Belajar Mengajar di Kondisi Sulit

Dalam satu seminar oleh asosiasi perguruan tinggi informatika dan ilmu komputer (APTIKOM) ada sindiran keras dalam hal metode pembelajaran online. Jika diadu tentu biasanya dosen-dosen akan kalah dengan konten-konten yang ada di Youtube. Lihat saja viewer atau subscrabernya. Jarang dosen-dosen yang berjiwa youtuber. Haruskah dosen belajar menjadi Youtuber?

Salah satu keunggulan Youtuber atau influencer-influencer di medsos adalah kreativitas tinggi yang memicu follower atau viewer di kanal-nya. Kreativitas tidak berbanding lurus dengan tingkat pendidikan. Banyak mahasiswa yang berhenti kuliah karena fokus menjadi youtuber karena penghasilannya yang jauh lebih besar dari pegawai kantoran. Namun ternyata harus fokus karena jika kurang update kanalnya akan ditinggal oleh follower-followernya. Jika dosen ingin menyaingi youtuber, tentu saja akan sulit karena harus melakukan pekerjaan-pekerjaan rutin tri darma dan tugas tambahan.

Metakognisi

Sebenarnya dengan banyaknya konten yang beredar di internet, pengajar memperoleh manfaat. Hanya saja salah satu kelemahan siswa adalah dari sisi metakognisi yaitu mengetahui hal-hal apa saja yang belum dikuasai dan mana saja yang telah dikuasai. Jika seorang mahasiswa memiliki kualitas metakognisi yang baik maka dia akan mampu belajar efektif, yakni fokus mempelajari yang dia harus kuasai untuk expert di suatu bidang. Kadang walau kurang cerdas, mahasiswa yang metakognisinya baik mampu belajar lebih cepat dari rekan-rekannya yang kemampuan metakognisinya lemah. (mungkin saya masuk kategori yang kurang cerdas ini).

Salah satu syarat yang harus dipenuhi agar metakognisinya baik adalah sifat keingintahuan yang harus dipupuk oleh siswa. Konon, ketika Einstein sekolah, orang tuanya kerap bertanya apa yang dia tanya ke gurunya di sekolah, bukan nilai prestasi. Kualitas belajar seorang anak dapat diukur dari kualitas pertanyaannya, yang merupakan representasi keingintahuannya.

Peran dosen di sini adalah sebagai seseorang yang mengalami lebih dahulu dalam mempelajari suatu bidang, termasuk kendala-kendala yang dihadapi, pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab dengan baik, tip dan trik, serta hal-hal lain. Sehingga nasihat-nasihatnya terkadang menjadi “short-cut” mahasiswa dalam belajar agar lebih cepat. Maklum, negara kita tertinggal dari negara-negara maju lainnya, tidak ada cara lain selain segera melompat ke depan.

Veracity dalam Big Data

Era Big Data saat ini bercirikan istilah-istilah yang diawali dengan huruf “V” seperti volume, velocity, dan seterusnya. Salah satunya adalah veracity yang menggambarkan data yang meragukan, seperti yang terjadi saat ini. Terkadang data yang membombardir kita di internet membuat siswa kebingungan dalam memilih mana yang penting dan mana yang sampah. Tidak ada salahnya dosen pun melihat youtube-youtube yang berkaitan dengan bidang yang diajarkan, agar mengerti mana konten yang baik untuk ditonton dan mana yang kurang, misalnya versi software yang ketinggalan, dan lain-lain. Dibanding dosen berlama-lama membuat animasi, misalnya, alangkah baiknya jika sudah ada animasi yang dishare oleh orang lain, karena fokus utamanya adalah bagaimana siswa memahami, bukan membuat konten yang baik. Namun, sesuai dengan etika, ketika dosen memberikan, harus juga mencantumkan sumber rujukannya dan tidak mengaku karya orang lain menjadi miliknya.

Peran dosen di sini adalah mencarikan sumber belajar yang sesuai dengan kebutuhan. Sebaiknya jangan hanya share ebook-ebook atau video tutorial tanpa dicek kembali apakah itu memang dibutuhkan atau tidak. Kasihan mereka ketika membaca atau menonton ternyata tidak mendukung dalam memahami suatu materi yang dibutuhkan, mengingat pulsa/paket internet merupakan barang mahal bagi mahasiswa.

Media Untuk Pulsa Minim

Sudah beberapa tahun mengajar di universitas terbuka, banyak pelajaran yang dipetik dari kampus tersebut. Terutama dari sisi “menghemat” pulsa-nya. Hal ini terjadi karena peserta didik terkadang berada di lokasi yang sulit untuk mengakses internet. Untuk mengatasinya, mutlak e-learning diterapkan, dengan konsep anytime dan anywhere-nya.

E-learning, ebook, blog, dan website sejenis ternyata cukup mampu mengatasi kendala yang dialami oleh siswa mayoritas, dimana keluhan masalah pulsa internet yang bikin kantong jebol tersebut. Walau ada bantuan pulsa, tapi sinyal tetap saja kadang bermasalah dan entah sampai kapan teratasi.

Bahkan ada situs (https://anchor.fm/tkorting) yang menyediakan hanya suara, mirip siaran radio (Podcast) yang hemat pulsa. Sementara itu, Google sepertinya masih menjadi andalan, baik itu untuk searching, classroom, hingga programming (Google Colab). Terkadang kecepatan dan efisiensinya mengalahkan e-learning kampus sendiri. Sepertinya segala daya dan upaya harus dijalankan, termasuk jika dosen ingin menjadi YouTuber tak masalah, asalkan fokus ke sharing ilmu bukan fokus ke jumlah viewer yang kebanyakan menyukai topik kontroversial yang bisa menyakiti pihak tertentu. Sekian, semoga postingan ini bermanfaat.

Iklan