Melihat Kinerja Riset Kampus dengan SINTA

Salah satu pengindeks lokal negara kita adalah SINTA. Ternyata selain untuk melihat kinerja seorang peneliti juga bisa digunakan untuk melihat kinerja kampus. Caranya adalah dengan mencari berdasarkan Afiliasi institusi tertentu (kampus atau lembaga penelitian). Di sini akan saya coba buka kampus saya ngajar dan kuliah dahulu.

Pertama-tama buka situs SINTA. Kemudian masukan nama afiliasinya, misalnya “universitas islam 45” dilanjutkan dengan menekan simbol “search”. Dari hasil pencarian, tekan link yang ditampilkan untuk melihat secara umum (overview) institusi yang akan dilihat.

Tampak total sitasi berdasarkan “google” dan “scopus”. Untuk melihat pengarang-pengarang yang ber-“homebase” di institusi itu tekan “Authors” yang simbolnya kepala-kepala orang. Hingga saat ini proses registrasi sedang berjalan dan ada kemungkinan “score” bertambah dengan bertambahnya author yang terverifikasi.

Ada beberapa author yang belum memiliki ID Scopus yang diperoleh jika author pernah submit jurnal atau conference yang terindeks scopus. SINTA sendiri memiliki score yang dapat dilihat dengan menekan tombol “Score”.

Score yang lumayan untuk kampus kategori binaan. Saat ini sitasi “google” masih dipimpin oleh UGM sementara “scopus” dikuasai ITB, jika dilihat di menu utama SINTA.

SINTA selain menarik data dari google scholar dan scopus, juga data dari IPI atau yang dikenal dengan portal garuda. Karena menarik data dari portal garuda yang berisi jurnal-jurnal lokal baik terakreditasi atau tidak bisa juga digunakan untuk melihat kinerja suatu jurnal. Misalnya jurnal yang sempat saya buat tahun 2013 kenerjanya dapat dilihat dengan men-search di SINTA.

Tampak sitasi dan index yang masih nol. Semoga postingan ini bermanfaat. Kinerja di atas hanya sekedar ilustrasi dan masih sementara karena proses verifikasi masih berjalan. Jadi masih ada kemungkinan untuk bertambah, sekian.

Iklan

Konversi Piksel ke Area

Ketika melakukan manipulasi image terkadang diminta mempresentasikan area lahan dalam hektar. Padahal data raster format yang biasanya digunakan adalah piksel. Bagaimana menghitungnya? Postingan berikut ini bermaksud sharing bagaimana menghitung luas suatu kelas land use (LU) dalam image yang kita miliki.

Untuk data polygon, postingan yang lalu sedikit mengulas bagaimana menghitung suatu area tertentu dalam software ArcGIS. Untuk menghitung area, cara yang praktis adalah dengan menggunakan “crostab” di IDRISI atau “tabulate area” di ArcGIS. Prinsip penggunaannya baik ArcGIS maupun IDRISI sama saja. Tabulasikan saja dua image yang sama.

Untuk ArcGIS caranya tidak jauh berbeda, yang penting nanti dihasilkan tabel tabulasi. Di sini baik first image maupun second image menggunakan image yang sama. Tekan “OK” dan dihasilkan tabel di bawah ini.

Perhatikan tabel di atas. Dari 7 kelas, tampak total pikselnya. Karena kelas “1” adalah “background” yang tidak dihitung, maka total piksel study area adalah total piksel dikurangi background. Gunakan kalkulator atau Microsoft Excel agar tidak salah. Di sini total piksel study area adalah 452.570 dikurangi dengan 212.255 yakni sebesar 420.315 piksel yang setara dengan luas study area contoh di atas, yaitu kota Bekasi sebesar 21049 hektar. Jadi jika diminta menghitung berapa hektar kelas “7” misalnya maka jawabannya adalah 2067 * (21049/420315) = 103,51 hektar. Mudah bukan?

Note: jika diminta dalam satuan km persegi, mudah saja. Bagi saja dengan 100 hasil di atas, yakni menjadi sebesar 1.0351 km2.

Virtual Machine dengan VMWARE

Postingan ringan kali ini membahas tentang mesin virtual (virtual machine). Mesin virtual di sini yang dimaksud adalah mesin virtual pengganti personal computer (PC). Mesin ini berjalan di dalam sistem operasi dengan memanfaatkan sumber daya yang ada pada suatu PC (prosesor, ram, vga, dan sebagainya). Beberapa pengalaman unik dengan mesin virtual akan saya share, siapa tahu bermanfaat bagi pembaca sekalian.

Berfungsi Sebagai Server Sementara

Ada pengalaman unik ketika saya masih bekerja di IT suatu bank swasta nasional. Jadi ceritanya ada pergantian PC Server cabang di tempat kerja saya dahulu, tetapi sistemnya sendiri belum dijalankan (tetapi sudah dipasang, server berbasis windows terbaru). Karena sistem saat ini masih menggunakan versi yang lama sementara seluruh PC server diganti yang baru, maka untuk sementara dipasang server virtual dengan versi yang lama karena proyek penggantian sistem yang baru belum dieksekusi.

Tadinya saya terkejut karena menggunakan server virtual untuk transaksi real. Tetapi setelah dijalankan ternyata tidak ada masalah karena walaupun virtual, data tetap real. Butuh tulisan yang panjang untuk membahas IT di perbankan, tetapi intinya mesin virtual layak dijalankan. Bahkan saat ini layanan cloud computing sudah biasa menggunakan mesin-mesin virtual, misalnya Amazon. Suatu server induk menyediakan layanan berupa server-server virtual untuk nasabah yang membutuhkan server untuk operasionalnya. Waktu itu yang digunakan adalah VMWARE yang ternyata gratis untuk playernya.

