Mencari Sumber Inspirasi

Saat ini sumber informasi tersedia bebas di internet. Beberapa peneliti dengan semangat berbagi yang tinggi kerap men-share kerjaannya baik lewat blog, github, google colab, dan aplikasi-aplikasi berbagi lainnya. Terkadang video pembelajaran bisa dilihat secara gratis di Youtube dengan kualitas yang jauh lebih baik dari dosen/guru pengajar di kelas. Apakah fenomena ini akan merubah peta pendidikan di dunia, mirip fenomena disrupsi yang saat ini masuk ke bidang ekonomi ditandai dengan tergusurnya bisnis konvensional dengan bisnis berbasis industri 4.0 dengan internet of thins-nya. Hanya waktu yang bisa menjawabnya.

Apakah kita bisa berguru dengan sumber informasi seperti buku, ebook, website, google, dan sebagainya? Jawabnya tentu saja bisa. Karena entah itu guru atau murid tetap membutuhkan sumber informasi tersebut. Nah, kalau begitu apa gunanya institusi pendidikan? Untuk menjawabnya, paling gampang adalah mengevaluasi diri sendiri.

Tidak ada yang menyangkal bahwa manusia dari bayi hingga dewasa memiliki kemampuan meniru yang tinggi. Bahkan Jepang yang terkenal pencipta alat-alat teknik, menerapkan prinsip tiru dan modifikasi. Apa yang ditiru oleh bayi atau anak kecil? Tentu saja bukan bacaan, apalagi browsing di internet. Mereka lebih suka melihat langsung, berinteraksi, dan berbaur untuk melakukan peng-copy-an. Salah satu contoh menarik adalah akademi balap yang dibentuk oleh Valentino Rossi. Entah belajar teknik mengajar dari siapa, Rossi bisa menghasilkan pembalap-pembalap kelas dunia, salah satunya F. Morbidelli yang minggu lalu menjuarai seri Aragon 2020. Dengan sederhana, dari wawancara, dia menjelaskan apa yang diperoleh dari akademi balap milik Rossi tersebut. Dia mengatakan sebagian besar ilmu yang diperoleh dari Rossi adalah bukan dari wejangan dia di kelas, melainkan dari interaksi dengan sang legenda balap tersebut, dari bagaimana dia bersikap ketika ada masalah, bagaimana menjaga semangat juang, dan lain-lain yang tidak bisa diperoleh hanya dari video, apalagi tulisan.

Boleh saja e-learning menggantikan peran dosen pengajar, tetapi ada keinginan dari siswa untuk mempelajari sesuatu dari sumber inspirasi, yang tidak lain adalah pengajar dan jajarannya, termasuk instruktur di laboratorium. Terlebih jika siswa tersebut dikirim belajar ke negara lain untuk lebih banyak memperoleh pengalaman agar bisa diterapkan di negaranya. Jepang sebelum perang dunia 2 banyak mengirim anak-anak mudanya mempelajari ilmu permesinan di Jerman hingga akhirnya mampu memproduksi perlengkapan tempur baik senjata, mobil, pesawat dan kapal lautnya. Pengalaman berharga saya ketika studi lanjut dan bergabung dengan siswa-siswa dari negara lain adalah bahwa tidak ada yang layak untuk disombongkan, semua harus belajar. Uniknya, dosen selalu dihormati, tidak seperti di negara kita belakangan ini. Beberapa hari yang lalu saya menjenguk rekan saya yang dulunya dosen di tempat saya mengajar. Sebelum keluar, beberapa tahun yang lalu, para mahasiswa mendemo dengan alasan sepele, bahkan aksinya hingga memecahkan kaca jendela kelas. Saya pun pernah, bahkan sempat salah satunya orasi di depan kelas saat saya mengajar, yang traumanya lumayan, sampai-sampai hingga saat ini saya tidak lagi mau mengajar mahasiswa dari fakultas bernuansa agama itu. Waktu itu saya pos materinya di sini, dengan harapan beberapa tahun kemudian siapa tahu mereka melihat lagi materinya dan bermanfaat ketika sedang mengerjakan skripsi. Sekian, semoga bisa menginspirasi.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.