Mahasiswaku – “How Do You Do”

Ungkapan formal yg mirip artinya dengan “hello” ini mengandung kata kerja “do” yang artinya melakukan/mengerjakan. Hal ini menyiratkan karakter barat yang selalu mengkaitkan seseorang dengan pekerjaan. Sepertinya di negara kita juga tidak jauh berbeda. Seseorang tidak lepas dari apa yang dikerjakannya saat ini, apakah itu seorang guru, karyawan swasta, PNS, polri, tentara, hingga ibu rumah tangga.

Ketika menjadi seorang mahasiswa yang baru lulus di awal milenium (tahun 2001) seperti biasa, saya bergabung dengan tim pencari kerja alias pengangguran. Teman saya yang belum lulus mengabari bahwa dia ditanya oleh pembimbing skripsi saya dulu yang sekarang sudah almarhum mengenai pekerjaan saya. Ketika teman saya mengatakan “masih nganggur”, beliau langsung berkata “waduh” sambil memegang kepala. Dari situ saya tahu, ketika mahasiswa lulus, hubungan dengan dosen, apalagi dosen pembimbing tidak akan putus sampai di situ. Secara diam-diam seorang dosen akan “kepo” dengan kondisi ex siswanya. Untunglah ada Facebook, Instagram, dan sosmed lainnya yang bisa mengetahui tanpa langsung bertanya.

Tidak lama kemudian, ternyata saya menggantikan peran dosen-dosen saya dahulu. Banyak kesan yang terekam di kepala, baik kesan baik maupun kesan buruk berikut ini (namun kebanyakan sih kesan yang baik).

Waktu itu teringat ketika sidang tugas akhir, salah seorang siswa mempresentasikan hasil karyanya berupa sistem pendeteksi penyusup. Ketika seseorang memasuki suatu ruangan yang dipasang sistem tersebut, webcam menangkap gambar dan menyimpan (capture) gambarnya di cloud dan mengirim pesan ke bagian keamanan. Beberapa hari kemudian di sebuah kampus negeri di daerah Karawang ada undangan lomba pemrograman khusus aplikasi berbasis webcam dan CCTV. Langsung saja siswa tersebut ikut dan ternyata menang dengan mudah. Saat ini mahasiswa tersebut menjadi ASN di Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang kantornya di ragunan, Jakarta.

Cerita berikutnya sedikit menjengkelkan, ketika di awal-awal menjadi dosen. Pertemuan terakhir perkuliahan saya seperti biasa membagi kuesioner pembelajaran. Kebetulan kelas itu termasuk kelas yang sedikit brutal, maklum teknik komputer, 90% cowok. Karena saya melihat oleh mereka tidak disebar ke teman-temannya, iseng saya lihat isinya. Dan sepertinya dia pun ingin saya membaca kuesioner yang dia isi, yg harusnya rahasia itu. Kuesionar itu ternyata diisi orang yang sama, tepatnya si biangkerok itu. Tentu saja saya tahu dari tulisan tangannya. Isinya pun seluruhnya sama, meminta lembaga untuk memecat saya jadi dosen. Uniknya setahun kemudian ketika acara sidang tugas akhir, si biangkerok itu sesuai jadwal, saya yang menjadi penguji sidang. Hampir setengah jam kami menungu di ruang sidang tapi dia tidak muncul juga. Sempat saya intip, di luar dia jalan mondar-mandir tidak jelas dan tidak berani masuk. Rekan saya yang memang tidak mengenal mahasiswa tersebut sempat ngomel-ngomel karena lama tidak muncul-muncul. Karena paham kondisi, akhirnya saya menghadap panitia sidang untuk mengganti saya dengan orang lain sebagai pengujinya. Dan benar, setelah ditempel perubahan penguji sidang di papan pengumuman, si biangkerok itu berani masuk ke ruang sidang. Oiya, pandangan mahasiswa mungkin hanya melihat si dosen saja, tetapi dosen melihat juga orang tua, keluarga dan teman-temannya.

Sebagai penutup postingan ini, Renald Kashali dalam bukunya “disrupsi”, mengatakan kampus tidak lama lagi akan menghadapi gelombang disrupsi. Apalagi kini dipercepat oleh pandemi COVID-19. Tidak ada lagi yang bisa membantu selain peran masyarakat, terutama bantuan dari alumni. Tidak ada alumni yang ingin kampusnya hancur. Bahkan jasa yang utama pengajar bukan sekedar ilmu yang diberikan melainkan inspirasi pengajar ke mahasiswa yang mampu merubah mental dan pribadi sesuai cita-citanya. Sebaik-baiknya pemasaran adalah dari hal-hal baik yang diceritakan oleh para alumninya, misalnya alumni teknik komputer, salah satu jurusan unik bidang informatika dan komputer berikut ini.

 

Iklan