Perguruan tinggi swasta, apalagi swasta yang tidak berasal dari organisasi besar, memiliki masalah yang berbeda dengan perguruan tinggi negeri/swasta besar dimana sudah mapan ditambah lagi dukungan finansial baik dari pemerintah maupun lembaga lainnya. Mungkin banyak yang belum tahu kondisi prodi di kampus swasta yang merupakan mayoritas di Indonesia namun kebanyakan “terasa tapi tak terdengar”. Poin-poin dalam postingan ini siapa tahu bermanfaat dan menjadi gambaran kerjaan ketua prodi di luar SOP resminya.
Umpan Balik
Sebagai seseorang yang sempat mengalami ditolak bekerja di mana-mana, saya tentu saja senang ketika ditunjuk atau disuruh mengerjakan sesuatu. Salah satunya memimpin sebuah program studi. Mungkin seperti mayoritas prodi-prodi di kampus swasta, terkadang kerjaannya mirip musisi “organ tunggal”, alias apa saja dilakoni, dari drum keyboard, bas, gitar, bahkan terpaksa sambil nyanyi. Umpan balik merupakan satu-satunya andalan karena dapat menjadi alat agar melangkah sesuai dengan visi-misi, walau terkadang jalannya agak sempoyongan (apalagi saat COVID-19 saat tulisan ini dibuat).
Umpan balik terkadang menyakitkan, minimal bikin “gerah”. Ketika kelas 5 SD saya ditunjuk ikut lomba lari tapi disuruh juga oleh guru lain lomba keagamaan. Setelah saya pertimbangkan, saya pilih yang kedua. Keesokannya ketika bertemu teman, dia mengatakan bahwa guru olah raga agak kecewa dengan saya yg tidak bersedia ikut lomba lari, di depan kelas (saya tidak ada di kelas krn ikut lomba) katanya saya terlalu “letoy”. Walau tensi naik, tetapi itu tetaplah informasi berharga bagi saya, sebagai umpan balik utk memutuskan beralih ke bidang yang sesuai dengan bakat saya.
Saking pentingnya umpan balik, saat ini akreditasi kampus tidak perlu dijalankan tiap kurun waktu tertentu kecuali atas permintaan kampus itu sendiri dan jika ada laporan dari masyarakat agar kampus tersebut di audit lewat mekanisma akreditasi dari pemerintah/asosiasi. Laporan di sini tentu saja dapat dikatakan umpan balik.
Mengenal Stakeholder
Terkadang sebal juga dengan statement mahasiswa yang memandang rendah dosen dengan alasan dia yang membayar gaji mereka lewat SPP. Pendidikan disamakan dengan “jual-beli”. Tetapi secara bisnis tidak dapat dipungkiri karena tanpa mahasiswa tidak ada uang untuk menghidupi pegawainya, pemerintah pun memberi tunjangan dengan syarat adanya “pengajaran” yang membutuhkan mahasiswa. Kecuali mungkin untuk kampus negeri dan dosennya berstatus PNS atau DPK PNS yang berada di kampus swasta.
Berbeda dengan dosen biasa yang sekedar mengajar dan membimbing mahasiswa, ketua program studi paling banyak berhubungan dengan stakeholder, salah satunya adalah orang-orang tua yang menitipkan anak-anaknya untuk kuliah. Ketika pertemuan dengan orang tua mahasiswa baru, ketua program studi-lah yang ditugasi. Melihat wajah-wajah yang penuh harap, tidak mungkin ketua program studi tidak memiliki ikatan batin dengan mereka. Tiap ada kasus, ketua prodi pasti menjadi tameng. Pasti ada beban di hati ketika orang tua siswa, apalagi keduanya (bapak dan ibu) menghadap dan menanyakan mengapa prestasi si anak “ancur-ancuran”. Banyak ucapan-ucapannya yang membuat hati saya ikut “ancur”, misalnya: ” si X kuliah di sini karena engkongnya memaksa kami agar X kuliah di sini”. Ada lagi anaknya yang hampir 8 tahun tidak lulus-lulus dan ketika saya tawarkan pindah orang tuanya yang datang menghadap mengatakan, “bukan masalah lulus saja, saya ingin anak saya lulus di sini seperti saya” (ternyata bapaknya alumni).
Visi Misi, Tujuan dan Sasaran
Visi misi dan sejenisnya biasanya dibuat ketika evaluasi diri. Harapannya agar proses (dari mahasiswa masuk hingga lulus) sesuai dengan tujuan pendidikan. Paling gampang penerapannya mengikut bentuk “north-star” metrik ala gojek. Misalnya ketika problem di prodi hasil akreditasi adalah masa studi yang lama (kebanyakan pada telat lulus) maka ketika ada “sesuatu” yang menghambat siswa cepat lulus, maka bagaimana caranya di “kepala” seluruh pihak yang terlibat di prodi mengeluarkan “sinyal warning”. Uniknya kebanyakan “sinyal warning” bukan dari pihak luar, melainkan internal kampus sendiri. Misalnya ketika proses pembelajaran sudah ok dan beberapa mahasiswa mulai menunjukan progres “lulus tepat waktu” tiba-tiba aturan dari atas membuat mereka “ngerem”.
Terkadang para kaprodi harus siap dituduh menyerang pihak rektorat, dianggap provokator ketika tidak sangup meredam aksi demo mereka, atau turun derajatnya karena menjadi master/doktor yang ribut dengan tata usaha ketika menghadapi birokrasi yang kurang sinkron dengan visi misi prodi (terkadang hal ini menjadi pertimbangan utk mencari “rumah baru”).
Keluarga Kedua
Ada yang mengatakan banyak pemimpin baik ditemui, tetapi pemimpin besar selalu loyal. Ini juga dapat menjadi sedikit bocoran untuk pemilik (owner) kampus dalam menentukan pemimpin kampusnya. Ciri khas mereka adalah menjadikan divisinya sebagai keluarga kedua. Kemana-mana selalu memakai bendera lembaga yang dipimpinnya. Seperti biasa, ributnya keluarga tidak seperti ribut antar suporter bola. Tidak sampai 3 hari (batas ribut dalam Islam), mereka akur lagi. Apalagi kalau selalu ada acara makan-makan/jalan-jalan. Sekian tulisan iseng ini, siapa tahu ada yang berminat jadi ketua program studi, dan semoga bermanfaat.