Multi-platfom

Untuk menginstal dua sistem operasi dalam satu mesin memang bisa dengan menggunakan dual operating system. Tetapi karena diinstal secara real, maka konsekwensi yang dihadapi juga real. Maksudnya adalah hardisk terpartisi, dan masalah-masalah sumber daya lainnya. Dengan mesin virtual, saya bisa menggunakan beragam sistem operasi dalam mesin virtual tanpa mengganggu sistem utama ketika tidak digunakan. Beberapa sistem operasi telah saya coba dari redhat, ubuntu, hingga yg berlogo kadal (saya lupa namanya, maklum banyak fikiran).

Masalah Driver

Saya memiliki scanner UMAX dengan driver berbasis windows xp. Ketika PC saya berganti windows 7 ternyata tidak bisa digunakan drivernya. Cari di internet ternyata tidak ketemu (walaupun ada yang berbayar tapi malas juga keluar duit lagi untuk barang lama). Akhirnya dari pada scanner tidak terpakai, saya gunakan saja mesin virtual ketika menjalankan scanner tersebut.

Masalah Kompatibilitas Program

Program jadul ternyata tidak bisa berjalan dengan sistem terbaru, walaupun biasanya ada fasilitas backward compatibility. Di menu windows ada pilihan kompatibilitas dengan sistem operasi yang lama, tetapi tidak semua berjalan. Kadang walaupun berjalan ada fasilitas-fasilitas tertentu yang tidak bisa beroperasi. Nah, dengan virtual machine masalah itu dapat terselesaikan.

Untuk yang seumuran saya mungkin ada yang kangen dengan games jadul, untuk sekedar mengenang waktu kuliah dulu. Banyak situs-situs yang masih menyediakan source game tersebut, tetapi harus dijalankan dengan versi OS yang cocok dengan saat itu, misalnya windows XP. Mesin virtual dapat mengatasi masalah itu.

Salah satu yang menjengkelkan adalah kewajiban menggunakan program access untuk laporan serdos yang hanya bisa dijalankan dengan OS 32 bit windows. Repot juga jika laptop/pc kita menggunakan OS 64 bit, seperti saya. Salah satu jawabannya adalah dengan menggunakan mesin virtual, beres sudah, duit cair, he he. Terakhir saya menggunakan mesin virtual untuk bikin seneng anak yang mulai gemar game sepakbola. Repot juga kalo harus keluar uang beli PS, mending instal game jaman dulu saya di mesin virtual, colok ke flat TV, pakai keyboard dan mouse wireless, beres dah. Asal mainnya dari jauh dan jam-nya dibatasi sepertinya aman dibanding main tablet, laptop atau gadget lainnya.

Ekspor Land Use dari ArcGIS ke IDRISI

Terkadang peta Land Use (LU) perlu disisipkan dalam Land Cover (LC) dari pengolahan citra satelit (lihat postingan yg lalu tentang LU dan LC). LU sendiri diambil dari sumber lain selain citra satelit antara lain: data pemerintah, data dari swasta (lihat link ini sebagai contoh), dan sumber-sumber lain (google earth, google street view, dan sejenisnya).

1. Konversi dari Point ke polygon

Seharusnya LU berupa format polygon, mengikuti struktur bangunan itu sendiri. Tetapi jika rumit, bisa diambil pendekatan berupa titik tertentu, kemudian dikonversi menjadi polygon dengan fungsi “buffer”. Biasanya diambil kira-kira untuk pabrik misalnya 100 meter. Gambar berikut memperlihatkan buffering lokasi komersial (pasar, mall, pertokoan, dan sejenisnya).

2. Konversi dari Polygon ke Raster

Karena hasil pengolahan citra IDRISI berformat raster (*.rst) maka peta LU harus dikonversi lagi dari polygon ke raster dengan fungsi “polygon to raster” pada ArcGIS. Perhatikan bagian “Cellsize”, gunakan template dari image yang digunakan Land Cover.

Uniknya walaupun kita menggunakan cellsize yang sama, ternyata hasilnya masih kurang akurat jika dibanding dengan menggunakan LC yang akan disisipi menjadi template.

3. Konversi dari Raster ke ASCII

Data raster yang dihasilkan ArcGIS harus dikonversi ke ASCII agar bisa digunakan oleh IDRISI (dengan cara import). Oleh karena itu gunakan fungsi “raster to ascii” yang berada di menu conversion pada toolbox ArcGIS. Jangan lupa, gunakan environment dan pilih proyeksi yang sama dengan LC yang akan disisipi.

4. Impor dari ASCII ke Image pada IDRISI

Terakhir, buka IDRISI dan ambil fungsi ARCRASTER untuk mengimpor image dari ArcGIS. Pilih radio button terakhir yang mengkonversi dari Ascii format Idrisi.

Jangan lupa Output reference dipilih (defaultnya plane) sesuai dengan proyeksi study area. Jika sudah, gambar image berformat rst siap digunakan. Selanjutnya akan diposting bagaimana merger dua image.

Video tutorial berikut mungkin bermanfaat:

Land Use dan Land Cover dalam Riset

Banyak riset saat ini yang melibatkan Land Use/Cover (LULC). Riset tersebut termasuk kategori riset yang melibatkan banyak disiplin ilmu (inter/multi-discipline). Entah itu bidang pertanian, lingkungan, perencanaan kota, dan lain-lain, jika melibatkan LULC maka wajib mengetahui dasar-dasar Sistem Informasi Geografi (GIS). Termasuk saya yang meneliti optimasi data spasial terpaksa membutuhkan pembimbing dari jurusan remote sensing dan GIS (RS-GIS).

