Profesor merupakan jenjang tertinggi seorang dosen atau peneliti. Saat ini profesor maupun asisten profesor (associate professor) di Indonesia diwajibkan membuat karya tulis yang dipublikasikan di jurnal internasional. Asisten profesor di Indonesia setara dengan Lektor Kepala. Tidak menunggu lama, protes pun bermunculan setelah peraturan tersebut diumumkan menteri riset, teknologi, dan pendidikan tinggi (RISTEK-DIKTI).
Protes tersebut berisi keberatan terhadap peraturan menteri yang dianggapnya tergesa-gesa dan memberatkan. Bahkan sudah masuk ke ranah DPR yang mengawasi peraturan tersebut apakah sesuai atau tidak. RISTEK-DIKTI sendiri mengambil keputusan tersebut setelah melihat kinerja profesor di tanah air yang kurang/tidak produktif dalam melakukan riset/penelitian. Jumlah profesor yang sebanyak 5000 orang tidak optimal dalam mengakses dana penelitian 14000 lebih, dan ini sangat disayangkan. Ancaman peraturan tersebut lumayan berat, yaitu mencabut tunjangan kehormatan.
Memang jurnal internasional merupakan salah satu bentuk standarisasi suatu riset, apakah dilakukan atau tidak, mengingat banyak penelitian yang didanai tidak ada kabar berita hasilnya. Dengan dipublikasikan ke Jurnal internasional maka kualitas riset yang melatarbelakangi suatu tulisan dapat diketahui. Beberapa jurnal terindeks seperti Scopus/Thomson menggunakan standar peer review ketika akan dipublikasikan, yakni pakar-pakar di bidangnya. Berbeda dengan monitoring dan evaluasi (monev) atau laporan hasil penelitian Ristek-Dikti yang belum tentu sesuai dengan bidang para reviewer yang ditunjuk Ristek-Dikti.
Dengan syarat suatu hibah dipublikasikan di jurnal internasional, tugas Ristek-dikti sedikit ringan karena terbantu oleh standar jurnal internasional. Harapannya bisa mengalahkan jumlah tulisan di jurnal internasional kompetitor terdekat kita yakni Malaysia. Idealnya adalah tiap satu dosen saja mempublikasikan satu makalah di jurnal internasional maka otomatis kita akan menyalip negara-negara tetangga kita dari sisi publikasi ilmiah. Tapi tentu saja ini sangat memberatkan, dan menurut saya langkah Ristek-dikti lumayan tepat dengan memaksa “kepala”-nya, yaitu Lektor kepala dan Profesor untuk menghasilkan publikasi di Jurnal internasional, paten, atau karya monumental lainnya.
Saat ini kebetulan saya tidak terlibat dengan peraturan tersebut, bukan lektor kepala/profesor, dan sedang studi lanjut pula. Bahkan sudah saya ikhlaskan untuk tidak menerima tunjangan sertifikasi dosen (serdos). Memang saya akui, berat juga mempublikasikan tulisan di Jurnal internasional. Mahasiswa doktoral saja yang masih fresh dan mengikuti terus perkembangan ilmu di jurnal-jurnal internasional masih kesulitan, apalagi beberapa dosen yang sudah “sepuh” dan terutama yang sudah lama lulus doktoralnya (ditambah waktu itu tidak ada kewajiban publikasi di kampusnya) pasti lebih sulit lagi. Beberapa profesor yang membimbing mahasiswa doktoral akan memaksa siswanya publikasi. Rekan saya yang kuliah di UI mengatakan dia diminta publikasi empat jurnal internasional. Untungnya saya yang ambil kuliah di luar negeri hanya mensyaratkan satu publikasi, walaupun syarat impact faktor yang di atas satu cukup memberatkan pula.
Webometrik telah mempublikasi peneliti-peneliti di Indonesia dengan h-index di atas 10 standar google scholar. Silahkan cek sendiri, dan coba iseng-iseng masukan namanya, ke Scopus. Jika dibandingkan dengan tetangga-tetangga kita jauh. Saya coba yang ranking 226 dengan h-index 13, di scopus hanya memiliki h-index 3. Dan uniknya Scopus pun diprotes oleh beberapa rekan dosen karena dianggap kapitalis. Tentu saja saya bingung juga. Coba perhatikan negara-negara maju di dunia, seperti AS, Jepang, Jerman, Inggris, Perancis, dll apakah mereka sanggup membuat indeks mandiri dan mampu mengalahkan Scopus atau Thomson? Sebagai patokan, univ Tokyo saja mempublikasikan jumlah tulisan per tahun di atas negara kita, ya tidak apa-apa sih jika kita optimis membuat indeks sendiri. Bolehlah kita protes asalkan konsisten, yaitu menggunakan software open source yang anti kapitalis. Jangan sampai kita protes tetapi tetap menggunakan software bajakan, malu dong.
All in all. Semoga saja gairah riset di tanah air semakin maju. Seperti kebijakan serdos dulu yang memacu dosen-dosen untuk studi lanjut ke jenjang S2. Seperti di negara-negara maju, semoga seluruh dosen di tanah air bergelar doktor atau bahkan profesor.
Satu respons untuk “Kewajiban Profesor dalam Menulis”