Membuat dengan Cepat Konten Pembelajaran (tes.com)

Salah satu komponen Flipped Learning adalah mekanisme bagaimana siswa belajar di luar jam pelajaran sekolah. Selama ini yang jadi andalah adalah buku beserta soal-soal latihan. Namun tidak semua siswa memiliki gaya belajarnya yang cocok dengan reading. Bagi yang bertipe Auditory sepertinya tidak ada masalah, tetapi bagi yang verbal dan kinesthetic tentu saja akan kesulitan. Beberapa alat bantu dapat digunakan untuk mengatasi hal tersebut, salah satunya akan dibahas pada postingan ini.

Konten merupakan komponen penting dalam proses belajar mengajar. Beberapa tahun yang lalu konten menjadi beban ketika seorang dosen diminta mengajar. Namun belakangan ternyata konten dapat diperoleh dengan mudah secara online. Kejadian ketika seorang murid memiliki informasi ilmu yang belum diketahui oleh seorang pengajar sudah menjadi biasa saat ini. Sehingga peran pengajar saat ini yang tepat adalah sebagai katalisator dalam proses belajar mengajar.

Untuk membuat dengan cepat bahan ajar, banyak alat bantu yang bisa dimanfaatkan, salah satunya adalah test.com, suatu situs yang menyediakan sarana untuk mengajar online. Bentuknya yang tinggal drag konten yang dicari dengan alat bantu “searching” memudahkan pengajar untuk menyediakan sarana belajar ke mahasiswa. Masuk ke menu pembuatan session perkuliahan dapat diakses di page berikut.

Ada beragam bentuk dari sesi pembelajaran yaitu tulisan (reading), video, dan suara. Ketiga bentuk pembelajaran tersebut bisa mengakomodir tipe belajar siswa (verbal, auditory, dan kinesthetic). Banyak situs di youtube yang membantu bagaimana menggunakan fasilitas tes.com tersebut seperti berikut ini.

Sebelum perkuliahan dimulai, flipped learning menganjurkan untuk men-share materi belajar dengan bantuan tools tertentu seperti tes.com di atas. Selanjutnya ketika perkuliahan, diskusi diberikan sekaligus penilaian oleh dosen dengan cara lisan (tanya jawab). Metode belajar ini memanfaatkan waktu di luar perkuliahan untuk seolah-olah dalam kelas. Sekian, semoga bermanfaat.

 

Iklan

Kuesioner (Questionnaire) untuk AHP

Analytic Hierarchy Process (AHP) merupakan teknik untuk membandingkan satu pilihan dengan pilihan lainnya. Sangat bermanfaat bagi pengambil keputusan. Vendor terkenal yang serius mengenai hal ini adalah expert choice, yang juga menyediakan software berbayarnya. Lihat post sebelumnya. Postingan kali ini mencoba sharing tentang kuesionar yang diperlukan untuk mengisi data sebelum diolah oleh AHP yang dicetuskan pertama kali oleh L. Saaty (Saaty, 2008).

Pairwise Comparison

Terus terang saya malah belum pernah mendapatkan kuesioner dalam bahasa Indonesia. Dalam jurnal-jurnal internasional, yang sering disebutkan adalah pairwise comparison survey, yang isinya membandingkan antara satu pilihan dengan pilihan lainnya.

Survey dapat dilakukan dalam bentuk lembaran kertas ataupun online. Biasanya menggunakan Google Form, dengan tampilan yang menarik, serta mudah untuk direkap via Ms Excel. Jumlah koresponden karena ini membutuhkan pakar (expert) maka tidak perlu banyak-banyak, dan bisa di bawah sepuluh orang.

Memulai

Ada baiknya menjelaskan terlebih dahulu secara singkat masalah yang akan disurvey. Jangan lupa data tentang koresponden sangat penting untuk diketahui. Berikut tampilan awalnya.

Bagian Inti

AHP membutuhkan perbandingan satu pilihan (choice) dengan lainnya. Ada enam pilihan dengan tingkat paling rendah hingga tinggi, berturut-turut: less, equal, moderate, strong, very strong, dan extreme. Berikut contohnya:

AHP mengharuskan kondisi dimana tingkat konsistensi harus kurang dari 0.1. Ini penting untuk menjaga keanehan-keanehan dalam perbandingan. Misal tikus takut kucing, kucing takut dengan seorang ibu, dan seorang ibu takut tikus. Pada contoh di atas, Physical Health akan dibandingkan dengan Psychological Condition, Social Relationships, Environment, Economic Condition & Development, dan Access to Facilities & Services. Berikut contoh survey yang pernah saya sebar.

Minta Contoh Penulis Jurnal

Terkadang ada baiknya meminta contoh kuesioner dari seorang penulis jurnal, baik nasional maupun internasional. Walau terkadang tidak dibalas, tetapi banyak juga yang membalas dan memberikan respon. Setidaknya jika tidak memberikan sample dia menjelaskan apa isinya saja. Contoh di atas saya peroleh ketika meminta dari jurnal internasional ini (Bhatti, Tripathi, Nitivattananon, Rana, & Mozumder, 2015). Silahkan baca sumber referensi tentang AHP dari Springer ini.

Referensi:

Bhatti, S. S., Tripathi, N. K., Nitivattananon, V., Rana, I. A., & Mozumder, C. (2015). A multi-scale modeling approach for simulating urbanization in a metropolitan region. Habitat International, 50, 354–365. http://doi.org/10.1016/j.habitatint.2015.09.005

Saaty, T. L. (2008). Decision making with the analytic hierarchy process. International Journal of Services Sciences, 1(1), 83. http://doi.org/10.1504/IJSSCI.2008.017590

Link dari Google

 

Pindah Homebase Dosen

Beberapa waktu yang lalu ada kabar kepindahan rekan dosen ke kampus lain. Kasus pindahnya seorang dosen ke kampus lain banyak alasannya, dari alasan lokasi kerja yang jauh, tidak cocok dengan lingkungan dan gaji/insentif, hingga diterima menjadi ASN (departemen atau kampus negeri). Dari sisi internal, banyak ragam menyikapinya, dari yang oke-oke saja, hingga yang menggerutu. Banyak pula yang bertanya, bisa kah seorang dosen pindah ke kampus lain? bagaimana caranya? Apakah sulit dan lama prosesnya? Postingan kali ini berusaha menjelaskan prosesnya, tentu saja dari pengalaman diri sendiri dan orang lain, yang mungkin saja berbeda kasusnya.

Proses Pindah Homebase

Prinsipnya tiap dosen boleh pindah dari satu kampus ke kampus lainnya. Tetapi ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi. Ada baiknya membaca informasi dari kopertis, contohnya kopertis XII yang rajin menginformasikan suatu prosedur-prosedur, silahkan berkunjung ke situ. Aturan resminya dapat dilihat dari link berikut ini.