Persamaan dan Perbedaan Land Use dengan Land Cover

Ada persamaan dan perbedaan antara land cover (LC) dengan land use (LU). Persamaanya adalah keduanya membagi suatu wilayah dalam kelas-kelas tertentu, misalnya vegetasi, pertanian, sungai, dan lain-lain. Perbedaan mendasar adalah dari sisi pembagian kelas-kelas tersebut. LC membagi kelas-kelas berdasarkan sifat biofisika yang dapat diketahui langsung dengan image processing dari citra/foto satelit. Sementara LU membagi kelas-kelas berdasarkan bagaimana manusia memanfaatkan suatu lahan, misalnya untuk komersial, perumahan, industri, dan lain-lain. Jadi LC lebih umum dalam membagi dibanding LU. Built-up yang artinya wilayah tempat dibangunnya suatu gedung, merupakan pembagian berdasarkan LC, karena biofisika yang berbeda dengan vegetasi. Sementara built-up itu sendiri jika berdasarkan LU, yakni bagaimana manusia menggunakan lahan, bisa dirinci lagi menjadi perumahan, kesehatan, industri dan fungsi built-up lainya.

Riset yang Melibatkan LULC

Jika berbicara mengenai riset, biasanya kita berbicara mengenai publikasi dan sumber pendanaan. Terkadang keduanya tidak singkron, maksudnya dari sisi tujuan. Dari pengalaman yang saya alami sebagai pemula, perbedaan antara publikasi dan pendanaan hibah sangat signifikan dilihat dari keberhasilannya (accepted jurnal dan accepted pendanaan hibah).

Terkadang tema yang layak di jurnal (terutama jurnal internasional) sulit diterima jika diajukan untuk pendaan suatu hibah. Jurnal internasional membutuhkan kebaruan (novelty) sementara jika tidak ada kontribusinya langsung (terhadap masyarakat, pemerintah, dan pihak tertentu) biasanya ditolak. Sementara yang berkontribusi langsung walaupun tidak ada unsur kebaruan di dalamnya diterima. Oleh karena itu harus ada kompromi antara keduanya jika ingin diterima baik publikasinya ataupun pendanaan hibahnya. Apalagi saat ini pemerintah mewajibkan luaran hibah penilitian berupa jurnal internasional, tidak hanya laporan hasil dan purwa rupa-nya.

Untuk saat ini sebagai patokan riset yang melibatkan LULC agar diterima di jurnal internasional adalah cakupan study area. Rekan saya yang meneliti penyebaran hotspot/wifi beberapa kali ditolak naskahnya di jurnal internasional karena cakupan yang sempit. Untuk amannya, gunakan scope minimal suatu kota/district jika ingin mempublikasikan di jurnal geografi. Jika scope terlalu sempit, editor cenderung lebih santai dan tanpa usaha menolak naskah Anda. Langkah alternatif adalah mempublish di jurnal lain yang bukan geografi, misal untuk kasus di atas di jurnal Information and Communication Technology (ICT). Akhirnya rekan saya berhasil dipubliksh di jurnal itu, walaupun menghabiskan hampir dua tahun selalu gagal di jurnal geografi, sebelum beralih ke ICT.

Bagaimana dengan hibah? Tentu saja hibah harus memperhatikan kebutuhan dan keinginan pemberi dana. Namun, jangan melupakan kebaruan/novelty yang berpeluang ditemukan ketika melaksanakan proyek hibah tersebut. Jangan khawatir, walaupun perkembangan riset sangat pesat, masih banyak hal-hal tertentu yang masih buram dan harus diriset. Misalnya kita mengajukan hibah untuk mengelola sistem informasi geografis suatu daerah. Ketika melakukan klasifikasi dan penamaan, masih banyak kendala yang dihadapi para peneliti di dunia. Citra satelit yang dihasilkan mungkin tidak bisa langsung mengklasifikasi suatu built-up menjadi perumahan dan sejenisnya, nah itulah tugas Anda membuat kode/metode untuk membedakannya. Bukankah mata Anda langsung bisa membedakan antara daerah industri, sekolah dan perumahan? Jika mata kita bisa membedakannya kita tinggal membuat prosedur yang digunakan oleh model/sistem untuk secara otomatis “menebak” suatu bangunan itu perumahan ata bukan. Atau hal-hal lain dari hibah yang sudah diterima untuk dibuatkan jurnal internasional berdasarkan kebaruan yang ditemukan selama mengerjakan proyek hibah tersebut. Selamat meneliti, semoga tulisan singkat ini bisa menginspirasi.

 

Mindfulness

Hari ini ternyata hari “visacha bucha” yang merupakan hari libur di Thailand. Hari libur itu katanya merupakan peringatan terhadap kelahiran, pencerahan, dan wafatnya sang Budha. Facebook sendiri menginformasikan hari peringatan tersebut, khusus pengguna yang berada di negara-negara dengan mayoritas Budha sepertinya.

Saya sendiri yang muslim sangat menghormati bukan hanya ulama-ulama melainkan juga pemerhati-pemerhati spiritual agama lain seperti pendeta, biksu, dan lain-lain. Apapun ajarannya mereka berusaha menuju ke arah kebenaran. Postingan ringan kali ini tidak bermaksud membahas hari raya visacha bucha atau ajaran agama Budha, melainkan satu konsep unik dan menarik dari ajarannya yaitu mindfulness.

Mindfulness adalah keterampilan yang harus digunakan ketika bermeditasi atau dapat juga diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, walaupun agak sulit. Sepertinya penganut apapun boleh menerapkan mindfulness karena memang suatu keterampilan dalam mengisi kehidupan sehari-hari.

Apa itu Mindfulness ?

Waktu itu ada seminar penulisan artikel ilmiah di kampus saya kuliah. Pembicaranya saya tidak begitu mengetahui apa agamanya, mungkin Hindu karena berperawakan asia selatan. Gaya bicaranya tidak meledak-ledak tetapi enak didengar. Salah satu tip dan triknya untuk bisa berfikir dengan baik agar dihasilkan karya ilmiah yang bermutu adalah dengan mengelola cara berfikir kita. Dia menganjurkan untuk bermeditasi dengan konsepnya mindfulness. Mindfulness adalah suatu cara berfikir yang tetap menyadari apa yang terjadi saat ini. Yang disadari bukan hanya kondisi fisik di badan melainkan juga fikiran dan suasana hati. Prinsip dasarnya adalah berada pada saat ini, tidak terlalu hanyut dengan masa lalu dan atau mengkhawatirkan masa depan.

