Baik untuk yang mencari maupun yang sedang menjalankan studi lanjut pasti dijumpai suka duka dan lika-likunya. Beragam, tetapi antara satu karyasiswa (mahasiswa penerima beasiswa) dengan karyasiswa lainnya terkadang memiliki banyak kesamaan, terutama karyasiswa dari unsur pengajar (dosen). Siapa tahu postingan ini bermanfaat dan dapat dijadikan sedikit rujukan. Minimal sekedar hiburan/bacaan ringan bagi yang mirip dan senasib dengan saya.
A. Mengurus Ijin dan Tugas Belajar
Sepertinya saat ini tidak begitu sulit untuk mengurus ijin atau tugas belajar. Kampus tertentu mungkin menyamakan keduanya tetapi di kampus saya berbeda. Ijin belajar berarti masih tetap bekerja dan mengajar sementara tugas belajar dibebaskan dari bekerja dan mengajar (tri-darma perguruan tinggi). Saat ini lebih mudah karena Ristek-dikti sedikit memaksa kampus-kampus untuk meng-upgrade tenaga pengajarnya ke doktoral (S3). Jika ada kampus yang terkesan menghalangi, siap-siap kena “pentung”.
Tetapi beda dengan dulu. Untungnya saya masuk dalam kategori transisi. Teman sekampus saya bahkan berjuang lebih “sengit” pakai tak-tik untuk sekedar diijinkan berangkat studi lanjut. Dari istilah “urut kancing” hingga “mengabdi dulu baru studi lanjut” merupakan senjata andalan penghalang dosen senior terhadap juniornya. Menurut saya ada benarnya, tetapi banyak juga salahnya. Memang dosen junior sebaiknya menghormati senior, tetapi kan harus ada balasannya, yakni senior harus menyayangi juniornya. Kalau senior tidak berangkat-berangkat studi lanjut, tentu saja sebaiknya tidak menghalangi junior untuk berangkat. Apalagi hukum karma juga berlaku, di tempat saya kerja bahkan para dosen senior yang sudah berumur 50-an tahun toh akhirnya bisa studi lanjut. Hmm.. bisa jadi balasan ijin yang diberikan ke para juniornya. Tapi kasus seperti itu jarang terjadi, apalagi saat ini dimana stok dosen melimpah di tanah air. Saya sendiri berprinsip “jadi profesor dulu lalu mengabdi” daripada “mengabdi dulu baru jadi profesor”.
B. Mencari Kampus Tujuan (Dalam atau Luar Negeri)
Biaya kuliah S3 yang tinggi membuat kita mencari kampus tujuan yang ada beasiswanya, baik dari kampus tujuan maupun dari Ristek-dikti (dikenal dengan nama BUDI saat ini). Yang sedikit mengejutkan untuk luar negeri sepertinya maksimal 50 penerima beasiswa, padahal dulu tidak ada batasnya. Menurut saya, seperti kasus-kasus sebelumnya, Ristek-dikti belajar dari pengalaman yang sudah-sudah. Dalam negeri malah lebih banyak kuotanya. Kalau saya jadi orang yang megang duit, tentu saja dengan jumlah uang yang sama akan diperoleh jumlah lulusan yang lebih banyak jika untuk beasiswa kuliah di dalam negeri. Ditambah lagi, masih jarang yang ingin kuliah ke luar negeri dengan meninggalkan keluarga (biasanya karena sekolah anak atau istri/suami yang bekerja). Timbang-timbanglah dulu, pilih dalam negeri atau luar negeri. Timbang-timbang pula ke depan, jangan-jangan ada “perang doktor”, bukan sekedar doktor tetapi lulusan doktor dari kampus mana. Di Thailand sudah mulai muncul Ph.D (UC Barkeley) misalnya yang menyatakan doktoral dari kampus tertentu. Tentu saja biaya hidup dan resiko-resiko lain harap dihitung-hitung, jangan terlalu “gambling”. Mencari kampus tujuan terkadang sama dengan mencari promotor atau calon advisor/supervisor. Jangan lupa belajar menulis email dengan baik dan benar, dan belajar sabar kalau ditolak.