Ada dua jenis perpindahan yaitu antar kopertis, atau beda kopertis. Tapi tunggu dulu, ketika tulisan ini dibuat ada perubahan struktur yaitu kopertis yang berubah menjadi Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLPT) yang menangani bukan hanya PTS tetapi PTN juga. Mungkin ada perubahan. Prinsipnya adalah jika dalam satu kopertis, surat pengantar perpindahan hanya di kopertis yang bersangkutan, tetapi jika beda kopertis harus melibatkan dua kopertis (tujuan dan asal) surat keterangannya. Yang terpenting adalah surat lolos butuh yang dikeluarkan oleh institusi asal.

Langkah terakhir dan penting adalah bagian PDPT kampus asal dan tujuan melakukan proses lolos butuh secara online. Caranya bisa dilihat di link ini, tentu saja tidak semua orang bisa mengaksesnya. Banyak kejadian, surat sudah beres tetapi karena bagian PDPT (sering disebut EPSBED) tidak memroses, maka tidak bisa pindah homebasenya.

Pengalaman Pribadi

Waktu itu saya dosen honorer di salah satu PTS di Jakarta. Ketika mendaftar jadi dosen tetap ternyata ditolak dengan alasan background pendidikan saya yang kurang OK untuk ngajar jurusan teknik informatika dan sistem informasi. OK-lah, akhirnya tetap ngajar tapi dosen honorer (sambil kerja utak-atik IT di bank). Tidak lama kemudian, ada rekan saya yang menawarkan menjadi dosen di tempat saya singgah sekarang, bukan hanya honorer, tetapi dosen tetap. Entah mengapa ada keinginan kuat untuk bekerja di sana walaupun gajinya hampir 1/3 dari kerjaan saya waktu itu di divisi IT sebuah bank nasional (pegawai kontrak). Karena memang saya yang “tidak diinginkan” di tempat saya mengajar honorer, mudah saja memperoleh surat lolos butuh. Dengan surat lolos butuh itu, kampus baru langsung mengurusnya, dua surat keterangan diperlukan yaitu dari kopertis 3 (asal) dan kopertis 4 (tujuan/baru). Selesai sudah. Tentu saja surat lolos butuh dikeluarkan dengan melihat apakah ada hutang, ikatan dinas, dan lain-lain yang bersifat legal/perdata.

Terus terang kepindahan saya karena merasa tertantang bahwa saya tidak memiliki skill yang cukup untuk mengajar di IT. Setelah mengambil S2, saya lanjut ke S3 (beasiswa DIKTI) dan ternyata bisa lulus di jenjang tertinggi IT, uniknya saya lulus tercepat seangkatan. Tentu saja secepat-cepatnya S3 ya lama juga (4 tahunan). Tadinya sih niatnya cuma penasaran saja apa benar saya tidak mampu mengikuti ilmu informatika, ternyata malah keasyikan di bidang itu.

Kepindahan Dosen Merugikan/Menguntungkan?

Sudah ada dua kali rekan saya yang pindah karena diterima mengajar di kampus negeri. Apakah merugikan? Tentu saja tidak. Justru malah itu membuktikan divisi SDM kampus sudah bekerja baik dan berhasil mendapatkan SDM-SDM yang berkualitas, terbukti diterima di PTN (PNJ dan POLBAN). Lagi pula keberadaannya walau beberapa saat sangat membantu dan menjadi “pelumas” kinerja dosen-dosen lainnya. Hanya saja SDM harus bekerja mencari dosen lagi, itu saja (kasihan kan kalau tidak ada kerjaan). Bagaimana supaya dosen betah? Ya kurangi kesenjangan dengan kampus lain (gaji, fasilitas, suasana, dan lain-lain). Toh secara default, dosen malas pindah-pindah kalau memang tidak kepepet buuaaanget. Menurut saya sih ..

Update: 2/2/18

Berikut link aturan (2016) untuk tatacara perpindahan dosen:

Update: 6/3/19 – Contoh Kasus

Kebetulan beberapa hari yg lalu rekan saya ingin pindah dari satu kampus ke kampus lainnya. Dia masih berstatus kontrak 3 tahun di kampus lama. Ketika mengundurkan diri dan ingin mencabut homebase-nya, kampus lama meminta menghabisi hingga kontrak selesai (untungnya hanya tinggal sekitar 5 bulan). Walaupun ada klausul mengganti biaya/pinalti, kebanyakan kampus menolak menerima pinalti, melainkan meminta untuk menghabisi sisa kontrak (dengan ancaman surat lolos butuh tidak dibuat tentu saja). So, ketika ingin menandatangani kontrak di atas materai, perhatikan dan baca dengan teliti klausulnya, jika berat kompromikan atau jika mentok, pilih waktu kontrak yang tidak terlalu lama, dan jika mentok terus cari kampus lain saja .. bumi Allah luas.

Gaya Belajar

Nemu buku lama di perpustakaan yang berisi gaya belajar pada anak dan bagaimana caranya untuk menghilangkan hambatan-hambatannya. Karena keburu tutup perpustakaannya jadi tidak sempat mencatat judul dan pengarangnya. Mudah-mudahan bisa menemukan informasi tersebut nanti.

Di awal diceritakan kisah-kisah anak yang mengalami hambatan dalam belajar. Misalnya seorang anak yang pintar bicara, ternyata tidak bisa mengikuti pembelajaran karena gurunya cenderung memperlakukan siswanya untuk diam dan diminta membaca. Tentu saja siswa yang memiliki karakter verbal tersebut kesulitan mengikuti pelajaran. Uji coba dilakukan ke siswa berkarakter verbal yaitu menghapal puisi dengan mengingat tanpa bicara dan mengingat dengan mengucapkan lantang. Ternyata lebih mudah mengingat sambil membaca bersuara untuk anak yang berkarakter verbal.

Begitu pula dengan dua karakter belajar lainnya yaitu auditory dan kinesthetic yang artinya berturut-turut berbasis pendengaran dan gerakan fisik. Misalnya, anak yang berkarakter kinesthetic akan sulit membaca dalam waktu lama tanpa jeda. Mereka lebih suka membaca dengan jeda yang sering, kecuali jika bacaannya ada alur action-nya, barulah mereka bisa terus membaca dengan nyaman. Suruh anak yang memiliki karakter auditory untuk mendengarkan perkuliahan, dia akan mudah menangkapnya dibanding diminta membaca.

Untuk mengetahui anak kita atau anak didik kita berkarakter belajar verbal, auditory, ataukah kinesthetic dapat dengan rincian di bawah ini.