Tidak ada salahnya prinsip mindfulness dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari. Hasilnya tentu bukan hanya prestasi, tetapi hubungan sosial juga baik. Bandingkan saja, bagaimana perasaan kita ketika berdialog dengan seseorang yang fokus fikirannya saat ini dibanding dengan orang yang fikirannya ke tempat lain. Tentu kita akan nyaman dengan orang yang fikirannya ada pada saat ini, detik ini juga. Dosen yang sedang membimbing siswa pun akan optimal dan siswa merasa nyaman. Waktu yang ada menjadi efektif.

Menghindari Cari fikir Auto-pilot

Hampir kebanyakan kita menerapkan secara tidak sadar konsep auto-pilot ini. Maksudnya adalah ketika ketika melakukan suatu aktivitas baik mental maupun fisik, tidak menyadari apa yang sedang dilakukan atau difikirkan. Sebaiknya segera beralih dari prinsip auto-pilot ini karena selain tidak sadar (unconscious) juga melelahkan, terutama bagi Anda yang sedang sekolah atau kuliah (apalagi doktoral .. he he).

Tidak semua auto-pilot itu baik. Misalnya terhadap suatu kejadian di luar, kebanyakan kita cenderung menggunakan prinsip auto-pilot, yaitu bereaksi dengan cepat yang terkadang reaksi tersebut adalah negatif (marah, kecewa, dan sejenisnya). Teorinya mudah, tetapi ketika dipraktekan akan sulit sekali karena mudah sekali batin kita dipicu oleh rangsangan dari luar (biasanya dari panca indera).

Menyadari Batin

Mindfulness yang lebih sulit adalah menyadari batin. Untuk mengetahui lebih jauh, search aja “cittanupassana” dalam istilah pali-nya. Kalau saya sepertinya menyadari fikiran dulu saja sebagai dasar, sudah lumayan kalau bisa tetap dipertahankan setiap saat. Ketika prinsip ini dijalankan biasanya kekuatan mental bertambah, ngantuk dan lelah biasanya jadi jarang. Pengalaman tiap orang ketika mempraktekan mindfulness dalam kehidupan sehari-hari mungkin berbeda-beda, entahlah. Yang saya alami terkadang bukan hanya fikiran atau perasaan yang disadari melainkan juga rentetan peristiwa yang menyebabkan satu fikiran muncul bisa diketahui dan disadari. Misalnya ketika muncul kebencian yang tiba-tiba. Jika terbiasa mindfulness, terkadang bisa diketahui asal mulanya dari rentetan pemicu yang sepele dan tidak seharusnya jadi kebencian. Setelah disadari biasanya kebencian itu hilang, kecuali kalau masih auto-pilot yang dipakai. Kemunculan hal-hal tertentu datang dan pergi untuk selama-lamanya tetap harus bisa disadari. Jika fikiran yang meloncat-loncat seperti monyet sudah jarang terjadi, berarti keterampilan dalam mengelola batin sudah maju.

Demikian tulisan singkat, silahkan ambil yang baik dan buang yang tidak bermanfaat. Bahkan di barat sudah mulai diterapkan self awareness, silahkan liat video berikut (English).

Atau lihat animasi ini, singkat tapi jelas:

 Update: 19/5/2017

Ternyata visacha bucha itu hari raya waisak di Indonesia, hanya saja waktunya selisih sehari setelah visacha bucha.

Membaca (Lebih) Cepat

Postingan yang lalu sedikit disinggung alasan mengapa harus bisa memba cepat. Kali ini ternyata nemu referensi tentang bagaimana tip dan trik agar membaca lebih cepat dari sebelumnya. Waktu itu iseng-iseng ke perpustakaan kampus karena jenuh mengetik di kamar kos. Oiya, perpustakaan saat ini sepertinya sudah mulai berubah paradigmanya, dari tempat mencari sumber referensi menjadi tempat yang nyaman untuk membaca, berselancar, video conference, belajar kelompok dan sejenisnya. Karena untuk sumber referensi saat ini internet sudah mulai menggeser peran perpustakaan sendiri. Gambar berikut contoh salah satu bentuk perpustakaan di salah satu perguruan tinggi di eropa yang tanpa terlihat adanya rak buku (bookless).

Dan sasaran saya ke perpustakaan selain tempat “ngadem” dan berjam-jam ngutak-atik internet dan mengerjakan laporan adalah mencari buku-buku unik dan langka. Salah satu yang saya temukan adalah teknik membaca karya Harry Bayley yang berjudul “Quicker Reading” dan terbit tahun 1971, jaman periode pertama kampus AIT yang dipimpin oleh Milton E. Bender, Jr waktu itu.

Sudah cukup tua, sampulnya pun sudah terkelupas, tapi setelah saya baca lumayan juga banyak tip dan trik yang diperoleh dari buku tersebut. Isinya berupa tip dan trik singkat lalu dilanjutkan dengan contoh bacaan beserta pertanyaan bacaan. Kita diminta untuk mengukur waktu dengan stopwatch, tersedia di HP atau laptop. Kemudian kecepatan membaca sudah tersedia di tabel dengan satuan kata per menit (jumlah kata dibagu detik waktu dan dikali 60). Untuk pertanyaan, jangan sampai nilai kurang dari 60% benar. Tidak ada paksaan agar membaca cepat, karena targetnya adalah kecepatan bertambah dari sebelumnya.

