Bagimu Iseng-Iseng, Bagi Kami adalah Etika

Bagi editor mengelola jurnal merupakan pekerjaan yang melelahkan. Dimulai dari mencari naskah tulisan lewat promosi ke medsos, grup WA, email, hingga ke editing sesuai gaya selingkung jurnal. Jika kekurangan naskah, terpaksa tulisan yang ada diterima dengan konsekuensi kualitas jurnal akan jatuh dari sisi konten. Jika naskah berlebih, maka butuh waktu untuk mereviewnya, dan repot jika hampir semua naskah tersebut tidak layak terbit, ujung-ujungnya memaksa beberapa tulisan untuk diterbitkan.

Jurnal ber-ISSN yang dulu hanya untuk naik pangkat sekarang memiliki banyak manfaat lainnya, dari syarat laporan serdos, syarat hibah, syarat lulus kuliah hingga sekedar memperoleh insentif dari kampus tempat mengajar. Sehingga lama-kelamaan filosofi meneliti mulai bergeser. Dari pengalaman mengelola jurnal, mereview dan meneliti berikut ini mungkin harus dihindari.

1. Multiple Submission

Untuk mempublikasikan satu naskah membutuhkan waktu yang cukup lama, dari submit, review hingga publikasi. Terkadang satu tulisan perlu direvisi berkali-kali sebelum re-submit. Nah, banyak penulis yang mengirim tulisan yang sama ke berbagai jurnal dengan harapan siapa yang duluan accept itulah yang dipilih. Boleh saja kan? Bagi yang menjawab boleh perlu sedikit mengetahui hal-hal berikut.

Sebuah naskah paper hanya boleh publish di satu jurnal. Jika dipublikasikan lebih dari satu jurnal maka walaupun ditulis oleh penulis yang sama tetap dianggap plagiarisme. Di sini konflik muncul ketika dua atau lebih penerbit mempublikasikan tulisan yang sama tersebut. Silahkan menjawab dengan kalimat “bodo amat”, tetapi resiko Anda tanggung sendiri. Oiya, bukan hanya Anda tapi kampus tempat Anda bernaung juga ikut menanggung malu. Mengapa? Hal ini terjadi karena Ristek Dikti sudah membuat satu alat pengecekan naskah Anda di link ini: http://anjani.ristekdikti.go.id/pelaporan/retraksi.

Situs yang bernama Anjani itu membahas penyimpangan-penyimpanan yang terjadi. Bagi pengelola jurnal sih gampang saja, tinggal cabut saja tulisan bermasalah itu dan beres. Tetapi data “kenakalan” Anda akan terekam hingga anak cucu Anda.

2. Review Gratis

Terkadang review dibutuhkan untuk perbaikan naskah kita. Ketika disubmit, editor akan mengirim naskah itu ke reviewer untuk dinilai. Entah diterima atau tidak, hasil review sangat bermanfaat untuk kesempurnaan tulisan tersebut. Nah, masalah muncul jika penulis sengaja hanya ingin dicek saja, dan ketika naskah dinyatakan diterima (baik lewat mayor atau revisi minor) si penulis menarik (withdraw) tulisan tersebut. Pernah sekali jurnal saya mengalami hal yang sama. Silahkan jika Anda ingin seperti itu, tapi perasaan seorang editor yang sakit akan dibalas oleh Tuhan. Memang tidak ada hukuman real dari pengelola jurnal dan pemerintah, tetapi saat ini dimana medsos, komunikasi komunitas yang transparan, “blacklist” terkadang berlaku secara tidak langsung. Nama Anda akan masuk daftar penulis nakal yang perlu diwaspadai ketika submit tulisan di jurnal tetangga.

3. Tidak Mau Merevisi

Tentu saja jika tidak mau merevisi, tinggal reject saja. Ya, itu berlaku untuk jurnal yang sudah level mengengah ke atas. Tetapi untuk jurnal yang pas-pasan, hidup segan mati tak mau, sebuah tulisan sangat penting. Terkadang memang si penulis hanya untuk “gugur tugas saja”, seperti laporan BKD serdos, dan sejenisnya (kinerja pegawai). Dengan kekuasaannya terkadang “memaksa” editor untuk mempublikasikan tulisannya. Perlu disadari pekerjaan editor sangat melelahkan, dari menyiapkan OJS, merawat jurnal, mengedit tulisan, dan lain-lain. Jika berhasil, kualitas jurnal naik, dan si penulis pun terbantu ketika akreditasi jurnal tersebut baik. Terkadang editor meminta kualitas gambar yang jelas, seting layout yang harus mengikuti template jurnal dan lain-lain. Oiya, editor bukan menekan Anda untuk memperbaiki naskah tetapi justru memperbaiki kualitas karya Anda. Baik buruknya jurnal tergantung dari bukan saja pengelolaan jurnal, tetapi reviewer dan juga Anda sebagai penulis. Bantulah jurnal tempat Anda mempublikasikan karya Anda agar kualitasnya meningkat dengan memperbaiki kualitas tulisan Anda ketika diminta revisi.