Visual Strength

  • Dapat merakit sesuatu dari gambar
  • Menutup mata ketika mengingat
  • Sangat teliti dalam detil sesuatu
  • Baik bekerja dalam memecahkan puzzle
  • Waktu luang lebih suka nonton televisi atau main game
  • Suka melihat untuk belajar
  • Memiliki ingatan terhadap pengalaman/kejadian
  • Menggunakan pakaian yang matching sangat penting menurutnya
  • Dapat memahami sesuatu dengan membaca dan mendengarkan
  • Sangat kalem, malas menjawab kalau tidak ditanya
  • Berfikir cara terbaik lewat gambar (penglihatan)
  • Suka mencatat ketika kuliah/belajar

Auditory Strenths

  • Mengingat iklan
  • Menggunakan kata2 yang berirama
  • Berbicara ketika menyelesaikan permasalahan
  • Mendengarkan arahan secara oral
  • Lebih mudah memahami materi yang didengarkan dari pada yang dibaca
  • Sering membaca dengan keras
  • Kesulitan membaca diagram atau peta tanpa ada yang menjelaskannya
  • Mudah berekspresi secara verbal
  • Suka berkomunikasi lewat telepon
  • Pandai membedakan dan mencocokan suara

Kinesthetic Strength

  • Sulit fokus ke bacaan kecuali jika berisi alur action di dalamnya
  • Suka olah raga dan bermain di luar
  • Memiliki energi yang besar
  • Ketika kecil suka menyentuh ketika mengamati
  • Berekspresi (marah, dll) cenderung dengan body language
  • Mudah belajar dengan pengalaman praktek
  • Mudah bergerak mengikuti musik
  • Lelah ketika duduk dalam waktu lama
  • Ketika berhitung terkadang seperti menulis di udara
  • Susah mengikuti atau mengingat arahan secara verbal

Tentu saja ada kemungkinan penggabungan karakter pembelajaran pada seorang anak, misalnya selain mendengar dia juga melihat (auditory + visual), mendengar dan aksi (auditory + kinesthetic), atau bahkan penggabungan ketiganya. Oiya, disebutkan pula, untuk seorang anak terkadang karakter tertentu memang belum berkembang tetapi hanya telat, dan bisa saja berkembang pesat di masa yang akan datang melebihi karakter saat ini. Sekian, semoga bermanfaat.

Update: 22 January 2018

Akhirnya ketemu juga refrensinya, yaitu:

Fuller, Cheri (1994). Unlocking your child’s Learning Potential. Singapore: The Navigators

Flipped Learning

Sehari setelah sidang akhir, advisor mengundang saya untuk mengikuti seminar fliped learning. Mungkin beliau tahu kalau saya dosen. Pembicaranya ternyata rekan dia dari India, Dr. Malay R Dave. Metode pembelajaran ini sedang dicoba untuk diterapkan karena memiliki manfaat yang bagus, terutama saat ini dimana gadget dan aplikasi-aplikasi online dan mobile banyak tersedia.

Konsepnya adalah memadukan antara belajar di kelas dengan diluar kelas. Flip di sini bukan berarti dibalik, tetapi tetap menjaga agar siswa belajar walaupun sudah tidak di kelas lagi. Di kelas terkadang hanya berisi diskusi tentang topik yang sama. Untuk penjelasan lengkapnya silahkan lihat link ini:

https://flippedlearning.org/wp-content/uploads/2016/07/FLIP_handout_FNL_Web.pdf

Selain karena perkembangan aplikasi online, munculnya sistem pembelajaran ini adalah karena tuntutan dunia kerja dimana bukan hanya kemampuan akademis tetapi juga kemampuan lainnya seperti komunikasi, menghargai orang, critical thinking, dan sebagainya juga sangat dibutuhkan. Kalau menurut saya, flipped learning ini termasuk pembelajaran yang nonstop. Ibarat aplikasi online yang bekerja 24 jam, flipped learning juga mirip, hanya saja waktu menyesuaikan dengan siswa, kapan nyamannya.

Perkuliahan diganti dengan video tutorial yang dapat diakses dan dilihat oleh seluruh siswa di luar kelas. Ketika selesai dilihat, saat dikelas dilakukan diskusi yang didampingi oleh tutor/pengajar. Tetapi harus dijalankan empat pilar berikut ini: flexible environment, learning culture, intention content dan professional educator. Kalau tidak lengkap pilar tersebut, maka bukan flipped learning, melainkan hanya flipped classroom.

Banyak aplikasi-aplikasi yang digunakan untuk membantu flipped learning ini. Salah satu contohnya adalah http://www.tes.com yang memudahkan pengajar dalam mempersiapkan materi pembelajaran. Oiya, saat ini konten ilmu sepertinya sudah gampang sekali ditemukan di internet. Hanya saja membutuhkan kemampuan dalam meramu sesuai dengan keinginan pengajar. Situs tersebut salah satunya. Silahkan lihat tutorial youtube di bawah ini. Sekian, semoga bermanfaat.

Memasukan Publikasi Buku pada SINTA

Selain kinerja penelitian, kampus, dan jurnal, ternyata SINTA juga menyediakan fasilitas untuk memasukan buku teks yang diterbitkan oleh seorang dosen/peneliti. Caranya adalah dengan login terlebih dahulu ke akun SINTA kita. Siapkan scan cover buku yang telah kita terbitkan.

Pertama akan diminta cari dulu berdasarkan ISBN-nya. Bagaimana jika tidak ditemukan? Ternyata setelah dicari tidak ada, muncul fasilitas input manual. Siapkan scan cover buku yang akan diinput.

Pastikan buku muncul di list SINTA. Coba log out dan cari buku tersebut tanpa login.

Klik menu BOOKS di SINTA dilanjutkan dengan mencari berdasarkan ISBN, judul buku, atau nama pengarang. Contoh di atas misalnya kita ingin mencari berdasarkan pengarang, tekan simbol kaca pembesar, dan jika ditemukan SINTA akan menampilkannya.

Tampak buku yang ditulis oleh pengarang yang bersangkutan. Sekian sekilas info tentang fasilitas baru SINTA. Untuk yang belum daftar SINTA segera daftar (lihat post yang lalu). SINTA berbasis evaluasi diri, jadi jangan sembarangan menginput yang tidak semestinya. Untuk mengetahui bagaimana menambah dan menghapus tulisan yang bukan milik kita silahkan lihat post sebelumnya. Sekian dulu semoga bermanfaat.

Studi Literatur

Walaupun riset sudah selesai dan tinggal pulang ke tanah air, mumpung masih bisa menggunakan perpustakaan (baca di tempat karena sudah tidak boleh meminjam), iseng-iseng mereview apa yang telah saya lakukan selama riset kurang lebih 3 tahun lamanya. Saya menemukan buku tentang studi literatur. Tujuan utama membaca topik itu aslinya untuk evaluasi ke depan. Apakah studi literatur yang telah saya jalankan sudah benar, efisien, dan sesuai dengan tujuan riset.