Ada sekitar 12 trik yang dibahas dibuku tersebut (saya rangkum jadi 5 saja). Tiap bab berisi satu tip dan trik dengan dua latihan yang sepertinya bekerja dengan baik. Buktinya adalah kecepatan membaca yang terus bertambah, walaupun kecepatan saya tetap berada di “tarif bawah”, he he. Tapi ya wajar saja karena bacaannya bahasa Inggris mirip IELTS yg ada saat ini. Berikut ini satu persatu tip dan trik yang diajarkan buku tersebut (setelah bab membahas alasan meningkatkan kecepatan bacaan, proses yang terjadi ketika membaca, dan intro-intro lainnya).

1. Jangan Bersuara

Walaupun Anda seorang Rapper handal yang mahir berbicara cepat, tetap saja tidak akan melebih 200 per menit. Oleh karena itu mulai saat ini jangan mencoba untuk bersuara seperti anak SD membaca di depan kelas.

2. Jangan Berbicara dengan Diri Sendiri (Vocalization)

Berbicara dengan diri sendiri di sini maksudnya adalah mirip dengan no.1 di atas tetapi tidak bersuara melainkan bersuara di kepala. Ternyata walaupun tidak bersuara tetap saja bersuara dalam hati ternyata mengurangi kecepatan membaca kita. Berbicara dengan diri sendiri juga mengomentari yang sedang kita baca saat ini. Misal ketika membaca suatu nama, kita berpaling ke nama yang mirip dengan nama itu dan kehilangan fokus, dan ketika sadar kehilangan fokus, kita kembali lagi mengulangi membaca kalimat itu yang berakibat kehilangan speed. Sekali lagi, jangan terlalu terlibat dulu dengan menyimpulkan, anggap kita seperti spon yang mudah menyerap cairan informasi.

3. Jangan Melihat Kembali

Kalau kita berdialog dengan seseorang, tentu saja lawan bicara tidak nyaman jika kita sering meminta mengulangi apa yang baru saja dikatakan. Kalau sekali dua kali sih tidak apa-apa, kalau sering tentu saja mengganggu kenyamanan dialog. Begitu juga dengan ketika membaca, usahakan yang kita baca tidak kita ulangi karena akan memperlambat bacaan kita. Anggaplah buku itu orang lain yang kita ajak dialog.

4. Kamu dan Matamu

Agak kasar juga judulnya bagi orang jawa, “matamu”. Ternyata otak menerima informasi kata ketika mata berhenti bergerak. Makan banyak mata bergerak, speed akan turun. Bayangkan gambar di bawah ini, jika satu kalimat itu berhenti hanya dua kali (tapi mata bisa menjangkau di sekitar batas berhenti), maka lebih cepat dibanding tiap kata (seperti siswa SD) atau empat berhenti, mungkin karena kata yg sulit.

Ada tip dan trik yang diberikan dari buku tersebut yaitu kalau bisa tiga kata awal harus terjangkau di satu titik pemberhentian jika ingin memiliki sedikit stopping. Ada satu latihan jangkauan mata di salah satu bab (bab 11) yang mencoba mengukur jangkauan mata kita terhadap penggalan kalimat.

Jika ada lima rekan anda berdiri berjejer, Anda tentu dapat mengenal mereka tanpa meneliti secara detil satu persatu. Begitu juga ketika membaca, sebanyak mungkin jangkauan mata terhadap kata dalam satu titik berhenti (maksudnya bola mata diam). Coba latih membaca surat kabar yang berbentuk kolom-kolom dengan bola mata hanya bergerak turun, tanpa kanan kiri. Artinya satu perhentian bola mata menjangkau kiri dan kanan kolom bacaan.

5. Ritme dan Tingkat Kesulitan

Ciri-ciri membaca yang baik selain cepat adalah ritme yang pas, tidak lambat di awal, cepat di akhir atau sebaliknya. Membaca menjadi santai tidak melelahkan karena mengikuti kecepatan alamiah kita. Mungkin kalau ujian READING harus dipaksa cepat kali ya. Selain itu disarankan juga ketika membaca mirip ketika mengendarai kendaraan manual. Terkadang memindahkan gigi dari cepat ke lambat jika dijumpai kasus tertentu, apalagi ketika membaca “white paper” yang berisi tabel, grafik, dan sejenisnya selain kata/kalimat.

Demikian ringkasan dari tip dan trik membaca cepat. Dimulai dari mengurangi pergerakan kepala, vocalization, hingga meningkatkan jangkauan mata diharapkan mampu mempercepat membaca. Dan tentu saja harus sering-sering berlatih dengan membaca sebanyak-banyaknya sumber informasi. Semoga bermanfaat.

Outdoor Library with Acoustic Concert in AIT

Memaknai Beasiswa

Kemarin hari pendidikan nasional (HARDIKNAS), jadi teringat perjalanan beasiswa saya. Apa makna beasiswa bagi saya? Mungkin cerita singkat ini bisa menjawabnya.

Waktu itu tahun 2008, saya memutuskan untuk berhenti bekerja di konsultan IT suatu bank swasta. Suatu karir yang saya kerjakan bersamaan dengan mengajar di suatu kampus IT dekat tempat saya bekerja. Hal ini saya lakukan karena tidak kuat menjadi buruh “IT” yang bekerja lebih keras dari kuda, mengapa lebih keras? Karena bekerja sampai malam hari (kuda pun sudah bobok). Akhirnya saya fokus ke dunia kampus, menjadi seorang dosen dan mengharuskan studi lanjut ke jenjang strata dua, walaupun waktu itu masih diperbolehkan menjadi dosen dengan jenjang S1.

