Ada satu buku unik berjudul “The Subtle Art of Not Giving a F*ck”. Walaupun judulnya agak kasar tetapi ada juga manfaat yang bisa dipetik dari buku karangan Mark Manson tersebut, khususnya di era milenial, era keterbukaan informasi.
Kita pasti pernah melihat rekan-rekan kita yang posting hal-hal yang “wah” di sosmed. Jika kita merasa panas, kecewa, iri, dan lain-lain, maka disarankan untuk membaca buku “slebor” tersebut. Mungkin penceramah yang mengharamkan posting perlu juga membaca, hehe.
Singkat saja, buku itu membahas sifat dasar manusia yang serakah menurut saya. Pernahkah melihat anak kecil yang nangis karena dibelikan topi indah berwarna biru, padahal yang diinginkan merah? Memang sudah sifat alami manusia yang memiliki segudang keinginan dan kecewa jika keinginannya tidak tercapai. Cuma masalahnya adalah tidak bisa menentukan apakah keinginan itu memang penting?
Banyak bacaan yang isinya bagaimana mencapai ini, itu, tetapi jarang yang membahas jika sesuatu tidak tercapai, tidak apa-apa dan biarkan saja. Untuk rekan-rekan yang masih muda yang belum memiliki sesuatu yang menggambarkan Anda, sepertinya hal-hal remeh temeh terkadang menjadi fokus utama. Perhatikan saja yang gantung diri karena putus cinta sudah dipastikan anak muda. Namun seiring perjalanan waktu, usia bertambah, biasanya kita sudah tahu kapasitas kita. Hal-hal remeh temeh jika tidak tercapai, kita akan maklum sendiri dan tidak kecewa.
Jadi jika ada teman yang posting sesuatu yang “wah”, bayangkan saja Anda melihat sebuah lukisan indah yang menghibur, sebuah informasi baru yang mungkin berharga, produk baru yang bermanfaat, dan hal lain. Jika Anda merasa sedih karena Anda tidak bisa, iri, hati tidak tenang, menurut buku tersebut Anda terlalu “nge-f*ck” ke hal-hal tidak penting dan buku tersebut cocok dibaca, siapa tahu bisa mem-“biarkan saja” terhadap hal-hal yang tidak penting dan tidak harus dikejar-kejar. Jadi inget alm. Gus Dur, “gitu aja kok repot”.