yang siap membantu jika diperlukan bantuan untuk menghadapi Perancis yang saat itu sudah menguasai Laos dan akan masuk ke Thailand. Jadi menurut saya alasan kenapa Thailand tidak dijajah karena letaknya yang berbatasan kurang tepat. Penjajah itu pintar, mengapa tidak dibagi dua saja Thailand? Biar sama-sama untung. Kalaupun memang sebagai negara pemisah, itu bisa saja taktik raja Chula yang cerdik. Toh, tetangganya, Kamboja, yang terletak di tengah-tengah juga jatuh ke tangan penjajah.
Pelajaran dari Negeri Gajah
Banyak hal-hal positif yang bisa diambil dari negeri ini dan diterapkan di tanah air. Thailand merupakan negara dengan mayoritas memeluk Budha dan menerapkan ajaran Darma setiap hari. Walaupun di kota masih kerap dijumpai pencurian, dan kejahatan lainnya, tetapi di desa-desa mereka masih mempercayai adanya hukum karma. Kadang saya malu dengan negara saya yang mengagung-agungkan Islam sebagai rahmatan lil alamin tetapi perilakunya jauh dari kemulian agama yang dia anut. Memang saya sendiri pun masih jauh dari sempurna. Tetapi jika menganggap diri kita lebih baik dari orang lain, bisa saja mendatangkan setan untuk menyelinap masuk lewat ajaran yang kita anut. Dengan memutar dalil-dalil bisa saja setan menyusup. Menghalalkan yang haram dengan alasan tertentu yang terkesan lebih urgen. Dengan adanya amalan-amalan tertentu yang menghapus dosa-dosa yang telah dibuat, menurut saya juga sangat memungkinkan syetan untuk menyelinap masuk. Masuk ke dalam relung-relung fikiran kita secara halus tanpa kita sadar. Dengan dalil-dalil tertentu, bisa saja saling membunuh karena merasa suatu ajaran menyimpang. Di sini, membunuh semut pun mereka enggan. Burung perkutut dan tekukur yang sering terdengar di sekitar kos tempat saya menginap bebas berkeliaran dan tidak ada yang berupaya untuk menangkapnya. Beda dengan kondisi di tanah air. Apapun yang bisa dijadikan uang, diambil tanpa pandang bulu, hutan yang kian gundul, pembakaran hutan untuk membuka lahan, pengeboran yang merusak lingkungan seperti di Lapindo, membuat malu jika didengar oleh anak cucu kita nanti, semoga. Ya, semoga anak cucu kita tidak memiliki pemikiran miring seperti pendahulunya.
(Perkutut liar)
Menurut saya, jakarta harus banyak belajar dari kota Bangkok. Kebersihan, jalur transportasi yang beragam, tata kota dan kedisiplinan warganya patut diacungi jempol. Budaya antri yang tinggi dengan kesabaran berkendara dapat dijumpai di mana-mana. Tidak seperti Jakarta yang penuh dengan klakson ketika macet, di Thailand walaupun macet, hampir tidak terdengar adanya suara klakson. Penyeberang jalan sangat dihormati. Ketika ada sebuah mobil akan keluar dan menuju jalan raya dan ada orang yang melintas, mereka cenderung menunggu pejalan kaki lewat. Jika dijumpai pejalan kaki yang berhenti karena melihat ada mobil yang akan keluar, dipastikan itu orang Indonesia (waktu itu saya J). Karena sudah kebiasaan sebagai orang Jakarta harus waspada, meleng sedikit ditabrak.
Keberhasilan dalam menanggulangi AIDS sungguh prestasi yang membanggakan. Bandingkan dengan negara kita yang saat ini secara mengejutkan katanya kita gagal mengatasi HIV/AIDS yang sudah berlangsung selama 7 tahun. Ketika pekan kondom yang kontroversial di tanah air berlangsung, justru Chiang Mai University Thailand melakukan riset dan mengatakan kondom tidak aman terhadap AIDS. Pori-pori kondom 400 kali lebih besar dibanding virus HIV itu sendiri. Kalaupun alasannya untuk penyakit kelamin jenis lain seperti sipilis yang berasal dari bakteri, toh penyakit itu sudah ada obatnya, beda dengan HIV/AIDS. (https://www.academia.edu/566646/RELIGIOUS_APPROACHES_TO_HIV_AIDS_PREVENTION_IN_THAILAND). Mungkin satu-satunya peran kondom adalah menghindari penderita HIV/AIDS melahirkan bayi yang HIV/AIDS juga karena kondom berfungsi sebagai alat KB. Jika saya perhatikan dengan iklan kondom untuk KB ketika saya sekolah tahun 90-an dulu (dengan selogan terkenal ya ya ya ..) justru lebih cerdas dan memahami benar fungsi kondom, dibanding saat ini yang memfungsikan kondom sebagai alat melawan HIV/AIDS dan justru membuat rasa aman bagi pelaku sex baik yang sudah mengetahui terjangkit HIV/AIDS maupun yang belum.
Untuk para pemimpin negeri ku, di tanganmu lah segala kebijakan bermula dan segala akibat (baik/buruk) akan kami tanggung bersama. Saya pun merasakan betapa berat bebanmu. Tapi jika engkau bergaul dan berdiskusi dengan orang yang tepat tanpa mementingkan kepentingan pribadi atau golongan, saya yakin Allah berada di sisi Anda.