Di antara sekian banyak alasan sesorang melanjutkan kuliah (jenjang pascasarjana atau doktoral) salah satunya adalah tuntutan profesi sebagai peneliti atau dosen. Untuk itu perlu dipersiapkan baik mental maupun sarana pendukung seperti pembiayaan, masalah keluarga, dan lain-lain.
Untuk pembiayaan, sepertinya tidak ada masalah bagi dosen yang memiliki Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN) asalkan usia tidak melewati aturan yang ditetapkan. Untuk amannya jangan sampai melewati usia 40 tahunan. Ristek-Dikti menyediakan banyak sekali beasiswa dan bahkan kampus tujuan pun terkadang memberi beasiswa di luar skema Ristek-dikti.
Jika hal-hal lain seperti ijin belajar dari kampus asal, sertifikat bahasa Inggris (toefl atau IELTS), dan masalah administrasi lainnya sudah beres, ada baiknya hal-hal berikut ikut diperhatikan. Postingan ini hanya sekedar sharing saja dari pengalaman pribadi dan mungkin akan berbeda dengan pengalaman-pengalaman orang yang pernah studi lanjut.
A. Pemilihan Jurusan
Ada sedikit perbedaan mendasar antara jurusan di dalam negeri yang sedikit “rigid” dengan jurusan-jurusan di luar negeri yang mulai berspesialisasi. Di negara kita mengenal jurusan yang itu-itu saja seperti teknik mesin, teknik elektro, sastra inggris, dan lain-lain. Sementara itu di luar negeri sudah mulai terjadi akulturasi antar jurusan (multidisiplin ilmu). Hal utama yang harus diperhatikan adalah : 1) linearitas, 2) rumpun politeknik atau universitas. Banyak beasiswa Dikti ditolak karena seorang calon penerima beasiswa homebase-nya di politeknik tetapi kampus tujuannya universitas. Repotnya adalah sulit untuk mencari kampus-kampus politeknik di luar negeri, biasanya di Jepang dan Jerman.
Saya sendiri termasuk yang salah jurusan, padahal tidak terlalu jauh yakni harusnya information management tetapi saya masuk ke computer science. Hal ini terjadi karena beda kurikulum waktu S2 dulu. Memang tercantum ilmu komputer tetapi ternyata isinya cenderung ke information management (atau di kita sistem informasi). Repotnya adalah kesulitan dalam mencapai IPK 3.5 sebelum lanjut ke riset/penelitian disertasi.
Perhatikan betapa sulitnya mendapatkan B+. Untungnya saya segera sadar dan segera pindah jurusan dari computer science ke information management dan segera IP melonjak naik karena memang sesuai dengan bidangnya. Seumur hidup baru kali ini ngerasain nilai F alias “fail” .. he he.
B. Memilih Kampus Tujuan (Luar atau Dalam Negeri)
Kalau saya lihat sepertinya ada kategori-kategori kampus tujuan. Dikti sendiri untuk doktoral mengkategorikan kampus tujuan menjadi tiga: 1) full riset, 2) kuliah sambil riset, dan 3) kuliah dulu baru riset (setelah ujian kandidasi). Hal ini terkait dengan pendanaan, biasanya yang full riset tahun keempat tidak disupport lagi uang tuition (bayar SKS), sementara yang ketiga dibiayai (semester VII saja).
Saya sendiri mengkategorisasi menjadi: 1) kampus dalam negeri, 2) kampus luar negeri sulit dan 3) kampus luar negeri mudah. Ini menurut saya saja lho. Untuk yang otaknya tidak cerdas-cerdas banget seperti saya ada baiknya mempertimbangkan yang ketiga karena lebih berpeluang. Saya sendiri untuk masuk ke kampus dalam negeri seperti UI, UGM, ITB, dan lain-lain agak kesulitan karena banyaknya saingan. Sementara luar negeri tidak terlalu banyak, tetapi tentu saja syarat bahasa harus dipenuhi.
Beberapa kampus memiliki aturan sendiri yang berbeda dengan kampus-kampus lainnya. Ada aturan tertentu di Eropa dimana seorang mahasiswa yang gagal kandidasi untuk lanjut ke doktoral memperoleh gelar Master of Philosophy (M.Phil). Ini yang perlu diperhatikan karena jika mahasiswa yang bersangkutan menerima beasiswa untuk doktoral tetapi tidak lanjut dan hanya memperoleh gelar M.Phil maka Dikti menganggap tidak menjalankan studi lanjut semestinya.
