Sejak sekolah dasar kita sudah diajari membaca dan menulis. Ya, belajar membaca dulu baru menulis karena tanpa bisa membaca tidak mungkin bisa menulis, kecuali Cak Lontong dalam lawakannya mengatakan bahwa dia akan berencana menulis satu buku. Ketika diingatkan oleh rekannya bahwa dia sejak dahulu tidak bisa membaca, dengan santainya dia bilang “aku yang menulis, kan orang lain yang membaca”.
Membaca, Menulis dan Mereview
Me-review itu sendiri adalah proses membaca. Bedanya di sini kita harus bisa menemukan “sesuatu” dalam tulisan yang kita baca. “Sesuatu” di sini bukan sekedar informasi yang terkandung dalam suatu tulisan melainkan hal-hal lain yang luput dari sekedar membaca, antara lain: keunikan, orisinalitas, kekuatan dan kelemahan, temuan, dan hal-hal lain yang biasanya diminta ketika kita mereview suatu tulisan, khususnya artikel ilmiah. Biasanya yang perlu diperhatikan adalah novelty, metode, bahasa, research question, dan yang tak kalah penting adalah apakah artikel tersebut layak diterima pada jurnal/prosiding.
Suasana ketika mereview (sumber Fb Prof Teddy – Sampoerna Univ.)
Sebaiknya seorang reviewer paper adalah seorang yang sudah banyak menulis paper. Jika pernah menulis maka akan memahami kesullitan-kesulitan apa saja yang dihadapi ketika menulis. Hasil review nya pun akan sangat membantu si penulis tersebut, walaupun menyakitkan karena ditolak. Berbeda ketika yang mereview kurang banyak menulis atau bahkan tidak memiliki tulisan. Reviewer ini sulit menghargai sebuah tulisan yang memang dibuat terkadang sampai “berkeringat darah”.
Membaca Cepat
Membaca cepat bukan suatu keharusan, melainkan suatu kebutuhan. Bayangkan dalam setengah hari, terkadang dibutuhkan review sebanyak hampir 30 judul artikel, terutama jika ditunjuk menjadi Technical Program Committee (TPC) yang bertugas memutuskan suatu artikel secara keilmuwan layak publish atau tidak. Tentu saja cepat di sini bukan asal cepat secepat-cepatnya, melainkan bijaksana. Ketika membaca hal-hal yang kurang penting mungkin sekelebat, tetapi ketika melihat hipotesa, metode, dan hasil mungkin perlu di-rem sedikit.
Tahan Membaca
Ini tidak kalah penting. Percuma membaca cepat sekali tetapi baru setengah jam sudah KO, gagal fokus, dan menguap terus. Salah seorang pengacara kondang (sayangnya sekarang mendekam di penjara) memiliki kemampuan membaca berkas perkara setebal kitab suci hanya dalam waktu 30 menit. Saya yakin kemampuan itu karena seringnya dia membaca, dan yang pasti senang dengan apa yang dia baca. Naskah doctoral tesis saya dibaca oleh external examiner dari Jepang hanya dalam waktu beberapa hari. Atau mungkin dalam beberapa jam pelaksanaannya. Bukan Cuma skimming atau sekilas, tetapi serius dibaca kata perkata. Memang diakui, negara lain memiliki kemampuan membaca di atas kemampuan membaca negara kita.
Mungkin itu saja sharing informasi ketika sibuk mereview naskah untuk konferensi, siapa tahu bermanfaat. Perlu diketahui, dengan membaca naskah-naskah jurnal, banyak ide-ide yang dapat kita ambil sebagai pelajaran, walau sekecil apapun. Jangan lupa membaca. Jika Anda sampai membaca kalimat terakhir ini, maka berarti sudah dianggap gemar membaca, he he, dibanding kawan-kawan kita yang jadi korban hoax karena hanya baca judul-nya saja dari berita yang dishare lewat medsos.