Buku karangan Lawrence A. Machi dan Brenda T. McEvoy itu cukup padat, sehingga dapat dibaca hanya beberapa menit saja. Intinya ada enam tahap dalam studi literatur, antara lain:

  1. Memilih topik
  2. Mencari literatur
  3. Mengembangkan Argumen
  4. Survey terhadap literatur
  5. Memberikan kritik terhadap suatu literatur, dan
  6. Menulis review

Postingan ini hanya akan membahas yang unik dari buku tersebut yaitu memilih topik, mencari litertur, dan mengembangkan argumen.

Memilih Topik

Ini merupakan pangkal utama dari riset, sekaligus biang keladi kuliah tidak lulus-lulus. Buku tersebut menyarankan untuk mengambil topik dari keseharian. Maksudnya adalah hal-hal real yang spesifik. Jangan asal mencari pertanyaan, misalnya: “mengapa sekelompok siswa sulit memahami penjelasan guru?”. Tentu saja pertanyaan ini terlalu general dan sulit dikerjakan karena tidak jelas.

Mencari Literatur

Mencari literatur yang efisien adalah internet dan perpustakaan. Baca cepat sekilas saja terlebih dahulu (skimming). Langkah saya membuat pengelompokan ternyata sudah benar waktu itu. Hanya saja ternyata ada teknik pengelompokan yang lebih ok, bukan hanya pengelompokan terhadap suatu ide/teknologi/metode, melainkan juga pengelompokan kontribusi pengarang. Misal definisi sustainability oleh siapa saja, dll. Dengan bentuk tabel, kita mudah mengingatnya. Terkadang walau tidak berusaha mengingat, jadi ingat sendiri (dikemukakan oleh siapa dan pada artikel apa).

Mengembangkan Argumen

Suatu argumen adalah mencari alasan yang tepat untuk suatu jawaban yang biasanya kesimpulan riset. Jadi satu argumen terdiri dari bermacam-macam alasan:

Argumen = alasan1 + alasan 2 + …

Sebelum masuk ke argumen yang rumit, ada baiknya membahas terlebih dahulu argumen sederhana. Argumen sederhana terdiri dari: klaim, kejadian dan jaminan (warrant). Contohnya adalah:

  • Klaim: “kamu seharusnya jangan menyeberang jalan”
  • Kejadian (evident): “lampu penyeberangan berwarna merah”
  • Jaminan: “Aturan memberlakukan bahwa lampu merah artinya berhenti”

Klaim

Klaim di sini adalah representasi argumen. Klaim mengarahkan argumen. Menurut referensi lain, Chris Hart, ada lima jenis klaim yaitu: Fact, worth, policy, concept, dan interpretation. Penjelasannya tidak jauh dari arti kelima istilah itu.

Kejadian (Evidence)

Kejadian beda dengan data. Kejadian lebih spesifik dari data, yaitu untuk kepentingan tertentu. Jadi kejadian adalah bahan baku dari pembuktian terhadap klaim kita. Jadi untuk memperkuat klaim, diperlukan data dan metode yang relevan, yang kemudian mentransformasikan data itu menjadi evidence.

Jaminan (Warrant)

Jaminan ini adalah hubungan antara kejadian dan kesimpulan. Hubungan di sini menyiratkan adanya pengorganisasian yang logis, sehingga memperkuat argumen. Kembali ke contoh menyeberang jalan. Ketika ada kejadian lampu menyala merah (evidence), dan adanya klaim (agar berhenti), perlu adanya jaminan. Kalau tidak, maka klaim Anda kurang kuat. Dalam kasus ini, jaminan yang diusulkan adalah karena aturan, yaitu ketika lampu menyala merah maka harus berhenti (tidak menyeberang jalan). Silahkan mencari jaminan lain sesuai dengan bidang ilmu yang kita miliki.

Teettttt .. alarm perpustakaan berbunyi, ternyata sudah jam 10 malam dan perpustakaan akan ditutup. Survey, kritik, dan review mungkin lanjut lagi nanti. Semoga postingan ini sedikit-banyak bisa mencerahkan. Selamat mencoba.

Siaga I Menghadapi: Sidang Terbuka

Setelah menunggu hampir setahun, akhirnya sidang terbuka dijadwalkan, kemarin tanggal 15 Januari 2018. Itu pun dijadwalkan mendadak, sehingga persiapannya keteteran dan tergopoh-gopoh, walaupun diumumkan empat hari sebelumnya tetapi ada dua hari libur yaitu sabtu dan minggu, praktis hanya hari jumat menyiapkan berkas ke jurusan. Saya termasuk yang selalu tidak siap jika diminta presentasi, apalagi kalau mendadak. Siapa tahu di antara pembaca ada yang akan sidang juga, mungkin bisa jadi bahan pertimbangan postingan ini.

Keep Calm

Di sini maksudnya bukan tidak berbicara. Malah harus berlatih berbicara agar besoknya bisa “ngomong”, apalagi pakai bahasa Inggris. Calm di sini adalah fikiran kita yang “liar” sehingga membuat lelah batin kita dan yang berbahaya tidak bisa tidur semalaman. Saya termasuk konsumen meditasi. Banyak teknik meditasi seperti vipassana, cittanupassana, dan lain-lain. Untuk kondisi super darurat, ada baiknya vipassana. Teknik ini untuk menjaga fikiran tidak liar dengan selalu fokus ke nafas keluar dan masuk. Tidak perlu mengatur nafas, hanya memperhatikan saja. Jika fikiran liar muncul sadari saja dan perlahan kembalikan ke pernafasan. Terus terang saya tetap sulit tidur .. hehe. Untungnya ada obat-obatan yang bisa membuat lelap tidur, sebaiknya yang herbal dan sudah teruji alias cocok dengan tubuh kita, dan bukan coba-coba. Kalau besoknya malah mencret kan tambah repot.

Kelihatannya teknik tersebut tidak berguna dan sulit diterapkan. Uniknya saya terapkan hingga saat presentasi berlangsung. Mungkin terlihat aneh, bagaimana mungkin kita presentasi, menjawab pertanyaan, dan lain-lain tapi dengan fokus ke pernafasan. Bahaya dong. Ternyata tidak, jangankan memperhatikan nafas, ketika berkendara saat memperhatikan hutang-hutang saja bisa kok, apalagi Cuma memperhatikan nafas.

Pelajari Video Presentasi yang Baik

Banyak video tutorial presentasi bertebaran di internet, terutama di youtube. Semua menganjurkan awal presentasi sangat menentukan keberhasilan. Jika di awal sudah malas didengarkan oleh audiens maka dipastikan sampai akhir akan membosankan bagi mereka. Posisi tubuh, intonasi dan lain-lain banyak juga dijelaskan di youtube, silahkan searching sendiri.

