Pada postingan yang lalu sudah dibahas istilah “disruption” dari Prof. Rhenald Kasali. Apakah fenomena yang meruntuhkan pemain-pemain bisnis ternama itu mengancam juga dunia akademik seperti universitas, politeknik, maupun institute? Wow ternyata iya, mengerikan, Prof. Rhenald membahasnya pula di tulisan lanjutannya, “meluruskan pemahaman soal disruption”. Disruption tidak melulu hanya yang berbasis online (seperti taksi online, ojek online, dll) melainkan seluruh aspek bisnis karena disruption merombak total proses bisnis, dari teknologi hingga budaya suatu perusahaan. Sayang tulisannya masih berlanjut nanti, yaitu tentang bagaimana mengetahui ciri-ciri suatu perusahaan yang mulai terdisrupsi.
Tahun 2006 ada paper yang membahas masalah paradigma pendidikan di dunia yang sepertinya mulai berubah. Silahkan kunjungi link-ini untuk membacanya. Sangat panjang bahasannya yang melibatkan survey di belahan dunia. Untuk itu saya sederhanakan untuk kasus khusus saja yakni apa kira-kira yang diperlukan dalam pendidikan tinggi di semua tingkat.
Efek Globalisasi
Globalisasi berarti lintas negara dan batasan geografis lainnya. Pertukaran ilmu tidak selalu dengan cara mendatangkan atau mengirimkan periset ke suatu negara. Ternyata terjadi pergeseran pemain utama riset dari negara Eropa dan AS ke asia (Turki, India, Jepang, China, dan Taiwan) dan amerika latin (Brazil). Efek globalisasi juga dibarengi dengan pertumbuhan populasi di negara berkembang seperti negara kita, sementara negara-negara Eropa cenderung statis bahkan menurun. Terkadang untuk memenuhi kebutuhan mahasiswanya mereka mendatangkan dari negara-negara yang membutuhkan pendidikan, seperti negara kita. Saat ini bahkan lembaga-lembaga riset sudah lintas negara (non-national) akibat kolaborasi yang terjadi. Saat ini poros ilmu yang dimotori US sepertinya mulai diambil alih oleh pendatang-pendatang baru Asia yang cenderung kompak menghadapi dominasi AS, yang oleh paper itu diistilahkan “a common enemy unifies“.
Pendidikan Sarjana dan Pos-Doctoral
Unik juga mengapa paper itu menyetarakan sarjana dengan post doktoral. Padahal dari sisi jenjang sangat jauh berbeda. Satu hal yang membuat kedua jenjang itu sama adalah spesialisasi dan peningkatan kualitas individu. Jika para sarjana diajarkan untuk mengetahui disiplin ilmu itu sendiri, rumus, teori, terapannya, dan lain-lain, post doctoral juga melakukan hal yang sama. Terkadang kerja lab menjadi makanan sehari-hari sarjana dan post doctoral. Tetapi itu untuk kondisi khusus, yaitu post-doctoral untuk junior researchers yang usianya di bawah 30 tahun .. (ternyata saya sudah tua). Selain itu post doctoral yang dimaksud adalah yang benar-benar menjalankan fungsinya karena banyak kasus, mahasiswa posdoc diberi tugas yang diistilahkan “mission impossible” dari supervisornya.
Pendidikan Doktor
Ternyata justru yang bermasalah adalah jenjang doktoral. Perkembangan ilmu yang cepat dengan teknologi yang sangat memudahkan siswa untuk menggali ilmu membuat tuntutan berat bagi mahasiswa doktoral yang jika dilakukan sendiri sepertinya sulit. Jadi saat ini doktoral student cenderung melakukan riset secara multidisiplin dengan topik-topik yang meluas (wide). Sangat sulit menemukan metode-metode baru di dunia yang sudah established seperti saat ini. Selain itu ada tuntutan ganda dari seorang PhD (double function) yaitu: akademik dan non akademik. Akibatnya berikut adalah skill yang perlu dimiliki oleh seorang doktor:
-
Manajerial dan kepemimpinan
-
Komunikasi publik
-
Membuat relasi/network
-
Mengatur proyek
-
Mengerti dunia politik
-
Kemampuan negosiasi
-
Dan Pemahaman budaya
Oiya, bagaimana dengan master? Ada dua kemungkinan, master yang ikut gabung ke sarjana atau master yang langsung lanjut doktor. Sepertinya di dunia internasional master itu tanggung, harus lanjut ke doktoral jika ingin ke dunia akademik, kecuali yg berkarir di dunia profesional non akademik. Mungkin sekian dulu tulisan ini, masih banyak sepertinya yang bisa dibahas dari paper yang saya jadikan referensi tersebut. Mengenai masalah disruption, mungkin video penjelasan dari christensen ini bisa membantu.
Reference
Melin, G., & Janson, K. (2006). What skills and knowledge should a PhD have? Changing preconditions for PhD education and post doc work. Wenner Gren International Series, 105–118. Retrieved from http://www.portlandpress.com/pp/books/online/fyos/083/0105/0830105.pdf
Update: 19 Okt 2017
Lanjuta pembahasan disruption, termasuk efeknya terhadap dunia akademik bisa dilihat di link kompas: http://ekonomi.kompas.com/read/2017/10/18/060000426/inilah-pekerjaan-yang-akan-hilang-akibat-disrupt
2 respons untuk ‘Perubahan Paradigma Pendidikan di Dunia: Sarjana, Master, Doktor, Post-Doc’