Tidak dapat dipungkiri, pekerjaan mengajar di Indonesia masih berfokus pada jumlah jam mengajar. Teringat ketika di awal-awal saya menjadi tenaga pengajar honorer. Prinsipnya adalah mengajar sebanyak-banyaknya. Alhasil, berangkat pagi pulang malam hari. Rekan saya berkelakar, “dari terbit fajar hingga terbenam mata satpam”.
Namun di sela-sela melakukan aktivitas “kejar paket SKS” itu saya melihat beberapa rekan pergi ke luar kampus. “Ke mana mas?”, tanya saya dengan dugaan dia menjawab mengajar di kampus lain. Ternyata tidak, “kuliah”, jawabnya. Ternyata mengambil magister. Saya tertegun dan mulai berfikir ulang mengenai konsep mengajar sebanyak mungkin.
Ternyata benar, tidak beberapa lama kemudian aturan baru muncul, dosen harus S2. Ibarat macan, para dosen yang S1 seperti kurang tajam kuku dan taringnya, bahkan dipaksa S2. Sementara perut yang sudah kebanyakan diisi perlu beradaptasi untuk mengasah kuku dan taring di perkuliahan pascasarjana.
Bagaimana dengan bidang lain selain dosen? Ada sedikit pengalaman dari rekan saya yang suaminya bekerja di Industri, bagian SDM. Waktu itu saya lihat rumahnya masih sederhana dengan kendaraan mobil tua yang murah dan boros BBM. Istrinya bercerita suaminya sangat gemar “mengumpulkan” sertifikat-sertifikat keahlian. Selang beberapa tahun (tidak lebih dari 4 tahun), suaminya selalu pindah kerja ke kantor lain dengan salary yang lebih besar. Namun tetap dia masih gemar “mengumpulkan” sertifikat-sertifikat. Tentu saja mengumpulkan di sini artinya mengikuti ujian-ujian dan kursus-kursus keahlian, sesuai bidangnya yaitu SDM. Kini kehidupannya sangat baik dibandingkan dahulu.
Keahlian beragam, tidak harus sertifikat ataupun gelar/ijasah. Saya teringat ketika bekerja di bank. Saya sering memperhatikan para manajer-manajer dengan grade/level tinggi, karena memang kerjaan saya waktu itu memastikan infrastruktur IT divisi-nya berjalan normal. Kebanyakan mereka memiliki keahlian khusus yang tidak didapat dari perkuliahan, melainkan dari pengalaman dan pelatihan-pelatihan yang diikuti. Misalnya di bagian, kolektor, entah teknik apa yang digunakan, ketika dia memasuki bagian tersebut, kinerja penagihan berjalan dengan baik dibanding sebelumnya.
Ibarat sang macan. Memang mengisi perut itu penting, tetapi dengan cakar dan taring yang kuat dan tajam, dengan mudah makanan diperoleh. Kecuali memang ingin bekerja rutin tanpa tantangan dengan gaji yang mengalir rutin seadanya, pensiun dan menerima tunjangan yang cukup, itu pilihan. Tapi kalau dilihat dari sisi bangsa dan negara, tentu saja khawatirnya akan jadi mangsa macan-macan dari negara-negara lain. Macan-macan bertaring yang dulu gagah pun, satu persatu rontok seperti blackberry, nokia, fuji film, dan lain-lain. Apalagi munculnya fenomena disrupsi, bukan tidak mungkin fenomena ini merambah ke bidang-bidang nyaman lainnya seperti sekolah, kampus, dan sejenisnya. Sudah kan Anda mengasah kuku dan taring Anda hari ini?