Berikutnya adalah power point. Kalau bisa isi power point didiskusikan terlebih dahulu ke dosen pembimbing. Hal ini penting untuk mengetahui batas waktu yang pas. Terkadang beberapa bagian dipotong dan beberapa bagian perlu ditekankan, misalnya novelty, kontribusi keilmuan, dan sebagainya. Jangan lupa akhir dari presentasi itu penting juga. Berikan kata pujian ke dosen pembimbing dan asistennya. “My gratitute to my doctoral thessis superviser … for guidance and motivation”. Jangan lupa kesimpulan itu kunci keberhasilan, apalagi sidang akhir karena setelah itu kita tidak langsung pulang. Ada sesi tanya jawab yang bikin keringat dingin. Penguji cenderung mengingat yang terakhir dan jika kesimpulan kurang sreg dia akan bertanya langsung ke sana, bahkan mereka berebut untuk bertanya.

Buat Audiens Ingin Tahu

Jika dalam disertasi kita ada hipotesa yang akan diuji, atau masalah yang akan diselesaikan, ada baiknya format harus dirubah karena jika ditampilkan apa adanya terasa “garing”. Kesalahan yang sering dilakukan adalah dengan copas dari tulisan di disertasi. Alangkah baiknya dibuat format baru yang memancing minat pendengar. “How can we …?”, atau “How we optimize … based on ..” dan seterusnya setelah sebelumnya memperkenalkan kasus atau masalah yang akan dibahas dalam presentasi. Tentu saja setelah itu slide berikutnya tidak menjawabnya, melainkan dengan memperkenalkan agenda presentasi, atau sering diberi judul “outline” atau road map presentasi kita. Singkat saja dan langsung masuk ke konten. Jika pendengar berhasil ditarik keingintahuannya, dipastikan presentasi kita berhasil.

Dalam tulisan (skripsi, tesis, disertasi) terkadang mengalir seperti cerita. Untuk presentasi ada baiknya dibalik. Sebanyak mungkin di akhir slide ada sesuatu yang akan dijawab pada slide berikutnya agar pendengar menanti-nanti dan menerka apa kiranya jawaban dari sesuatu yang saat ini ditayangkan di slide. Sebagai contoh, dalam disertasi saya menjelaskan analisa urban growth untuk menemukan dua driver baru yang akan diusulkan. Dalam presentasi saya balik, saya langsung tampilkan dua driver itu, kemudian saya munculkan pertanyaan ke audiens apa dasar dan bagaimana saya menemukan dua driver tambahan tersebut. Teknik ini banyak disarankan oleh video tutorial presentasi di youtube.

Buat Audiens Nyaman dan Memperoleh Manfaat

Agak sulit memang menemukan apa yang kira-kira bermanfaat bagi pendengar. Sebenarnya banyak hal-hal di sekitar kita yang tidak bermanfaat kok, tetapi bisa dibuat bermanfaat jika dikemas dengan baik. Video game, instagram, fesbukan seharian, mungkin kalau difikir-fikir ga ada gunanya tapi ternyata banyak yang tertarik. Mungkin tidak bermanfaat, tetapi jika audiens terhibur, dengan lelucon-lelucon yang membuat mereka nyaman, toh mereka akan merasa bermanfaat mendengarkan presentasinya. Mereka akan lupa pusingnya rumus-rumus yang kita presentasikan.

Lihat Tradisi

Tradisi di sini maksudnya hal-hal yang menjadi kebiasaan di suatu kampus. Terus terang saya berusaha mencari tahu. Caranya adalah dengan sering mengikuti sidang terbuka doktoral di kampus saya. Walaupun saya terkadang tidak mengerti kontennya, tetap saya lihat hal-hal lainnya. Ada jurusan yang keras, ada juga yang ketawa ketiwi hanya formalitas saja. Bagaimana dengan jurusan Anda? Silahkan jawab sendiri. Di hari sabtu, padahal libur, supervisor saya meminta datang. Di sana kami membahas power point untuk presentasi besok. Aneh juga di akhir pertemuan dia menjulurkan tangan dan mengucapkan selamat kepada saya. Saya baru “ngeh” ternyata saat itulah de facto saya berhasil menghilangkan huruf “c” dari Dr(c) saya, singkatan dari “calon”, artinya bukan calon doktor lagi, walaupun secara tertulis dan resmi setelah sidang presentasi besoknya. Jurus ampuh terakhir dan terhebat adalah DOA .. apalagi doa keluarga dan rekan-rekan kita. Sekian semoga menginspirasi.

Sustainable Urban Form

Riset tata kota fokus ke bentuk urban yang mendukung pembangunan berkelanjutan, pembangunan yang bukan hanya memenuhi kebutuhan generasi sekarang, melainkan juga generasi yang akan datang (Steiner, 2008). Banyak sekali perdebatan mengenai bentuk urban yang cocok dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Di sini saya ingin memperkenalkan bentuk-bentuk sustainable urban yang diusulkan oleh peneliti.

Penelitian oleh (Jabareen, 2006) menjelaskan beragam bentuk urban yang sustainable. Berikut contoh-contohnya.

1. Neotraditional Development

Jika kita perhatikan kota Jakarta, terjadi perubahan dari urbanisasi menjadi kebalikannya, dikenal dengan istilah “post-suburbanization” (Firman, 2004; Firman & Fahmi, 2017). Maka para pakar urban berusaha mengurangi dampaknya dengan konsep tersebut, yaitu bagaimana menjaga penurunan penduduk “inner city” dan membangun juga kota-kota penyangga.

2. Urban Containment

Munculnya daerah-daerah “Sprawl” baru (saat ini Meikarta contohnya) membuat khawatir pemerhati tata kota akan dampaknya. Di Amerika konsep urban containment dimaksudkan untuk menghindari proses “sprawl” yang tidak baik. Walaupun ada juga sprawl yang baik, misalnya daerah industri khusus yang jauh dari pemukiman.

3. Compact City

Kota kompak (compact city) disukai oleh penata kota dari Eropa dan Amerika karena dapat mengurangi dampak negatif dari transportasi. Kota yang kompak membuat jarak tempuh menjadi rendah dan penggunaan kendaraan berpolusi menjadi berkurang. Bahkan orang cenderung berjalan kaki karena jarak antara satu tempat dengan tempat penting lainya dekat.

Kota kompak mengharuskan diversifikasi, artinya harus ada variasi dalam satu lokasi. Misalnya harus ada sekolah, pasar, tempat ibadah, dll. Jadi orang cukup berjalan kaki sudah bisa sampai ke lokasi tujuan. Bentuk-bentuk segregasi, misalnya kompleks khusus agama tentu, dll sebaiknya dihindari.

