Pentingnya Kampus Memiliki Jurnal

Ada postingan di grup bahwa lebih baik fokus dosen-dosen menulis di jurnal-jurnal dibandingkan mengelola jurnal sendiri. Alasannya kinerja kampus dipengaruhi oleh dosen-dosennya yang aktif memublikasi artikel ilmiahnya. Apalagi jika publish di jurnal internasional bereputasi. Postingan ini sedikit menjawab apakah benar statement tersebut?

Perhitungan Sinta

Apa itu Sinta? Silahkan baca post terdahulu mengenai pengindeks Indonesia tersebut. Sinta saat ini menjadi rujukan kinerja penelitian kampus. Bahkan pemeringkatan kampus di tanah air dapat dilihat di situs tersebut, hingga tulisan ini dibuat, tiga besar masih dipegang UI, ITB dan UGM.

Saya mencoba menghitung secara manual skor kampus saya, Universitas Islam 45 Bekasi yang dapat diakses di laman Sinta per 6 Maret 2020 akan dihitung secara manual.

Rinciannya adalah sebagai berikut, jurnal Q2 berbobot 40 ada 3 buah, Q3 berbobot 35 3 buah, Q4/non-Q yang berbobot 30 ada satu. Prosiding yang berbobot 15 ada 12 buah.

Selain dari sisi jumlah, sitasi pun dihitung. Ada 45 sitasi scopus yang berbobot 4. Untuk Google Scholar, Restek/BRIN membatasi maksimal sitasi 1000, sementara di UNISMA lebih dari 1000, dengan bobot 0,5. Terlihat jumlah sitasi di Scopus sebanyak 19 dengan bobot 4 sementara jumlah terindeks Google Scholar 3040 buah dengan bobot 0,5. Lengkapnya gambar di bawah ini. Jurnal yang terindeks Sinta ada 6 dengan bobot 15.

 

Untuk menghitungnya silahkan lihat di panduan yang ada di link Sinta berikut. Untuk versi 2.0 Sinta sudah memasukan faktor jurnal dalam perhitungan skor institusi.

Formula Sinta Score: Wa x A + Wb x B + Wc x C + Wd x D + We x E

Dengan A, B, C, D dan E berturut-turut adalah jumlah jurnal di Scopus, Non-jurnal di Scopus, Sitasi Scopus, Sitasi Google Scholar, jumlah artikel di jurnal terindeks Sinta, dan Jumlah jurnal terakreditasi sinta. Bobot dapat dilihat berikut, mengikuti Sinta.

Jika dimasukan dengan formula Sinta diperoleh hasil sebagai berikut:

SKOR = [40×3+35×3+30×1] + [15×12] + [63×4] + [1000×0,5] + [25×4+15×20+20×15] + [6×15] = 1977

Ada sedikit perbedaan sebesar 11 persen dibanding perhitungan Sinta yang sebesear 2237. Mungkin ada sedikit salah hitung dari saya.

Peran Jurnal Terakreditasi

Kembali ke topik semula, apakah ada manfaatnya kampus memiliki jurnal terakreditasi? Silahkan lihat perhitungan di atas. Walaupun sedikit bobotnya tetapi jurnal kampus menjadi andalan para dosen-dosennya, terutama yang membimbing skripsi/tugas akhir untuk mempublikasikan hasil penelitiannya. Oiya, jurnal kampus merupakan satu-satunya skor yang “abadi”, dibanding dengan dosen yang bisa pindah, pensiun, atau meninggal dunia. Silahkan kalau Anda sanggup mengikat dosen-dosen untuk tidak kabur ke kampus lain.

Sebagai ilustrasi, berikut contoh hitung2an jika tiap prodi di kampus saya (27 prodi) memiliki jurnal terakreditasi Sinta (misalnya S3 ke bawah). Akan ada tambahan 27×15 = 405 point. Otomatis peringkat naik, walau sedikit. Tentu saja bukan cuma dari skor jurnal, ada dampak tidak langsung dari dosen-dosen di 27 jurnal tersebut, karena biasanya lebih mengutamakan dosen-dosen internal yang menulis. Jika satu jurnal mempublish 5 tulisan dosen-dosennya, maka ada sekitar 27x5x15 = 2025 tambahan skor tiap edisinya. Jika per tahun dua kali publish maka ada tambahan 4050 !!! Silahkan kalau berani kampus Anda tidak memiliki jurnal ilmiah terakreditasi. Dapat dipastikan akan tergantung dengan kampus lain yang memiliki jurnal. Memang dalam prakteknya ada “barter” penulis jurnal antar kampus tapi tentu saja kampus A akan mikir-mikir jika kampus B mengirim paper ke A jauh lebih banyak dari kampus A ke kampus B. Jika kita lihat peringkat kampus, tampak tipis sekali bedanya, 405 point jurnal ditambah dosen-dosen yang menulis sudah cukup menggenjot peringkat kampus Anda.

Sebenarnya sasaran pemerintah adalah jangan sampai bergantung dengan Scopus. Tentu saja syarat yang harus dipenuhi adalah kualitas dan kuantitas jurnal yang ada di Indonesia harus diperkuat. Tanpa hal itu, beresiko jika mengatakan untuk tidak perlu menggunakan standar internasional (Scopus atau Web of Science) mengingat kampus merupakan organisasi yang berbasis kepercayaan publik. Oiya, yang penting untuk diperhatikan, tidak semua orang memiliki kemampuan sebagai editor yang harus sabar dan tekun mengikuti tren penelitian di dunia. Semoga tulisan ini bisa menginspirasi dan tetap membangkitkan semangat kampus untuk meningkatkan kualitas jurnal-jurnalnya yang jujur saja kita kalah dengan negara-negara tetangga. Oiya, pemilik (owner) kampus tidak ada salahnya menyimak tulisan ini lho.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.