C. Mencari Beasiswa (Dalam Negeri atau Luar Negeri)
Banyak tawaran beasiswa dari luar negeri. Rekan saya bahkan meng-cancel beasiswa Ristek-dikti dan memilih beasiswa dari kampus tujuan S3. Ciri khas beasiswa dari luar biasanya sedikit memaksa penerima beasiswa untuk bekerja atau aktif di kampus (jadi asisten dosen, lab, dll). Ada untungnya juga, biasanya cepat lulus, tidak seperti saya yang kabur-kaburan (ehh .. karena kadaluarsa). Biasanya mencari kampus dulu baru beasiswa karena pemberi beasiswa selalu meminta bukti diterima di kampus tertentu (yang diakui oleh penerima beasiswa). Jangan lupa lihat periode atau jadwal antara penerimaan beasiswa dengan penerimaan kuliah S3 di kampus yang dituju. Sebab resikonya fatal, seperti saya yang masuk kuliah tertinggal 3 bulan dan akibatnya nilai hancur di semester I. Untungnya saat ini (berlaku pas saya berangkat thn 2013) ketika lolos penerimaan beasiswa, jika keberangkatan diundur tahun depan (anggaran tahun berikutnya) karyasiswa tidak perlu wawancara atau disaring lagi karena dinyatakan lolos mengikuti hasil sebelumnya.
D. Menyiapkan Amunisi
Amunisi di sini maksudnya bekal untuk bertarung. Untuk mahasiswa pascasarnaja (S2), saran saya jangan seluruh materi kuliah dibuang atau diloakin karena pengalaman saya dulu membutuhkan buku-buku tersebut (ketika tahap Course work/kuliah wajib), setidaknya lebih familiar dan berbahasa Indonesia pula (maklum masih berantakan English-nya). Software-software andalan (misalnya Matlab, pemrograman, dlll) tetap pertahankan. Saya dan rekan-rekan kebanyakan tidak seluruh hal-hal yang dipersiapkan berjalan mulus 100%. Ada saja yang memaksa untuk switch mengikuti kehendak pembimbing. Sebaiknya ikuti saja, dan terkadang yang kita ingin kerjakan, ya kerjakan saja, iseng-iseng mengisi waktu luang. Siapa tahu seperti teman saya, ketika mentok mengikuti keinginan pembimbing, dan karena menjalankan metode sendiri, ketika disampaikan ke pembimbing akhirnya diterima juga (pembimbing juga manusia lho, ada unsur kasihannya juga).
E. Mempersiapkan Kondisi Tak Terduga
Tapi jangan khawatir, kebanyakan terduga kok. Saya menduga dapat nilai C .. Eh bener dapat C. Sorry, maksudnya bukan itu. Ada tahapan-tahapan yang harus dilalui, terkadang ada tahapan tertentu yang mentok, misalnya memenuhi syarat minimal IPK. Kebanyakan sih masalah publikasi jurnal internasional yang tidak jelas lama waktunya. Baik lama diterimanya atau lama menjawabnya (dari editor). Bahkan rekan saya sudah diterima pun masih butuh waktu satu tahun (tahun masehi ya, bukan tahun cahaya). Oiya, planning A, B, dst .. boleh saja, kalau perlu seperti Excel .. setelah Z lanjut lagi AA, AB, .. (hiks).
Oiya tetap semangat, sebenarnya enggan juga menulis berita buruknya, takut pembaca malah jadi tidak bersemangat untuk studi lanjut. Yang jelas banyak sukanya dibanding dukanya, terutama yang ke luar negeri, banyak hal-hal yang tidak bisa dijelaskan (bahkan oleh foto selfi model apapun – yg kadang malah bikin keki atau mupeng yg lihat) tapi hanya diri sendiri yang bisa merasakan, ya, itu namanya suka duka dan lika-liku. Selamat berjuang.
Semangatttttttt….kamu BISA!!!!!!