4. Eco City

Bentuk kota ini berpatokan dengan konservasi alam, ekologi, dan juga aspek sosial. Biasanya diterapkan di negara maju yang kesadaran warga dan keseriusan pemerintahnya tinggi akan faktor lingkungan. Walaupun demikian sebaiknya negara-negara yang kurang maju, atau ga maju-maju (berkembang terus), tetap mencontoh jenis kota ini mengingat makin puaanas aja tempat tinggal kita, contohnya saya yang di Bekasi. Semoga bermanfaat.

Referensi

Firman, T. (2004). New town development in Jakarta Metropolitan Region : a perspective of spatial segregation, 28, 349–368. http://doi.org/10.1016/S0197-3975(03)00037-7

Firman, T., & Fahmi, F. Z. (2017). The Privatization of Metropolitan Jakarta’s (Jabodetabek) Urban Fringes: The Early Stages of “Post-Suburbanization” in Indonesia. Journal of the American Planning Association, 83(1), 68–79. http://doi.org/10.1080/01944363.2016.1249010

Jabareen, Y. R. (2006). Sustainable Urban Forms: Their Typologies, Models, and Concepts. Journal of Planning Education and Research, 26(1), 38–52. http://doi.org/10.1177/0739456X05285119

Steiner, F. (2008). The living landscape – An Ecological Approach to Landscape Planning – Second Edition. Washington DC: ISLAND PRESS.

 

Penerapan Spatial Metrics

Spatial metrics (lihat post yang lalu) merupakan alat bantu analisa lansekap (landscape) lewat bantuan statistik khusus data spasial. Penggunaannya untuk analisa kondisi suatu wilayah tentang sebaran Patch. Patch adalah homogenous region dari suatu lansekap tertentu seperti taman, perumahan, wilayah urban dan lain-lain. Misalnya dari citra satelit kita bisa melihat dengan mata kepala, ternyata patch-nya ga beraturan, jarang-jarang, terisolir dan sudutnya (edge) runcing, bergerombol dan sebagainya. Berikut contoh tulisan sederhana saya bagaimana menganalisa spatial metrics dengan software free FRAGSTATS.

Spatial metrics ada banyak, terkadang ada yang mirip satu sama lain. Jadi ketika menggunakan harus memperhatikan aspek redundansi, dan juga berakibat lamanya perhitungan metric pada FRAGSTATS. Berikut ini penjelasan satu persatu spatial metrics yang digunakan.

1. Patch Density (PD)

Sesuai dengan namanya, adalah kepadatan patch, misalnya patch di sini daerah urban. Satuannya adalah jumlah patch per 100 hektar.

Makin homogen nilai PD makin besar. Ketika suatu wilayah urban terpisah-pisah dan heterogen, nilai PD atau kerapatan patch nya rendah.

2. Landscape Shape Index (LSI)

LSI mengukur tingkat ireguleritas suatu lansekap. Rumusnya adalah sebagai berikut:

Makin tidak beraturan nilai LSI makin kecil. Maka ketika suatu wilayah urban berkembang dan mekin teratur, nilai LSI membesar. Variabel min e adalah panjang (keliling) terkecil, yang dari sisi geometri adalah lingkaran, yaitu bentuk yang reguler dan kompak.

3. Euclidean Nearest-Neighbor Distance (ENN)

Metric ini mengukur panjang antara satu patch dengan patch lainnya. Ketika antara satu patch dengan lainnya berjauhan maka nilai ENN akan besar, dan mengecil ketika di sela-selanya muncul patch baru.

4. Percentage of Like-Adjacency (PLADJ)

Metric ini sangat terkenal karena kemudahannya. Prinsipnya adalah ketika satu patch dikelilingi oleh patch lain yang berbeda, maka nilainya berkurang.

Seandainya suatu wilayah urban tidak memiliki bangunan (urban area), maka PLADJ maksimum karena pembilang dan penyebut sama. Ketika jumlah gik (like adjacency) yang berbeda jenis patch maka pembilang membesar maka PLADJ turun terus hingga jumlah patch I dan k sama, jika hanya ada dua patch. Jadi biasanya urban area bertambah, PLADJ turun, hingga jumlah urban dan non urban kira-kira sama. Selanjutnya PLADJ naik ketika wilayah non urban berubah jadi wilayah urban.

Kebanyakan riset tentang urban growth mengenal proses pertumbuhan urban dari didominasi oleh tipe outlying (terisolasi), kemudian bergeser ke edge expansion (bertambah di ujung patch) dan infilling (mengisi ruang kosong antara patach). Semoga bermanfaat.

Istilah Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development)

Istilah Pembangunan Berkelanjutan menurut informasi dari beberapa buku masih simpang siur dan penuh teka-teki (Muschett, 1997). Untuk pengertian Pembangunan Berkelanjutan oleh beberapa pakar bisa lihat link ini. Hal ini terjadi karena perkembangan ilmu yang kian menuju spesialis, padahal masalah-masalah tertentu malah men-general. Forum terkenal yang membahas istilah ini adalah konferensi dunia PBB tentang lingkungan dan pembangunan di Rio (UNCED) tahun 1992. Ada dua komponen utama hasil dari konferensi itu, yaitu:

  • Prinsip #3: karakteristik Pembangunan Berkelanjutan yaitu keseimbangan antara pembangunan dengan kelestarian lingkungan dan juga keseimbangannya untuk generasi yang akan datang.
  • Prinsip #4: Untuk mencapai Pembangunan Berkelanjutan seharusnya memasukan faktor-faktor Pembangunan Berkelanjutan dalam proses pembangunan.

Ada unsur “fairness” dalam Pembangunan Berkelanjutan, baik antara pembangunan (ekonomi, fisik, dll) dengan kelestarian lingkungan (polusi, masalah sosial, dll). Selain itu, Pembangunan Berkelanjutan harus dilibatkan dalam proses pembangunan, dan bukan dibuat terpisah, atau hanya sebagai alat untuk menyelesaikan dampak yang terjadi.

Pembangunan Berkelanjutan juga bukan hanya melibatkan ekonomi dan lingkunan saja, melainkan juga seluruh aspek yang terlibat seperti sosial, budaya, teknologi, dan lain-lain yang membutuhkan studi yang multi-disiplin (lihat pembahasan masalah multi-disiplin). Secara ringkas komponen dari Pembangunan Berkelanjutan adalah sebagai berikut (Muschett, 1997):

  • Kestabilan populasi
  • Teknologi (transfer teknologi) baru
  • Efisiensi dalam menggunakan sumber daya alam
  • Pengurangan sampah dan pencegahan polusi
  • Solusi saling menguntungkan (“win-win” situations)
  • Sistem manajemen lingkungan yang terintegrasi
  • Menentukan batas kemampuan lingkungan
  • Memperbaiki (refine) ekonomi pasar
  • Pendidikan
  • Persepsi dan perubahan tingkah laku (paradigm shift)
  • Perubahan perilaku sosial dan budaya

Sedikit Ilustrasi Sejarah

Di jaman romawi, ada suatu daerah di Afrika Utara yaitu Carthage (sekarang Tunisia). Tunisia oleh penguasa Romawi menjadi daerah penghasil bahan makanan. Roma memaksa agar Carthage mensuplai bahan makanan sebanyak mungkin, hingga melewati batas daya dukung tanahnya. Akhirnya produksi turun dan tanah jadi rusak dan tandus. Bahkan pemaksaan untuk menanam di dataran tinggi mengakibatkan longsor dan erosi yang merusak tanah secara permanen.

