Walaupun “doctor of philosophy” tidak berarti doktor filsafat, tidak ada salahnya saya menulis yang sedikit berbau filsafat. Sebagai cabang ilmu yang mempertanyakan segala sesuatu baik yang biasa hingga yang sensitif sudah tentu filsafat bisa digunakan untuk menjawab hal-hal yang saat ini menjadi polemik, salah satunya adalah Scopus, suatu pengindeks yang menjadi patokan utama penilaian kinerja peneliti-peneliti di tanah air.
Sebenarnya lama menanti pro-kontra masalah scopus yang ditulis oleh rekan-rekan yang memiliki background filsafat, tetapi hingga saat ini belum juga ada yang share. Paling banter dari ketidaksetujuan peneliti yang memiliki h-index Scopus tinggi terhadap Scopus itu sendiri, sehingga terkesan tidak memihak, berbeda dengan protes Scopus oleh yang tidak memiliki kinerja Scopus yang baik. Dan seperti dugaan saya, seperti berbalas pantun, tiap pantun dibalas pantun pula. Tiap penentuan Scopus oleh pemerintah dianggap salah, dibalas oleh pemerintah dengan menambah bobot faktor Scopus, baik di penilaian angka kredit, hingga ke dapur peneliti, yaitu syarat hibah. Makin banyak peneliti yang defisit Scopus tidak eligible mengajukan proposal skema tertentu, sehingga peneliti yang memiliki Scopus yang baik memiliki peluang besar untuk lolos proposalnya karena minim saingan (ups .. pengkritik yang ber-Scopus tinggi tersebut tambah berpeluang lolos dong).
Jawaban Trivial
Ketika belajar matematika waktu kuliah dulu, ketika membahas persamaan orde tinggi si dosen memperkenalkan istilah jawaban trivial. Masih berkesan bagi saya ketika beliau menjelaskan bahwa ketika melawan rudal Jerman, Inggris menggunakan jawaban trivial berupa radar. Tentu saja radar yang seadanya karena teknologi yang masih belum berkembang. Rudal yang ditembakan Jerman dapat diketahui arahnya, bahkan sebuah kolam dibuat untuk menampung rudal-rudal kiriman tersebut agar tidak meledak (kayak petasan yang melepes). Radar cukup efektif, tetapi pada suatu saat, si pembaca radar melihat begitu banyak rudal akan melintasi Inggris yang tentu saja tidak akan sanggup dihalau, apalagi hanya dengan kolam. Kabar tersebut membuat ciut, dan bahkan sudah banyak yang berdoa, semoga setelah mati bisa masuk surga. Ternyata, tuhan hanya iseng saja. Ratusan rudal yang tertangkap radar hanyalah sekawanan burung yang sedang migrasi, hehe. Nah, hubungannya dengan pemilihan Scopus menurut saya adalah jawaban trivial. Jika negara kita sudah memiliki indeksasi yang mendekati kualitas Scopus tentu saja tidak perlu membayar Scopus. Jika tidak menggunakan indek apapun, bagaimana mengukur kinerja penelitiannya? Lewat penilaian rekan sejawat yang setia bersama dalam suka dan duka? Atau lewat penilai PAK Dikti yang baik hatinya?
Publish atau Jadi Sampah?
Halley merupakan ahli astronomi ternama. Kemampuan mengamati langit lewat teropong ajaibnya di jamannya tidak ada tandingannya. Dia terkejut ketika ramalannya lewat alat eksperimennya ternyata tepat sama dengan perhitungan Isac Newton. (Kalau saya mas Halley mungkin dalam hati udah ngomong “kampret!!”). Datanglah dia bertemu Newton di Inggris. Setelah dialog dan diskusi dengan Newton, Halley terkejut dengan rumus-rumus Isac Newton yang belum diketahui saintis di kala itu. Lihat infonya.
“Mengapa tidak kau publish? Bukankah banyak pelajar dan peneliti yang membutuhkan teori-teori mu?”, kira-kira begitu kata Halley. “Bagaimana caranya? Tidak ada yg bersedia?”, Jawabnya. “Begini, saya punya modal, kamu punya ilmu. Bagaimana jika kerja sama? Saya yang bantu mempublikasikan, kamu yang menulis teori-teorinya?”, kata Halley. Bisa dibayangkan jika teori-teori Newton tidak ada yang menyebarkan, perkembangan ilmu akan lambat, padahal riset membutuhkan kerjasama antar peneliti baik sebidang maupun yang berbeda bidang ilmunya. Jika Halley kita ibaratkan penerbit/publisher, maka Newton adalah peneliti-peneliti di seluruh dunia. Scopus, WoS, dan sejenisnya adalah yang membantu mengelola tulisan-tulisan ilmiah. Memang, ada yang berbayar, gratis, dengan karakteristik lain yang khas. Memang “jer basuki mowo beo”, sesuatu butuh biaya. Membantu menyimpan/mengarsipkan dijital, mereview, dan pengecekan lainnya oleh editor jurnal membutuhkan biaya, berbeda dengan Youtube, Facebook, atau Instgram yang gratis menyimpan gambar atau file karena banyak iklan dan endorse-endorsan lainnya, sebagai sumber profit. Jurnal tentu saja minim pembaca/pengguna, paling pelajar, peneliti, dan industri. Kalau ada iklan malah mencurigakan. Yang open access menadapat profit dari yang “menitip” tulisan, yang non-open access mendapat profit dari perpustakaan yang berlangganan jurnalnya.
Sitasi, H-index ?
Memang dunia terus berkembang dan berusaha menjadi sempurna. Ketika belum ada mesin, kereta ditarik oleh kuda, bahkan di Cina oleh orang. Ketika kendaraan menimbulkan polusi, mesin listrik dibuat, atau dengan ganjil-genap kayak di Jakarta, hehe. Ketika orang mengusulkan sitasi sebagai penilai performa, yang lain menunjukan kelemahannya, begitu pula H-index. Tidak perlu lah kita mengikuti Karl Marx yang ingin menghapus negara karena dianggap brengsek mengingat banyak teori-teori lain yang bisa membenahi negara yang brengsek tersebut. Ambil contoh saja kita saat ini yang tidak ingin mengganti Go-jek yang diawal kontroversial dan banyak kelemahan tetapi karena mereka kita biarkan membenahi, akhirnya jadi lebih baik, muncul Go-send, Go-food, dan mungkin nanti Go-paper (upss.. sorry bercanda). Sekian mudah-mudahan terhibur.