C. Mengetahui Tahapan-tahapan Hingga Lulus
Yang perlu diingat adalah ketika memperoleh beasiswa, sesungguhnya bukan akhir dari sukses studi lanjut. Justru itu adalah awal perjuangan karena beban di pundak penerima beasiswa dimana uangnya yang digunakan berasal dari rakyat (APBN). Memahami tahapan-tahapan yang berlaku di kampus tempat kuliahnya sangat membantu, minimal mempersiapkan amunisi-amunisi selama berjalannya perkuliahan.
Tiap kampus berbeda, sebagai contoh di tempat saya kuliah tahapan-tahapan yang harus dilalui antara lain: 1) perkuliahan 18 sks dengan IPK >= 3.50 2) Ujian kandidasi (proposal disertasi), 3) Menyelesaikan tiap objektif (biasanya dua atau tiga objektif per judul), 4) publikasi di jurnal internasional yang diakui kampus, 5) pengecekan naskah disertasi oleh profesor eksternal (kampus lain), dan 6) ujian akhir (final defense). Perlu diperhatikan bahwa no. 4 merupakan tahap yang tidak bisa diprediksi, bisa beberapa bulan bahkan bisa pula beberapa tahun (oh tuhan).
Banyak sekali manfaat yang diperoleh dengan menggali informasi dari senior-senior baik yang sedang kuliah atau sudah lulus. Walaupun tiap mahasiswa memiliki kasus-kasus khas tertentu tetapi isu-isu umum biasanya tidak jauh berbeda. Tidak harus senegara dengan kita, ada baiknya juga berteman dengan satu atau beberapa rekan kuliah dari negara dimana kita kuliah. Minimal untuk survive (maklum beasiswa terkadang turunnya tidak bisa diprediksi).
D. Ikuti Aturan-aturan Yang Ada
Ristekdikti biasanya membuat aturan-aturan berdasarkan pengalaman-pengalamannya dalam mengelola beasiswa. Misalnya mahasiswa doktoral usianya dibatasi maksimal 50 tahun. Ketika kampus mengundang dirjen SDM ristek dikti (pak Gufron) ke kampus banyak yang mempertanyakan hal itu, dan minta ada dispensasi untuk dosen senior. Sepertinya logis tetapi ada pengalaman pahit yang saya alami ketika kuliah.
Di tahun kedua, ada rekan baru masuk (mahasiswa doktoral) dari kampus negeri di timur Indonesia. Usianya masih 50 tahun tetapi sudah jalan ke 51. “Ternyata ada yang lebih tua dari saya”, pikir saya dalam hati. Selang beberapa bulan, ketika MID semester dan sedang menuju toilet, beliau terjatuh karena stroke. Terpaksa jenazahnya dipulangkan kembali ke tanah air, semoga termasuk jihad di jalan Allah, amiin. Untuk yang mendekati 50 (atau masuk 40-an) saran saya sebaiknya ambil kuliah di Indonesia saja, lebih aman.
Tapi jangan berkecil hati dan tetap semangat. Oiya, untuk yang ambil S2, Anda bisa ambil jurusan apapun dan dimanapun (syarat dan ketentuan berlaku, he he), tetapi tidak untuk S3, perlu perencanaan yang tepat (biasanya saat wawancara beasiswa, diminta proposal risetnya). Ada pengalaman baik dari rekan saya yang lulus 2 tahun 9 bulan di kampus saya. Kebetulan dia ambil S2 di kampus yang sama, ketika mau ambil S3 dia sudah berkomunikasi dengan dosen pembimbing mengenai riset jika nanti S3 di tempat yang sama. Selama setahun dia mempersiapkan semuanya, dan setelah siap dan masuk kuliah, maka kuliah dapat berjalan dengan cepat dan lancar tanpa perlu meraba-raba lagi. Oiya, untuk S3 jika Letter of Acceptance (LoA) yang merupakan tanda diterimanya menjadi mahasiswa di suatu univ di tangan, kita tinggal mencara pemberi beasiswa. Selamat mencoba.