Di jaman Cleopatra, mesir menggunakan pertanian berbasis Pembangunan Berkelanjutan , dengan prinsip banjir dan surut di sungai Nil. Namun sangat ironis, ketika di abad 20 dibangun bendungan (Aswan), kestabilan ekosistem rusak, hingga tanah yang tidak subur lagi.

Walaupun sejarah telah mengajarkan, tetapi dunia modern masih terus berusaha mencari konsep Pembangunan Berkelanjutan yang baik. Sayangnya konsep-konsep yang diberikan belum sampai tahan aksi. Tiap negara memiliki pandangan dan konsep sendiri. Di negara kita, undang-undang sudah dibuat yaitu dalam GBHN (TAP MPR No.II/MPR/1993). Namun pelaksanaan butuh kerja ekstra, mengingat negara Indonesia sedang mengejar ketertinggalannya dari negara lain.

Referensi:

Muschett, F. D. (1997). Principles of Sustainable Development. United States: St. Lucie Press.

 

Menghapus dan Memasukan Artikel di Daftar Google Scholar

Oiya, sudah daftar Sinta kan? (Untuk yang belum). Banyak yang protes karena Sinta menggunakan Google scholar sebagai salah satu faktor perhitungan Sinta selain Scopus. Salah satunya adalah karena Google scholar serampangan memasukan suatu tulisan/artikel ke akun Google scholar kita. Namun karena Google scholar metodenya self assesment, ada baiknya kita menghapus dan mendaftarkan tulisan-tulisan kita secara mandiri. Postingan ini terinspirasi dari tulisan rekan saya waktu mengajar di satu kampus di jalan Fatmawati dulu (lihat di sini).

Setelah login di google scholar, masuk ke profile kita. Di bagian atas kiri ada simbol “wisuda” yang artinya profile kita. Klik untuk masuk ke dalam dan melakukan manajemen artikel milik kita.

Pilihlah tulisan-tulisan yang bukan tulisan kita. Kemudian tekan “DELETE” agar dibuang dari daftar tulisan kita. Misalnya “klasifikasi lovebird ..” (hmm sejak kapan saya nulis klasifikasi burung bercinta).

Kemudian akan muncul informasi jurnal tersebut. Berikutnya tinggal menekan simbol “tempat sampah”. Artinya kita membuang tulisan tersebut dari daftar tulisan kita.

Oiya, jangan sedih. Kan bukan tulisan kita. Tapi lama-lama repot juga kalo google “nyepam” terus suatu tulisan ke akun Google scholar kita, capek juga sih menghapusnya. Untungnya bobot Google scholar jauh di bawah Scopus yang memang “screening”nya bagus. Hanya saja masih jarang dosen-dosen di tanah air yang sudah punya ID scopus.

Berikut kalau ingin menambahkan artikel, tinggal tekan simbol “+”. Ada dua pilihan tambah artikel (manual atau otomatis). Untuk yang otomatis searching nama kita di kolom “searching” lalu tekan simbol kaca pembesar. Sementara kalau yang manual tinggal isi informasi tulisannya.

Oiya, jangan asal masukin tulisan orang. Semoga postingan ini bermanfaat.

Jumlah Lapis Tersembunyi (Hidden Layer) Jaringan Syaraf Tiruan (Neural Networks)

Jumlah layer tersembunyi, atau yang dikenal dengan istilah hidden layer, menentukan keberhasilan jaringan syaraf tiruan (JST) dalam memecahkam masalah multilayer perceptron (waktu itu problem exclusive OR, XoR). Namun jumlah lapis tersembunyi sangat mempengaruhi proses training dengan backpropagation. Buku terkenal yang biasa jadi referensi riset JST tahun 90-an menyebutkan satu lapis tersembunyi sudah cukup dan tidak membutuhkan banyak komputasi saat pelatihan (Fausett, 1994).

Era Deep Learning

Proses pembelajaran JST merupakan bidang dari Machine Learning yang membahas proses pengaturan bobot dan bias suatu JST (lihat post yang lalu). Namun permasalahan mengenai performa menjadi kendala utama penerapan Machine learning pada multilayer JST, antara lain:

  1. Vanishing Gradient
  2. Overfitting, dan
  3. Computational load

Butuh 20 tahun, yaitu di-era 2000-an ketika masalah tersebut dapat diselesaikan dengan munculnya bidang baru yang dikenal dengan Deep Learning (Kim, 2017). Kalau diartikan dalam bahasa Indonesia: pembelajaran mendalam. Dalam di sini bermakna kompleksnya arsitektur dimana banyaknya lapis tersembunyi (di sini lapis beda dengan susun lho).

Lama saya tidak bermain-main dengan JST, jadi agak tertinggal, padahal ini bidang yang menarik. Apalagi dengan munculnya Deep Learning. Selamat ber-JST ria.

Referensi

 

Paradigma Baru Universitas di Era Disrupsi

Tulisan ini kelanjutan dari masalah linearitas dan interdisiplin ilmu pada postingan yang lalu. Sumbernya adalah dari situs ini, yang dishare oleh kawan di facebook. Ternyata facebook bermanfaat juga, tergantung bagaimana kita menggunakannya.

Paradigma Baru Pendidikan di Era Disrupsi

Masalah yang dialami dunia saat ini adalah buta secara vertical (vertical
literacy). Walaupun kesenjangan ilmu sudah hampir tidak ada (kecuali beberapa wilayah konflik dan yang masih primitif), ada kesenjangan jenis lainnya yang diberi istilah “knowing-doing gap”, yang artinya kesenjangan antara kesadaran kolektif kita tentang suatu hal dengan tindakan/aksi yang dilaksanakan. Vertikal di sini bermakna naik ke atas, jadi vertical development maknanya adalah perkembangan yang melepas masa lalu dan siap menyambut masa depan. Suatu institusi yang gagal melaksanakan vertical development akan dihajar oleh pesaing-pesaing di era disrupsi ini (banyak contoh kasus nyata yang sering kita lihat).