Studi Lanjut S2

Setelah mencari kampus-kampus tujuan, ketemulah yang terdekat yaitu kampus negeri terkenal di Indonesia yang ada di Jakarta. Daftarlah saya bersama dan bertemu dengan rekan-rekan dari seluruh Indonesia. Banyak juga ternyata, dan kebanyakan adalah praktisi-praktisi yang ingin upgrade ilmu. Selain itu banyak juga dosen-dosen seperti saya. Soal TPA dapat dilalui dengan baik, hanya saja test bahasa Inggris yang amat sulit, terutama di bagian pertanyaan bacaan yang saya sendiri heran, apa benar ada orang yang bisa mengerjakan soal tersebut dengan waktu yang cukup. Dua lembar halaman harus dibaca untuk menjawab soal yang diberikan dan karena bentuknya, tidak bisa dilakukan dengan skimming, metode baca cepat yang sering saya pelajari. Ada waktu jeda antar tes, dan saya lihat wajah pucat pasi para peserta test, banyak juga yang jadi kereta api, alias merokok untuk menghilangkan ketegangan.

Terakhir adalah wawancara yang dilakukan oleh dosen kampus tersebut. Di awal langsung mengatakan bahwa kampus tersebut tidak menerima beasiswa. Waktu itu saya dengar sambil lalu saja karena saya sendiri tidak berminat untuk memperoleh beasiswa. “Coba dengan biaya sendiri aja lah”, kataku dalam hati. Alhasil wawancara berhasil dan saya dinyatakan lulus. Banyak juga yang ditolak karena ketika wawancara sudah menyatakan bahwa mahasiswa tersebut tidak bisa mengikuti kuliah full, kata dia memberitahu saya ketika selesai wawancara. Maklum saja, dia bekerja di suatu perusahaan swasta yang terkadang ada job ke luar kota beberapa waktu lamanya. Dan sudah bisa ditebak, masalah muncul ketika menganggarkan untuk biaya kuliah, maklum kaki sekarang hanya satu pijakan, hanya mengajar di kampus. Berbeda dengan ketika bekerja sambil mengajar. Ditambah lagi harus memikirkan anak yang siap lahir, akhirnya saya melepas, alias mengundurkan diri. Mungkin untuk uang masuk dan biaya awal lainnya bisa tetapi jika untuk beberapa tahun agak berat juga. Rekan saya di kampus negeri lain yang menerima beasiswa biasanya dilakukan dengan cara “on-going” yaitu kuliah dulu baru mengajukan beasiswa, yang biasanya disetujui. Untunglah saat ini kampus negeri ternama itu bersedia menerima beasiswa, jadi bagi para anak-anak muda yang ingin kuliah di sana ada peluang kuliah tanpa bayar.

Kuliah Biaya Sendiri

Untungnya di kampus tempat saya mengajar buka prodi S2 baru dan dosen boleh mengikuti kuliah tanpa biaya dengan ikatan dinas, atau 50% tanpa ikatan. Untungnya saya memilih yang tanpa ikatan dinas. Jadi intinya bukan biaya sendiri sebenarnya melainkan hanya membayar setengahnya. Pilihan saya tepat karena ketika lulus di tahun 2010 saya pindah mengajar di kampus lain dekat rumah di Bekasi karena lelah bermacet ria di Jakarta, mengingat hampir tidak ada jalanan yang tidak macet dari Bekasi ke Jakarta. Salah satu keuntungan lain yang diperoleh dari S2 adalah menerima tunjangan sertifikasi dosen, lumayan, uang yang dikeluarkan sendiri untuk kuliah sepertinya terbayar sudah. Tentu saja berbeda kualitasnya antara lulusan swasta dengan kampus negeri, setidaknya “harga” ijasahnya. Namun toh belum tentu juga sih, saat ini kampus swasta tempat saya kuliah sudah melahirkan seorang Ph.D yang baru lulus dari Taiwan, dan semoga tidak lama lagi Ph.D yang lulus dari Thailand (he he). Mengapa kampus luar? Berikut ini alasannya.

Studi Lanjut S3

Ketika saya mengajar pertama kali, saya lihat rekan yang bergelar master, entah itu MT, M.Kom, MMSi, dan lain-lain masih jarang dan kalaupun ada sudah bisa dibilang “wah”. Akhirnya saya coba ambil master, dan setelah lulus banyak sekali master-master yang muncul, sehingga tidak “wah” lagi. Apalagi DIKTI mewajibkan dosen untuk memiliki ijazah S2. Saya yakin jika saya ambil doktor, yang saat berangkat (2013) masih jarang dan masih “wah” ketika lulus nanti sudah banyak dan tidak “wah” lagi. Dan kemungkinan Profesor menjadi sasaran berikutnya, atau setidaknya “perang doktor”, maksudnya bukan sekedar doktor, harus ada plus-nya, misalnya jumlah dan kualitas publikasi, lulusan mana (dalam/luar negeri), bidangnya (banyak doktornya atau yang langka), dan lain-lain.

Kampus Dalam or Luar Negeri?

Untungnya kondisi 2010-an jauh berbeda dengan tahun sebelumnya. Banyak beasiswa yang ditawarkan, bahkan DIKTI sampai mengembalikan anggaran karena hanya terserah 50 persen saja, khususnya beasiswa yang ke luar negeri (dulu namanya BPPLN). Mungkin dosen yang kebanyakan sudah berkeluarga seperti saya enggan untuk studi lanjut ke luar negeri dan meninggalkan keluarga karena istri yang bekerja juga. Bukan hanya beasiswa, DIKTI juga memberikan pelatihan dan IELTS cuma-cuma disertai biaya hidup untuk dosen, yang saya ikuti di Jogja dua bulan waktu itu. Hasilnya IELTS itu saya gunakan untuk mendaftar S3 di kampus tujuan.

