Tetap Menulis

Saat ini jaman sudah berubah, semua serba online. Tidak terkecuali buku yang saat ini sudah nyaris tergantikan dengan alat-alat digital berupa ebook. Sudah jarang mahasiswa yang membawa buku-buku tebal dan berat seperti jaman saya kuliah dulu. Tinggal membuka tablet, bacaan apapun tersedia. Kapasitasnya pun bisa menyamai jumlah tulisan di perpustakaan konvensional seperti di tempat saya bekerja. Apakah peran buku sudah terdisrupsi oleh media-media lain yang lebih canggih?

Orang-orang Besar Tetap Membaca Buku

Tidak hanya Bill Gates yang selalu melahap buku teks (bukan online) dalam setahun, mantan presiden Amerika Serikat, Obama, pun tetap membaca buku teks. Alasannya sederhana, ketika sumber informasi datang seperti tsunami, membaca buku dapat berfungsi sebagai “benteng” untuk berhenti sejenak menerima gempuran informasi dari luar (yang kebanyakan hoax atau cenderung menggugah emosi). Obama sendiri mengatakan membaca berfungsi melihat sudut pandang orang (si penulis) dalam melihat dunia, ibarat “mencoba memakai sepatu orang lain”.

Saat ini Buku Yang Mencari Orang

Dahulu mungkin buku dianggap sebagai masterpiece, seperti lukisan yang dicari-cari oleh para kolektor. Namun saat ini keberadaannya berbeda, buku harus berevolusi seperti sarana-sarana lainnya yang mau tidak mau mensuplai dan menservis kebutuhan konsumen. Ketika tadi malam saya bersama anak ke toko buku ternama, yang dia tuju adalah novel-novel yang saat ini laris di kalangan remaja. Saya sendiri tidak mengenalnya. Tapi entah bagaimana si penulis mengapa bisa memahami keinginan dan apa yang diminati oleh generasi remaja saat ini. Di situlah saya baru sadar, peran buku saat ini agak mirip dengan obat, yakni menyesuaikan dengan orang yang memerlukannya.

Tentu saja penulis-penulis ternama banyak yang menantikan karya-karyanya. Tapi itu untuk topik-topik populer, sementara jarang saya melihat buku-buku ilmiah yang digandrungi banyak orang seperti buku Harry potter. Malah kebanyakan para mahasiswa “memfoto kopi” buku untuk keperluan kuliah, sebaliknya membeli buku asli untuk novel atau bacaan non-pendidikan. Tidak ada cara lain bagi penulis buku-buku ilmiah untuk menerapkan teknik buku-buku non-ilmiah, yaitu meneliti keinginan para penggunanya/konsumen.

Penerbit Tetap Eksis

Satu hal yang membuat saya bingung adalah ternyata penerbit masih tetap eksis. Buku-buku tetap terbit dan perusahaannya masih meneguk keuntungan. Padahal saat ini pembajakan sudah biasa dan minat pembaca buku, khususnya buku ilmiah sepertinya rendah di Indonesia. Namun perlu diingat seberapa kecil pun prosentasi pembaca di tanah air, tetap saja jauh lebih besar dibanding negara-negara tetangga, karena memang jumlah penduduk Indonesia yang dua ratusan juta jiwa.

Pernah saya membantu menulis buku yang di awal judulnya “Analisa dan Disain Sistem Berorientasi Objek dengan UML”. Setelah sampai di tangan penerbit, mereka menyarankan mengganti judulnya menjadi “menggunakan uml”. Unik juga, penerbit ternyata memiliki naluri dan insting tentang apapun yang membuat buku “eye catching“. Jika saya perhatikan ternyata judul saran penerbit sangat disukai pasar dan “to the point“, tidak terasa berat dan bikin jidat berkenyit karena pusing dan bikin muntah, hehe.

Sesama Penulis Saling Menghargai

Satu hal yang sangat mendukung dunia per-bukuan adalah saling mendukung sesame penulis. Cara gampangnya adalah bedakan antara media sosial dengan penulisan. Jika di media sosial memerlukan “pertengkaran” untuk bisa eksis (walaupun efek sialnya bisa masuk penjara), dalam perbukuan hampir tidak dijumpai hal itu. Jika ada yang menghina, sudah dipastikan dia belum pernah membuat buku. Bahkan ada pakar IT yang menghina tulisan-tulisan buku dari bangsanya sendiri yang mengatakan “buku instan”, “tidak berguna”, dan membandingkan buku-buku fenomenal karya bangsa lain. Mungkin pendapatnya benar, tetapi toh tak ada gunanya jika dia sendiri tidak menciptakan karya fenomenal seperti karya bangsa lain. Kita sadar minat baca bangsa kita tidak sehebat bangsa lain (semoga sekarang tidak), para penulis telah bersusah payah bagaimana menyetarakan tingkat daya tangkap pelajar-pelajar kita dengan sulitnya materi, dan ketika sudah cocok, masih dikritik pedas pula. Tapi prinsip saat ini sangat berbeda dengan jaman dulu, siapa yang bisa memberikan layanan yang lebih baik akan dipakai dan secanggih apapun jika tidak ada yang menggunakan, pasti akan bangkrut dan hancur, seperti Blackberry, Nokia, dkk. Buktinya sudah banyak, semoga Anda sendiri tidak berminat menjadi bukti baru.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.