Buku Teks vs Buku Elektronik dan Online

Media cetak dikabarkan mulai terdisrupsi dengan media elektronik dan online. Surat kabar-surat kabar mulai ditinggalkan dan pengguna cenderung lebih suka membuka website ketika ingin melihat berita. Media online lebih disukai karena sifatnya yang hampir realtime, dibanding misalnya surat kabar yang harus menunggu esok hari untuk melihat berita hari ini. Tetapi bagaimana dengan buku teks pelajaran?

Beberapa buku sudah saya coba terbitkan (terakhir database pada Matlab). Selain dari sisi materi (royalti), ada hal-hal lain yang dapat saya pelajari dari sudut pandang penerbit. Salah satunya adalah bagaiman mereka bisa eksis hingga saat ini, yang katanya masuk dalam era “disrupsi”. Mungkin beberapa aspek luput dari pantauan saya, tetapi beberapa point berikut mungkin bisa jadi bahan referensi.

Tuntutan Referensi

Selama masih ada orang yang kuliah, menulis tugas akhir/skripsi/disertasi, dan kegiatan akademik lainnya, tuntutan buku referensi pasti ada. Bahkan beberapa buku yang sudah saya publikasikan, habis dan harus dicetak ulang. Walaupun blog, youtube, dan instagram sedang “trend”, tetap saja tidak bisa dijadikan bahan rujukan resmi.

Perkembangan Teknologi yang Pesat

Beberapa ilmu, misalnya teknologi informasi, perkembangannya sangat pesat. Satu buku yang membahas suatu metode terkini, beberapa tahun kemudian akan jadi usang. Maka tuntutan buku panduan yang baru terus ada. Jika dulu buku referensi biasanya kampus mensyaratkan lima tahun terakhir, ternyata buku yang saya tulis 2015 sudah habis di tangan penerbit. Bagaimana jika dicetak lagi? Sepertinya masuk akal, tetapi penerbit lebih suka melakukan revisi (edisi kedua, tiga, dst) dibanding sekedar mencetak ulang. Hal ini karena pasti ada perkembangan baru selama buku tersebut beredar di pasaran yang harus di-update. Juga masalah pembajakan membuat penerbit terpaksa mencetak hal-hal baru.

Kewajiban Menulis bagi Pengajar

Ini merupakan pemicu tetapi hanya untuk pengajar yang produktif saja. Walau dipaksa jika pengajar tersebut enggan menulis tetap saja tidak tercipta satu karya. Namun dengan aturan, biasanya akan jalan juga, mirip kasus dosen harus S2. Rekan-rekan saya yang malas studi lanjut terpaksa kuliah lagi, atau menyelesaikan kuliah S2-nya yang terbengkalai bertahun-tahun.

Lebih Nyaman Membaca Buku Tercetak

Tidak disangkal buku dalam format PDF banyak dijumpai di internet. Terkadang jumlahnya sangat banyak, hingga bingung dan satu pun tidak ada yang dibaca. Ingat era “big data”, bahwa mencari informasi berharga sama beratnya dengan membuang informasi yang tidak berharga. Bill gates sendiri menyarankan kita membaca buku teks dibanding online. Memang beberapa pemerhati lingkungan mengatakan buku menghabiskan kayu di hutan, tetapi membaca online membutuhkan listrik yang diambil dari sumber yang belum tentu “green”, misalnya solar, bahkan nuklir. Server Google sendiri (ditambah server-server online lainnya) membutuhkan air berkubik-kubik untuk media pendingin padahal beberapa daerah di belahan dunia kekurangan air.

Harga Buku Bersaing

Ketika melihat buku karangan sendiri di toko buku, tampak kertas yang kualitasnya rendah. Tapi harganya yang murah membuat orang lebih baik membeli asli dibanding memfoto kopi sendiri karena selisihnya yang tidak terlalu signifikan. Pembajakan pun akhirnya sedikit banyak dapat diatasi. Tapi jumlah penduduk negara kita yang banyak, jumlah kampus dan perpustakaan yang kabarnya lebih banyak dibanding negara RRC membuat permintaan buku tetap ada, tinggal memasyarakatkan budaya membaca saja. Maklum budaya membaca negara kita sangat lemah (maksudnya membaca tulisa utuh, bukan status di medsos, atau baca judul informasi yang dishare orang saja).

Banyak Toko Online

Mungkin orang malas ke toko buku, tetapi dengan adanya toko online mereka dengan mudah memesan buku yang harganya jauh lebih murah dari beli ke toko buku. Sudah biasa saat ini, penulis ikut juga menjual bukunya, dengan harga jauh lebih murah. Rekan saya yang diwajibkan “stor buku” saat wisuda pun sempat kewalahan karena “jatah buku” yang harus disetor tidak ada di pasaran (sudah habis). Namun ternyata dengan memesan langsung ke penulis akhirnya dapat juga.

Sepertinya masih banyak faktor-faktor pendukung lainnya. Aspek online yang tadinya tantangan bagi buku ofline terkadang bisa membantu juga, seperti sistem searching yang memudahkan penulis mencari informasi baru, sistem anti plagiasi yang mudah bekerja karena segalanya tersedia online dan lainnya. Jadi memang mudah mencontek, tetapi mudah pula mengecek seseorang plagiasi atau tidak. Hal ini memaksa pengajar menulis tulisan original sendiri. Malu kalau ketahuan copas sana sini. Sekian … semoga menginspirasi.

 

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.