Jika diibaratkan seperti komputer, saat ini kita tidak hanya menginstal aplikasi-aplikasi baru melainkan mengupgrade sistem operasi kita, dalam rangka menyambut masa yang akan datang. Pendidikan harus di “reinvent” lagi. Perkataan seorang filsuf bernama Plutarch (2000 tahun yang lalu) bahwa pendidikan adalah aktivitas “menyalakan api” bukan “mengisi kapal” terhadap anak didik kita. Pendidikan di tahun ini sebaiknya mirip dengan tahun 1917 dimana terjadi vertical development.

Saat ini masalah-masalah yang harus diselesaikan dunia (radikalisme, terorisme, fundamentalisme, xenophobia, dan lain-lain) tidak bisa diselesaikan dengan “sistem operasi” yang lalu, harus dengan yang baru, ibaratnya harus diupgrade. Saat ini kita dihadapkan pada: “VUCA: volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity”. Kampus dituntut menyediakan tenaga-tenaga kerja yang siap menghadapi itu.

Kemampuan Vertical Literacy

Dulu mungkin buta huruf menjadi masalah di Indonesia, tetapi saat ini ketika rakyat sudah tidak buta huruf muncul masalah-masalah yang bisa menghancurkan suatu bangsa. Oleh karena itu vertical literacy menjadi penting. Dengan vertical literacy, seseorang memiliki kemampuan sebagai berikut:

  • Mahir dalam mendengar dan fikirannya terbuka
  • Merubah debat menjadi dialog yang menghasilkan
  • Merubah kompetisi menjadi ekosistem yang saling mendukung, dan
  • Menemukan hal-hal baru yang beroperasi secara sharing

Otto menlanjutkan dengan mengusulkan delapan prinsip yang harus dipegang oleh universitas “baru”, antara lain:

  1. Siswa sebagai inisiator perubahan
  2. Belajar bukan hanya di kampus, tetapi kehidupan nyata
  3. Menjadi orang yang berubah (be the change), dari kepala ke hati dan dari hati ke tangan (terapan)
  4. “Science 2.0”, banyak hal-hal yang harus diobservasi ulang
  5. “System Thinking”, siswa membuat sistem yang bisa menyelesaikan suatu hal
  6. “System Sensing”, mirip no.5 tetapi bisa men-sensor suatu hal
  7. Mudah mentransformasikan suatu sistem mengikuti society
  8. Memahami diri sendiri. Bukan hanya keingintahuan (sisi kognitif), melainkan juga hati yang terbuka (compassion) dan keinginan yang tulus (open will).

Silahkan lanjutkan baca di situs aslinya, yang ditulis oleh Otto Scharmer, Senior Lecturer, MIT; Co-founder u.lab, Presencing Institute. Semoga bermanfaat.

Ref

https://www.huffingtonpost.com/entry/education-is-the-kindling-of-a-flame-how-to-reinvent_us_5a4ffec5e4b0ee59d41c0a9f?ncid=engmodushpmg00000003

Klasifikasi, Pengklusteran dan Optimasi

Bahasa merupakan pelajaran pertama tiap manusia. Untuk mempelajari komputasi pun pertama-tama membutuhkan bahasa. Sebagai contoh adalah judul di atas yang terdiri dari tiga kata: klasifikasi (classification), pengklusteran (clustering) dan optimasi (optimization). Postingan ringan ini membahas secara gampang tiga kata di atas.

Klasifikasi

Sesuai dengan arti katanya, klasifikasi berarti memilah obyek tertentu ke dalam kelas-kelas yang sesuai. Komponen utama dari klasifikasi adalah classifier yang artinya pengklasifikasi. Jika tertarik dengan bidang ini maka akan bermain pada bagian pengklasifikasi ini. Jika menggunakan jaringan syaraf tiruan (JST) maka akan meramu bobot, bias, dan layer pada JST agar mampu mengklasifikasi suatu obyek. Jika menggunakan Support Vector Machine (SVM) meramu persamaan pemisah antara dua kelas atau banyak kelas (multi-class).
Sepertinya tidak ada masalah untuk konsep ini. Masalah muncul ketika ada konsep baru, misalnya pengklusteran.

Pengklusteran

Manusia itu makin belajar makin bertambah merasa bodoh, karena makin banyak pertanyaan yang muncul. Ketika klasifikasi tidak ada masalah dalam memahami maksudnya, munculnya konsep pengklusteran membuat pertanyaan baru di kepala, apa itu? Paling gampang memahami arti dari kluster, yaitu satu kelompok dalam area tertutup, zona, atau istilah lain yang menggambarkan kelompok yang biasanya memiliki kesamaan. Pengklusteran berarti mengelompokan beberapa obyek berdasarkan kesamaannya. Jadi harus ada obyeknya dulu, karena kalau tidak ada apa yang mau dikelompokan?

Lalu bedanya dengan klasifikasi? Penjelasan gampangnya adalah klasifikasi memisahkan berdasarkan kelas-kelas yang sudah didefinisikan dengan jelas sementara pengklusteran kelompok yang akan dipisahkan tidak didefinisikan lebih dahulu. Bisa juga dengan melatih berdasarkan data yang sudah ada kelasnya (target/label nya). Misal untuk kasus penjurusan, kita bisa saja mengklasifikasikan siswa masuk IPA jika nilai IPA nya lebih baik dari IPS dan sebaliknya untuk jurusan IPS. Sementara pengklusteran kita biarkan sistem memisahkan sekelompok siswa menjadi dua kelompok yaitu kelompok IPA dan IPS. Masalah muncul ketika mengklasifikasikan berdasarkan nilai IPA dan IPS-nya, jika guru IPAnya “Killer” sementara yg guru IPS “baik hati”, maka dengan classifier itu tidak akan ada yang masuk jurusan IPA. Sementara pengklusteran akan memisahkan siswa-siswa itu menjadi dua kelompok. Bisa saja yang nilai IPA nya misalnya 6 masuk ke kelas IPA karena nilai 6 itu udah top di sekolah itu.

Optimasi

Nah, apalagi ini? Kembali lagi sesuai dengan arti katanya optimasi berarti mencari nilai optimal. Optimal tentu saja tidak harus maksimal/minimal, apalagi ketika faktor-faktor yang ingin dicari nilai optimalnya banyak, atau dikenal dengan istilah multiobjective. Apakah bisa untuk klasifikasi? Ya paling hanya mengklasifikasikan optimal dan tidak optimal saja. Biasanya optimasi digunakan untuk mengoptimalkan classifier dalam mengklasifikasi, misal untuk JST adalah komposisi neuron, layer, dan paramter-parameter lainnya. Atau gampangnya, kalau klasifikasi mengklasifikasikan siswa-siswi ganteng dan cantik, optimasi mencari yang ter-ganteng dan ter-cantik. Sederhana bukan? Ternyata tidak juga. Banyak orang baik di negara kita, tetapi mencari beberapa yang terbaik saja ternyata malah “hang” sistemnya.