Melihat dari pengalaman-pengalaman rekan yang memiliki ijazah s2 dari kampus lokal ternama agak kesulitan mendaftar S3 di kampus dalam negeri, membuat saya berfikir untuk terpaksa kuliah di luar negeri. Alasannya sederhana, ijazah yang dari kampus ternama, yang terakreditasi A saja sulit diterima apalagi saya. Lalu jika ijazahnya dari kampus ternama baiknya S2 dalam negeri? Ya tentu saja itu khusus orang-orang seperti saya yang bahasa Inggrisnya kurang lancar dan ada keluarga yang tidak bisa dibawa. Kebetulan waktu saya berangkat, keluarga yang ikut tidak ditanggung, walaupun di tahun berikutnya ditanggung 50%. Oiya, ada aturan waktu saya berangkat, usia maksimal untuk S3 ke luar negeri 47 tahun, sementara dalam negeri masih 50 tahun diperbolehkan. Adilkah? Mulanya saya fikir tidak adil tetapi ketika melihat langsung rekan saya dari mataram yang meninggal karena stroke di kampus ketika ujian MID semester di usia 50 membuat saya memahami mengapa usia 50 sebaiknya tidak kuliah di luar negeri.

Beasiswa itu Hutang atau Tidak?

Pertanyaan yang mudah dijawab. Beasiswa ya tentu saja hutang karena pemberi beasiswa mengeluarkan dana untuk membiayai kuliah. Setidaknya hutang budi. Tetapi biasanya pemberi beasiswa bukan seperti pemberi kredit bank, atau pembiayaan yang lain. Aspek yang diutamakan adalah bantuan sosial yang tidak melihat untung rugi atau balik modal. Akhir-akhir ini saya lihat banyak wacana bahwa karena beasiswa berasal dari APBN yang merupakan uang rakyat, maka penerima beasiswa harus memperhatikan itu. Bahkan disarankan untuk penerima beasiswa yang tidak kembali ke Indonesia untuk ditagih lewat debt collector, bahkan diancam untuk dibekukan paspornya. Saya melihatnya kok agak aneh. Sebagai ilustrasi, rekan saya yang diterima di kampus taiwan mengundurkan diri dari menerima beasiswa DIKTI karena ada tawaran beasiswa dari pemerintah Taiwan, lewat kampusnya, yang nota bene adalah dari negara lain dan tanpa ikatan. Saat ini yang bersangkutan sedang mengabdi mencerdaskan bangsa di kampusnya di daerah Purwokerto.

Tapi jika Anda berpendapat bahwa penting untuk bertindak tegas terhadap penerima beasiswa yang tidak balik ya silahkan saja. Untuk mengganggapnya sebagai kriminal juga tidak apa, itu urusan dan pendapat masing-masing. “Kan beasiswa berasal dari pajak rakyat”. “Iya, memang benar, saya juga bayar pajak”. Sama dengan jalan raya yang berasal dari pajak, tentu saya yang bayar pajak boleh dong memanfaatkannya. Tinggal kewajiban kita merawat jalan, menjaga kebersihannya dengan tidak buang sampah di jalan, sopan santun di jalan, dan lain-lain. Kewajiban penerima beasiswa juga begitu, kembali mencerdaskan bangsa atau ikut terlibat dalam pembangunan bangsa, dan tentu saja tidak korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang justru menurut saya jauh lebih nakal selaku ex. penerima beasiswa.

 

 

Road Map Penelitian

Kemungkinan tulisan ini dibaca oleh mahasiswa yang sedang tugas akhir, skripsi, tesis, atau bahkan disertasi. Dan kemungkinan besar yang dicari adalah contoh-contoh road map yang baik. Jujur saja, sulit untuk mencari road map yang baik, dalam hal ini yang cocok dengan diri kita. Kita boleh saja mencontek road map orang lain, tetapi jangan lupa kalau road map itu adalah peta jalan yang akan dilalui oleh orang yang bersangkutan dalam meneliti. Yang pasti road map akan berbeda antara satu individu dengan individu yang lain atau satu institusi dengan institusi yang lain.

Kembali ke para mahasiswa, jika ingin serius menjadi peneliti, entah itu dosen atau bekerja di lembaga penelitian, divisi riset dan pengembangan (R&D), ada baiknya melihat riset yang Anda lakukan saat ini. Mengapa? Beberapa road map kebanyakan berasal dari penelitian yang dikerjakan di bangku kuliah, terutama yang S3. Selain itu beberapa yang kerap digunakan untuk patokan antara lain: prioritas dari penyandang dana, tren penelitian, dan berdasarkan kebutuhan. Oke, sepertinya itu masih terlalu sulit dipahami, untuk itu kita coba ngobrol-ngobrol yang gampang dan santai saja.

Kita sering mendengar ada rekan dosen yang sering mendapat hibah, menulis artikel ilmiah, seminar, dan sejenisnya dengan judul yang terkesan itu-itu saja. Kebanyakan berasal dari penelitian ketika kuliah dulu. Sebenarnya itu biasa saja dan tidak mengherankan karena dia secara tidak sadar sedang mengikuti road mapnya. Walaupun jika disuruh menjelaskan apa itu road map belum tentu yang bersangkutan paham, termasuk saya, he he. Jadi untuk kesepakatan awal kita katakan road map itu seperti rangkaian penelitian yang berlanjut dari a, b, c dan seterusnya yang terus mengembangkan hal yang tidak jauh berbeda dari sebelumnya tetapi lebih besar atau dalam. Tapi jangan lupa, a, b, c tersebut adalah hal-hal yang benar-benar difikirkan dengan matang, ilmiah, dan ada dasarnya. Di sinilah mengapa road map biasanya dimulai dari bangku kuliah. Ketika kuliah, suatu tema telah dibahas, diuji, dan terkadang pengembangan dari tema-tema mahasiswa lama yang sudah lulus. Dan ketika seorang mahasiswa mengikuti tema itu, secara otomatis dia sudah mengikuti rel-nya. Sering saya melihat rekan saya yang melupakan tema yang telah dia tekuni ketika kuliah dan mencoba “mainan baru” yang menurutnya sangat menarik. Sebagai nasehat, “awas jebakan batman”. Mungkin “mainan baru” itu baginya bagus, “wah” dan spektakuler. Sialnya bagi peneliti yang memang road map-nya “mainan baru” itu akan geleng-geleng kepala. Biasa orang yg baru belajar akan merasa pakar. Dan sebaliknya “mainan lamanya” yang bagi dia membosankan, terlalu gampang, justru bagi orang lain sangat menarik, dibutuhkan, dan berpeluang didanai.

