Kita mengenal istilah hard skill dan soft skill yang artinya kemampuan teknis/kompetensi/skill dan kemampuan pendukung/komunikasi/sosialisasi/attitude. Terkadang kita melupakan soft skill dan menyerahkan pembelajaran ke orang yang bersangkutan. Nah, saat ini kemampuan tersebut mulai diperhatikan akibat dari banyaknya lulusan yang tidak siap kerja dan juga keluahan dari perusahaan-perusahaan terhadap karakter lulusan-lulusan yang baru bekerja tersebut. Postingan singkat ini sekedar menceritakan yang pernah saya alami.
A. Kemampuan Bertanya
Dari sekolah dasar hingga bangku kuliah kita selalu diajarkan menjawab pertanyaan. Ternyata membuat pertanyaan membutuhkan keahlian khusus. Satu atau dua minggu ketika baru tiba di negara lain dalam rangka studi lanjut, kebanyakan berisi pertanyaan-pertanyaan yang harus saya berikan ke orang lain, dari menanyakan tempat/lokasi, prosedur, dan lain-lain.
Konon, A. Einstein ketika pulang dari sekolah orang tuanya selalu bertanya apa saja yang telah ditanyakan anaknya ke sang guru ketika belajar. Ternyata dari taksonomi bloom (remember, understand, apply, analyse, evaluate dan create) ketika kita bertanya level pembelajaran di atas level understand/memahami. Jadi kalau kita punya anak, berbahagialah jika dia selalu bertanya, walau kadang pertanyaannya membingungkan.
B. Berani Berinteraksi dengan Top Management
Ini mungkin sedikit aneh, tapi informasi ini banyak diinformasikan oleh pakar-pakar motivasi di Youtube, misalnya Renald Kasali. Hal-hal seperti ini terkadang memperlancar pekerjaan. Ini bukan berarti kita belajar kolusi, tetapi memang kondisi dunia saat ini yang memerlukan akses langsung top manajemen ke low level management. Gojek/Grab misalnya, pimpinan mereka harus segera mengetahui segala hal dari segala lini baik mitra yakni supir gojek/grab maupun konsumen. Jadi, saat ini top management wajib berinteraksi, tidak hanya melalui kertas laporan.
Ketika ijin belajar saya terhalang, saya langsung menghampiri rektor karena saya lihat di rencana strategis kampus salah satunya 9 doktor lulus per tahun, jadi tidak ada alasan pimpinan di bawahnya menghalangi. Begitu juga ketika ada masalah dengan jurusan waktu studi lanjut, saya langsung menghadapi vice president bidang akademik untuk mendiskusikan masalah. Sulit memang, tapi di sinilah seni dan kreativitas kita diuji.
Sehari yang lalu, seorang siswa saya lupa isi KRS dan saat ini sudah tutup. Selesai dia mengabari saya langsung kontak ke direktur layanan akademik, dan dia meminta si mahasiswa menghadap. Saya langsu kabari ke siswa tersebut bahwa maksimal hari ini menghubungi yang bersangkutan. Tapi di sore hari dia mengabarkan kalau KRS sudah tutup dan harus cuti. Ketika saya tanya apakah dia sudah menemui direktur layanan akademik yang sudah menunggu hari ini, dia menjawab tidak, dan hanya bertanya ke staf di loket, yang tentu saja jawabannya mengikuti prosedur (SOP).
Ini juga bisa jadi bahan masukan ke senat mahasiswa yang lebih suka mendidik adik-adiknya dengan karakter bergerombol yang padahal perlu skill individu agar berani single fighter dengan tetap menjaga sopan-santun, aturan, dan hal-hal lain ketika berhadapan dengan orang lain apalagi top management. Silahkan pembaca menambahkan hal-hal lainnya, semoga bermanfaat.