4. Permainan Author dan Co-Author

Yang paling sering terjadi adalah seorang dosen yang mengambil karya mahasiswa tanpa menyertakan si mahasiswa. Editor juga seorang dosen, pasti tahu tulisan itu karya siswa atau tidak. Bahkan saking “kasar”nya, masih ada kata-kata skripsi dalam naskah yang dikirim ke editor dan tertulis hanya nama dosennya. Sungguh tidak etis dan pernah terjadi hal demikian hingga oleh si mahasiswa dibawa ke ranah hukum. Akibatnya si dosen menjadi malu.

Bagaimana dengan urutannya? Sebagian besar menempatkan si mahasiswa sebagai penulis utama dan dosen pembimbing sebagai co-author. Tetapi diperbolehkan ketika si dosen menggabungkan beberapa karya bimbingannya menjadi satu naskah atau menambahkan metode yang meng-improve atau meningkatkan akurasi hasil risetnya. Untuk rekan-rekan yang kuliah di Jepang sedikit berbeda, si profesor pembimbing memaksa dia menjadi penulis utama. Hal ini menurut saya sangat dimaklumi. Berbeda dengan di Indonesia dimana riset mahasiswa tidak terkait dengan industri dan proyek pembimbing. Di sana terkadang pihak industri memesan riset tertentu, seperti misalnya mencari kualitas komposisi bahan yang baik untuk rem. Si dosen membagi tugas-tugas proyek itu ke mahasiswa-mahasiswa. Ketika menguji, mencari data, si dosen terkadang sangat ketat memantau, memberi panduan, dan harus mengikuti standar yang ada. Si Dosen harus mempertanggungjawabkan hasil riset ke industri sehingga seolah-olah mahasiswa hanya kepanjangan tangan dari dosennya. Memang terkadang inovasi, ide, dan temuan bisa muncul dari mahasiswa. Tetapi karena ide penelitian berasal dari dosen maka mereka merasa si pembimbinglah yang layak menjadi penulis utama. Ristekdikti sepertinya melihat hal ini sehingga membolehkan Co-author memperoleh hak setara dengan Author (penulis satu), dengan syarat co-author tersebut sebagai corresponding author, yaitu yang mengurus submit, review, dan hal-hal administratif lainnya.

Mungkin banyak hal-hal rumit lainnya dalam perjurnalan yang bisa ditulis di kolom komentar untuk dibahas bersama, sekian semoga menginspirasi.

 

Iklan

2 respons untuk ‘Bagimu Iseng-Iseng, Bagi Kami adalah Etika

  1. Terima kasih atas informasi berharga nya pak Rahmad, saya jadi merenung apakah saya termasuk kategori yang “iseng-iseng”itu. Seingat saya, saya belum pernah melakukannya. Atau jangan2 ada yang kirim artikel dengan email atau bahkan saya. Mohon konfirmasinya, terima kasih ya…

    1. Makin ke sini Ristekdikti makin ketat, misalnya situs Anjani. Agar iseng-isengnya aman dapat digunakan dengan cara: 1) memecah riset menjadi lebih dari satu paper dengan isi/konten/problem berbeda kemudian disebar ke beberapa jurnal, 2) jika hanya ada satu paper, bisa membatasi waktu ke editor. Beberapa jurnal terkadang menginformasikan kalau paper belum juga mendapat reviewer. Nah, silahkan me-withdraw secara resmi agar bisa dikirim ke jurnal lain. 3) Jaga kerahasiaan paper agar tidak dicuri orang lain, termasuk akun email kita. 4) saat ini akreditasi jurnal ristekdikti masuk ke konten, membantu editor berarti membatu akreditasi jurnal yang ujung2nya manfaatnya kembali ke penulis. 5) untuk yg sudah terlanjur (namanya tidak tahu kan tidak bisa juga dibilang berdosa), tarik naskah dari jurnal yg dobel, mudah2an belum terekam. Mudah2an tidak menyurutkan niat dan tetap semangat menulis.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.