Sebenarnya mengapa road map akhir-akhir ini mencuat dan menjadi syarat lolos atau tidaknya suatu proposal? Sebenarnya hal ini berawal dari lemahnya publikasi peneliti kita dibanding negara lain di dunia, bahkan untuk ASEAN sekalipun. Malaysia bahkan tiap tahunnya mempublikasikan artikel ilmiah sekitar empat kali negara kita, bahkan Jepang sebanyak hampir 50 kali jumlah publikasi negara kita. Menurut saya kita harus fokus mengejar, daripada gembar-gembor memprotes pengindeks internasional, seperti scopus, yang katanya kapitalis, hanya mencari untung dan lain-lain. Lebih baik benahi saja diri sendiri, seperti dalam istilah serdos: evaluasi diri. Kesimpulannya, salah satu indikator road map yang baik adalah keberhasilan dalam publikasi di jurnal internasional.

Aspek penting lainnya yang harus diperhatikan adalah road map bukan untuk gaya-gayaan. Dia harus benar-benar dilaksanakan, waktu yang jelas dan indikator terhadap keberhasilannya dapat dilihat. Jika Anda pernah menerima hibah penelitian pada topik tertentu, dan anda mengajukan usul baru melanjutkan topik tersebut ke arah yang lebih luas atau dalam, maka kemungkinan besar usul itu diterima. Mengapa? Karena reviewer melihat riwayat penelitian kita yang dulu. Jadi lolos karena dua hal, riwayat yang dulu memang ada (terbukti) dan mengikuti alurnya yang disebut road map. Jika tidak lolos mungkin sedang sial saja (kuota sudah habis, atau salah skim/jenis penelitian, atau syarat administrasi). Jadi berbahagialah yang sudah “terdata” riset pertamanya, karena untuk melanjutkannya lebih mudah (kalau bisa pakai nama sendiri). Terdata di sini bisa juga terindeks oleh pengindeks yang bereputasi (scopus, thomson/wos, dan lain-lain). Sebenarnya ada cara lain yang lebih mudah, yaitu nebeng gerbong kereta lain. Maksudnya jika ada peneliti senior yang sesuai dengan bidang kita, kita coba mendaftarkan diri menjadi tim agar ikut “terdata”. Tapi ya tentu saja kurang dari sisi penerimaan dana, jika dibanding kita sendiri yang menjadi ketua.

Terakhir, jangan lupa sering-sering membaca jurnal internasional. Jangan Cuma baca berita hoax di fb melulu. Dengan sering membaca jurnal, kita bisa tahu tren penelitian saat ini ke arah mana dari tema yang jadi bidang kita. Setelah membaca dan memahami satu saja artikel dengan tema tertentu, walaupun susah payah dan berhari-hari, untuk artikel berikutnya dengan tema yang sama pasti mudah.

Berikut ini contoh kasus dalam menemukan road map yang cocok. Misal kita telah meneliti AHP, sistem penunjang kepetusan (DSS) ketika master dulu, apakah AHP menjadi road map kita? Tentu saja tidak harus, karena agak sulit. Saya menyarankan membaca satu buku DSS yang didalamnya ada bermacam metode DSS selain AHP. Anda tinggal mebandingkan metode-metode itu, memperbaiki kelemahan, menggabungkan (hybrid), atau sekedar menerapkan ke bidang lain di luar bidangnya (multi-disiplin). Kalau sudah sering meneliti, terkadang kita memiliki “brand” terhadap hal-hal tertentu, misal: jika Anda pengen tahu hal tertentu, misalnya telur, coba tanya ke bapak atau ibu anu di kampus anu. Selamat meneliti.

Fasilitas Mencari Jurnal yang Cocok untuk Publikasi di Elsevier

Memilih jurnal yang tepat merupakan aspek penting dalam keberhasilan publikasi. Terkadang suatu artikel ditolak bukan karena kontennya melainkan ketidakcocokan antara tulisan dengan jurnal yang dituju. Biasanya untuk mahasiswa doktoral yang akan mempublikasikannya berkonsultasi terlebih dahulu dengan dosen pembimbing yang berpengalaman dalam hal pemilihan jurnal sasaran, yang tentu saja terkadang ada aturan-aturan jurnal yang diperbolehkan dan yang dilarang. Untuk dosen atau peneliti yang tidak sedang S3 mau tidak mau harus memilih sendiri. Daripada sekedar “gambling” atau untung-untungan, ada baiknya menggunakan cara cepat yaitu dengan fasilitas yang ada di Elsevier, induk dari pengindeks “Scopus”.

Langkah pertama adalah masuk ke situs resmi untuk mencari jurnal yang cocok di link berikut ini. Masukan yang dibutuhkan adalah judul dan abstract jurnal yang akan disubmit. Selain pilihan bidang ilmu yang dituju, ternyata ada pilihan untuk jurnal-jurnal yang “Open access” juga. Berikut ini saya coba untuk mencari jurnal yang cocok untuk samplenya (judul dan abstract tulisan saya yang lalu).

Setelah ditekan “Find Journal’ maka muncul daftar/list jurnal yang cocok. Tampak salah satu targeted jurnal saya, “Habitat Internasional”, yang ternyata ada option untuk berbayarnya. Hmm, silahkan mencoba. Tetapi apakah aman? Karena khawatir abstract dan judul kita terekam di Elsevier, semoga saja aman. Toh itu hanya abstract.