Untuk rekan-rekan yang saat ini masih kuliah (S1, S2, atau S3), pasti terpengaruh dengan wabah COVID-19. Yang biasanya bertatap muka, saat ini berganti melalui multimedia, baik tulisan, suara, maupun video. Tentu saja kesulitan pasti muncul. Repotnya kesulitan tersebut baru kali ini terjadi. Saya sendiri sulit membayangkan seandainya saya belum lulus. Sebagai informasi banyak rekan-rekan saya yang belum juga lulus. Mungkin postingan ini sedikit bisa memberi gambaran untuk rekan-rekan yang akan memulai studi. Untuk yang sedang berjalan, mungkin bisa sharing jika ada pengalaman yang bermanfaat untuk dibagikan.
Kondisi Universitas Saat Ini
Tanpa adanya COVID-19, beberapa pakar mulai mempertanyakan apakah universitas juga mengalami disrupsi, seperti perusahaan-perusahaan lainnya dimana terjadi pergeseran dari proses bisnis konvensional menjadi online. Dengan adanya wabah, apalagi jika antivirus belum juga ditemukan, proses disrupsi jauh lebih cepat lagi sepertinya. Ada perubahan dalam perhitungan dimana kondisi saat ini mengharuskan tiap universitas harus efisien dalam menggunakan sarana dan prasarana yang ada. Memang, serangan COVID-19 mirip serangan mendadak yang membuat pontang-panting dunia pendidikan yang baru saja siap-siap online. Beban berat ada di tangan divisi yang bertugas mengontrol jalannya perkuliahan online dan memastikan kualitas proses belajar tetap seperti kondisi sebelumnya. Persaingan yang ketat membuat kampus tidak boleh main-main dengan biaya karena calon siswa dengan mudah beralih ke kampus lain, apalagi kondisi saat ini informasi sangat mudah di dapat, termasuk informasi mengenai kinerja kampus tujuan.
Safe Mode
Ibarat sistem operasi yang bermasalah, terkadang perlu menjalankan mode “safe mode” dimana beberapa driver saja yang diaktifkan guna menghindari “crash”, begitu juga sebaiknya calon siswa bersikap. Pikirkan kembali apakah mengambil kuliah di dalam atau di luar negeri. Biaya sendiri atau menunggu beasiswa. Sempat juga saya ngobrol dengan pengelola S3 sistem informasi yang baru saja dibentuk. Saat ini skema yang ada hanyalah LPDP yang mungkin hanya beberapa yang dapat per angkatan (dua atau tiga). Jika biaya bisa dicover dari gaji atau tunjangan serdos, tidak ada salahnya menggunakan biaya sendiri. Atau jika masih ragu, tunda saja beberapa saat hingga kondisi wabah mereda. Untuk yg tinggal syarat wajib publikasi, jika diperbolehkan open akses yang berbayar tidak ada salahnya memilih opsi itu daripada gaya-gayaan milih murni Q1 atau Q2 dengan impak yang tinggi tapi ga tembus-tembus.
Metode Belajar
Saat ini calon mahasiswa dituntut kualitasnya mirip calon pegawai. Silahkan searching di internet, tuntutan apa saja yang diminta oleh perusahaan, terutama secara psikologis seperti kemampuan untuk berkembang, beradaptasi, berkolaborasi, berkomunikasi, dan sejenisnya. Jika dulu kita bisa seharian berfikir menyelesaikan masalah/problem, saat ini jika dengan kolaborasi lebih cepat, tidak ada salahnya gabung di grup-grup keilmuwan. Saat ini banyak grup-grup medsos yang membicarakan hal itu, tentu saja harus memiliki “sense” agar tidak hanyut ke hal-hal remeh temeh yang tidak perlu seperti politik, gosip, dan sejenisnya.
Result-based dengan memperhatikan konsep pareto (20:80) perlu juga dipelajari. Silahkan searching konsep menarik ini. Kita harus memiliki kemampuan mendeteksi 20 persen titik kritis yang mempengaruhi 80% hasil. Jangan sampai menghabiskan 80% yang tidak penting dan melupakan 20% yang vital. Mengapa hal ini penting? Salah satu alasannya adalah dunia online yang memiliki aplikasi-aplikasi yang memicu endorphin, seperti game, medsos, dan sejenisnya. Gunakan metode detoks dengan cara mengerjakan hal-hal wajib yang membosankan tapi penting, jadikan pemicu endorphin tersebut sebagai “hadiah” saja.
Di era “big data” ini, informasi sangat mudah dijumpai. Ada manfaat, tetapi tentu saja banyak informasi sampah yang tidak harus kita telan juga. Otak kita tidak seperti machine learning yang mampu mengelola data yang besar 24 jam. Oleh karena itu kemampuan mendeteksi informasi-informasi berharga harus dimiliki. Terkadang informasi tersebut tidak bisa diperoleh hanya dengan mengetik kata kunci di Google. Bisa saja lewat bacaan baik buku maupun jurnal. Khusus mahasiswa doktoral wajib menguasai hal ini mengingat syarat lulus yang harus menemukan hal unik yang baru (novelty).
Low Profile
Sungguh konyol kalau kita masih berani sombong dalam kondisi seperti ini. Negara2 adidaya saja kewalahan menghadapi kondisi saat ini. Kabarnya beberapa kampus di barat mengalami kekhawatiran akan tutup. Apalagi kita yang calon siswa, tentu saja kerendahan hati, sifat alami bangsa Indonesia, tetap dijaga. Tidak ada salahnya mengakui kalau kita tidak bisa dari pada tugas tidak selesai. Tidak ada salahnya juga membantu rekan-rekan tanpa imbalan.
Tetap Hidup
Nah ini yang penting. Ketika saya kuliah, terkadang otak bekerja keras siang malam. Makan dan tidur kurang, serta jarang berolah raga. Untuk kondisi new normal yang akan kita hadapi sebaiknya jangan dilakukan. Tidur yang cukup, berolah raga, dan makan makanan bergizi (tidak perlu mahal) harus dilakukan. Saya teringat ketika pembekalan sebelum berangkat kuliah ke luar, pembicara mengatakan agar jangan terlalu “perfect”. Kerjakan secepatnya, tidak perlu menghasilkan hal-hal yang “wah”, apalagi sampai ingin dapat hadiah nobel. Makin kita lama kuliah, makin banyak yang dikorbankan, terutama waktu yang tidak bisa dibeli. Semoga pembaca sehat selalu … Amiin.