Jika searching di internet, peer review masih memiliki problem yang harus diselesaikan. Terlepas dari polemik itu, ada jenis jawaban yang dikenal dengan istilah trivial, yaitu jawaban sementara yang ada dan lebih baik jika tanpa ada jawaban sama sekali. Saya teringat kuliah dosen matematika saya ketika menjelaskan jawaban trivial dengan ilustrasi perang dunia di mana Jerman akan menyerang Inggris dengan rudal-rudal dan pesawat tempurnya. Inggris berhasil menemukan alat seperti radar saat ini (waktu itu masih jadul) yang mampu mendeteksi objek bergerak yang menuju Inggris. Hal ini memudahkan pertahanan mereka dan alat tersebut bisa dikatakan ‘penyelesaian masalah’. Namun suatu waktu alat tersebut mendeteksi objek yang jumlahnya banyak sekali, walaupun hal tersebut dirahasiakan namun bocor juga. Rakyat Inggris sudah pasrah waktu itu, hanya bisa berdoa karena serangan dengan jumlah sebanyak itu sangat sulit dilawan. Namun ternyata, objek yang dideteksi itu hanya sekelompok burung yang bermigrasi. Jawaban dengan alat tersebut dikatakan jawaban trivial.
Dalam dunia akademis kita mengenal artikel ilmiah yang terindeks, misalnya Scopus. Dengan perorganisasian dan kontrol kualitas yang katanya ketat, Scopus banyak dijadikan patokan artikel yang berkualitas oleh universitas-universitas di seluruh dunia. Banyak yang dijadikan syarat kelulusan, khususnya mahasiswa doktoral yang memang tugas utamanya melakukan riset. Banyak komentar-komentar yang tidak menyukai Scopus, dari istilah kapitalis yang mengambil untung dari ‘penderitaan’ periset di seluruh dunia hingga kualitas artikel-artikelnya yang diragukan. Tetapi dengan banyaknya kelemahan dan problem-problem yang ada, jika tidak menggunakan indeksasi yang bagus (misalnya Google Scholar yang bisa dimodif oleh author)s, akibatnya kualitas riset jadi diragukan. Sebenarnya ada alat kontrol lain, misalnya paten, tetapi tentu saja sangat sulit karena hanya segelintir orang saja yang bisa. Jadi banyak kampus-kampus yang terpaksa mengandalkan Scopus, WoS, dan indeks berkualitas lainnya karena lebih praktis dalam kontrol kualitas walau membutuhkan biaya tambahan yang kebanyakan ujung-ujungnya ditarik dari mahasiswa.
Problem utama dari riset ilmiah ujung-ujungnya adalah peer review, yang menjadi andalan Scopus karena menentukan kualitas artikel yang dipublikasikan. Tanpa ada peer review jangan harap jurnalnya terindeks di Scopus. Dari Youtube atau media sosial lainnya mulai bermunculan postingan yang anti peer review. Salah satu poin utama dari penolakan peer review adalah adanya ketergantungan yang amat besar dengan peer review. Jika ada ilmu-ilmu baru yang belum pernah dijumpai oleh reviewer, dengan hak-haknya menilai terkadang di-reject. Misalnya Anda ahli matematika, ketika mereview artikel Albert Einstein mengenai E=mc^2 sangat sulit menerimanya, apalagi biasanya artikel dibatasi dengan panjang naskah, padahal butuh penjelasan yang tidak mudah. Banyak definisi-definisi yang harus dipresentasikan karena ilmu yang baru. Yang mereview terkadang tidak mengetahui siapa yang menulis (blind review), ada keraguan karena ilmu baru yang si reviewer pun butuh ‘kuliah’ oleh sang penemu.
Kondisi memang sedikit rumit. Namun tanpa menggunakan peer review kontrol kualitas hanya mengandalkan ‘orang dalam’. Kalau kampus sekelas Harvard, MIT, Stanford, dan sejenisnya yang banyak riset yang didanai oleh industri mungkin tidak masalah. Kampus-kampus biasa, apalagi di Indonesia yang saat tulisan ini ditulis peringkatnya sudah mulai tertinggal jauh dari kampus-kampus Malaysia, tentu saja dipertanyakan kualitasnya. Memang ada pilihan lain, yakni external examiner, namun walau ‘eksternal’, tetap saja dipilih oleh kampus yang ujung-ujungnya dicari yang ‘mempermudah’.
Untunglah saya bukan menteri yang harus mengambil keputusan yang sangat menentukan masa depan dunia riset dan pendidikan tinggi. Agak sedikit membingungkan ketika dimerger antara riset dengan pendidikan. Mudah-mudahan riset kian berkualitas dan bukan sebaliknya hanya pendidikan yang maju tetapi riset terbengkalai. Apalagi kondisi dunia yang sedang mengalami pandemi, serta beberapa bidang sedang mengalami disrupsi. Saya yakin pemerhati di seluruh dunia sedang memikirkan hal ini, tetapi di negara kita yang masih dibilang ‘belum maju’ mau tidak mau harus mengikuti standar yang ada. Solusi trivial mungkin lebih baik dari pada tidak ada solusi.