Bertanya atau Mempertanyakan?

Membaca judul postingan ini semoga pembaca bertanya apa maksud judulnya, bukan mempertanyakannya. Bahasa Indonesia memang unik, jika bertanya berarti ingin mengetahui sesuatu yang kurang jelas atau belum diketahui, mempertanyakan terkadang ada unsur protes di dalamnya. “Mengapa saya dapat C?”, “mengapa saya tidak lulus?”, dll memang bentuk pertanyaan yang biasanya diutarakan oleh siswa. Silahkan jawab, jika sampai berkali-kali tanya jawab dan disertai argumentasi, berarti bukan bertanya, melainkan mempertanyakan. Jadi ingat rekan saya yang menjawab siswa yang bertanya mengapa dapat C: “harusnya kamu itu D, saya bantu saja jadi C”.

Maraknya media sosial membuat siapa saja boleh mempertanyakan. Surat terbuka, surat dukung-mendukung di change.org misalnya bisa dibuat oleh siapa saja. Ketika p Gufron, pejabat ristek-dikti bagian SDM datang ke kampus UNISMA Bekasi, seorang rekan saya yang sudah senior bertanya mengapa aturan beasiswa dikti 50 tahun? Kenapa tidak dilebihkan saja padahal usia pensiun dosen, apalagi profesor, kabarnya diperpanjang (bahkan di range WHO saya masuk kategori usia setengah baya katanya .. he he). Logis juga menurut saya dan karena ditanyakan langsung ke yang bersangkutan, menurut saya ini masuk kategori bertanya. Walaupun jawabannya formal, yaitu UU dari menpan, sepertinya ada alasan lain yang tidak dibahas.

Dua pertanyaan yang muncul belakangan ini terkait dunia pendidikan adalah kuota beasiswa dan indeks Sinta. Untuk beasiswa, khususnya dalam negeri yang kuota-nya sepertinya berkurang belum ada tanggapan, walaupun surat terbukanya (kalau tidak salah dari kopertis 12) sampai ditujukan ke panglima tinggi, alias presiden. Sebenarnya kuota luar negeri masih kurang, tetapi khusus dosen senior sepertinya agak sulit untuk kuliah ke luar negeri, apalagi yang usianya antara 45 sampai 50, yang mau tidak mau hanya mengandalkan beasiswa dalam negeri. Permintaannya yang menginginkan semua pelamar diterima agak sulit, mengingat kasus satu kampus negeri di Jakarta mencuat gara-gara ada beberapa dosen yang membimbing dan meluluskan mahasiswa S3 hingga ratusan dalam setahun. Dengan kata lain, profesor pun memiliki kuota kewajaran. Menambah jumlah profesor sepertinya satu-satunya langkah yang masuk akal (impor world class profesor), juga pembimbing misalnya tidak harus dari kampus tempat mahasiswa S3 itu kuliah (sepertinya tidak boleh ya?). Untuk world class profesor lagi-lagi disialkan kasus seorang asisten profesor muda dari kampus ternama Belanda yang ternyata ketahuan masih berstatus mahasiswa seperti saya. Saya yakin ristek-dikti memiliki pengalaman-pengalaman pahit yang kadang mempengaruhi kebijakan-kebijakannya. Terkadang kenakalan-kenakalan segelintir orang mempengaruhi orang bener yang lain, seperti kasus pencairan beasiswa di awal-awal saya kuliah. Ok, kita tunggu apa respon pemerintah.

Mempertanyakan berikutnya adalah masalah Sinta yang berawal dari penentuan index Google scholar yang dibilang ironi dalam komentar tentang ranking sinta itu (oiya, yg belum daftar jangan lupa daftar dulu). Tetapi sebelum bertanya atau mempertanyakan terlebih dahulu baca penjelasannya dari LPPM univ sultan agung ini atau bahkan dari menteri-nya langsung di sini. Menurut saya sih Scopus yang jadi andalan, tetapi mengingat index ini berbasis jurnal/buku/seminar internasional yang berbahasa Inggris, sulit sekali ditembus oleh dosen-dosen kita yang berbasis bahasa lokal, bisa ga ada score-nya nanti sebagian besar dosen, padahal target akhir Sinta di versi 6 adalah digunakan untuk kepangkatan. Bisa pada ga naik pangkat nanti. Bagaimana dengan yang lain misalnya portal garuda yang berupa jurnal-jurnal nasional. Repotnya banyak juga jurnal yang tidak terdata di portal garuda akibat pengelola jurnal tidak mengirimkan sample jurnalnya ke LIPI. Nah satu-satunya yang lebih aman adalah Google scholar, bisa meng-cover dosen yang menulis di jurnal lokal dan bahkan yang jurnalnya tidak ada di portal garuda asal terdeteksi di Scholar. Toh, bobot Google scholar jauh di bawah Scopus untuk perhitungan rangking Sinta (saya lupa Google scholar 1/6 atau 1/12- scopus). Serba salah juga sih, Scopus beberapa waktu yang lalu diprotes katanya Kapitalis, sementara pakai Google yang free dianggap abal-abal. Kalau saya sih tetap mendukung Sinta yang memang prosesnya sedang “on going”, kalau tidak suka silahkan pakai yang lain, hanuman, rahwana, atau apalah. Semoga tulisan iseng di hari libur ini menghibur.

Iklan