Studi lanjut, khususnya jenjang doktoral saat ini merupakan hal yang mendesak, khususnya bidang-bidang yang dibutuhkan di era “internet of things” (IoT) ini. Berbeda dengan S2 yang kesannya “terpaksa”, untuk S3 sepertinya banyak hal yang menghalangi dosen melanjutkan ke S3. Mungkin postingan ini sharing sedikit mengenai plus-minus kebijakan yang banyak diterapkan di beberapa institusi di tanah air.
Urut Kancing
Ini adalah istilah antri berdasarkan aspek tertentu seperti senioritas, kebutuhan suatu jurusan akan adanya tenaga pengajar, dan lain-lain. Perhatikan saja suatu antrian, misalnya di “customer service” sebuah bank, ketika ada satu antrian yang lama maka antrian berikutnya akan terhambat. Banyak hal yang membuat lamanya antrian, khususnya jika dipilih yang senior terlebih dahulu. Seperti banyak terjadi, para senior cenderung mencari kampus yang dekat dengan tempat kerja. Masalah meninggalkan keluarga, keuangan (ingin tetap mengajar), dan sejenisnya merupakan hal-hal yang biasa menjadi batu hambatan. Sementara beberapa dosen middle dan terkadang juga junior sudah siap baik dari sisi akademik maupun hal-hal lain (apalagi yang belum berkeluarga). Jadi, pimpinan harus mengamati ketika suatu jurusan tidak ada yang berangkat, kemungkinan ada hambatan dari ijin senior terhadap yuniornya.
Masa Mengabdi
Ada hal lain yang membuat beberapa dosen tidak ingin melanjutkan. Beberapa kampus menerapkan aturan setelah menyelesaikan studi S2 diharuskan balik ke kampus untuk mengamalkan ilmunya terlebih dahulu. Lamanya bahkan ada yang mengikuti aturan ikatan dinas (5 hingga 7 tahun). Akibatnya ketika masa mengabdinya selesai, walaupun diminta oleh institusi melanjutkan kuliah, mereka cenderung enggan karena berbagai hal. Hal yang utama adalah terputusnya riset ketika S2 dulu karena lama-nya menunggu, ditambah lagi aktivitasnya tidak mengarah ke riset dan cenderung administratif. Padahal riset harus diikuti baik dari riset sendiri maupun membaca jurnal-jurnal internasional yang ketika lulus aksesnya biasanya distop sementara kebanyakan kampus kecil di tanah air tidak berlangganan, walaupun bisa saja dengan cara minta tolong rekan lain yang memiliki akses ke jurnal untuk diunduhkan (atau situs bajakan). Ada sedikit cerita rekan saya dari Jawa Timur yang selesai S2, balik ke kampus setahun mengabdi. Tapi selama setahun itu sudah intensif bimbingan dosen pembimbingnya ketika master untuk S3 walau belum terdaftar. Minimal konsultasi masalah tema riset S3. Nah, ketika setahun terlewati lalu mendaftar di kampus tersebut (tentu saja diterima karena sudah komunikasi dengan calon promotor) risetnya cepat sekali, bahkan lulus 2 tahun 9 bulan. Jadi untuk yang master jangan terlalu lama, khawatir akan malas lagi untuk studi lanjut.
Perang Doktor
“Lihat ijasah S2-nya!”, kata si mba staf di kopertis 4 (sekarang namanya lldikti4) ketika mengajukan ijin lanjut S3 dulu. Saya heran dan bertanya mengapa kok langsung di “skak” dengan pertanyaan itu? Ternyata ada instruksi jika S3 tidak linear harus ditolak pengajuan ijin beasiswanya. Ternyata ada maksudnya.
Kuliah S3 bukanlah waktu yang singkat. Jika selesai dan ternyata tidak sesuai dengan linearitas keilmuwan akan mubazir. Ada teman yang mengambil S3 yang berbeda jauh dengan S2 dan risetnya. Alhasil agak kesulitan naik pangkat mengingat harus ada linearitas S3 dengan riset-riset terdahulu yang jauh berbeda dengan S2-nya. Bagaimana jika sudah S3 dan linear dengan riset-risetnya? Berikutnya adalah perang doktor. Di sini perang yang dimaksud adalah persaingan dari sisi Tri Darma. Pengajaran dan pengabdian sepertinya tidak begitu bersaing, nah yang penelitian lah yang bersaing. Untuk meningkatkan kinerja kampus, pimpinan universitas (yang serius memperhatikan tri-darma) akan memacu dosen-dosennya untuk mempublikasikan artikel ilmiah. Nah, doktor tanpa publikasi tentu saja akan kalah “perang” dengan yang banyak publikasinya. Sebagai juri/wasit-nya biasanya menggunakan indeks-indeks yang terpercaya seperti Scopus dan di Indonesia ada Sinta (dengan kata lain Ristek-Dikti jurinya). Silahkan salahkan kedua pengindeks tersebut, itu hak Anda. Tapi perlu diingat, tanpa ada juri/wasit bagaimana mungkin pertandingan dilaksanakan.