Maaf, kita terpaksa belajar secara online

Siang ini udara cukup panas ketika saya keluar sebentar untuk ambil raport SMP anak. Ketika balik lagi ke kampus karena memang jadwal saya piket, ternyata mahasiswa unjuk rasa mengenai perkuliahan. Tuntutannya sederhana, meminta dispensasi pembayaran, kalau tidak salah 50 persen. Alasannya sederhana, karena perkuliahan berjalan secara daring. Untuk menjawab bagaimana kampus bersikap, ada baiknya melihat kondisi sesaat sebelum pandemic COVID-19 terjadi berikut ini.

Disrupsi

Istilah ini bukan hal yang baru dan setiap orang sudah mengerti. Pesatnya penjualan, transportasi, dan bisnis online sudah terasa dampaknya di masyarakat. Konflik dengan konvensional seperti ojek pangkalan, taksi konvensional yang sebelumnya keras mulai melunak dan bahkan kini bisa berjalan saling mengisi. Bagaimana dengan dunia pendidikan? Beberapa pakar sudah memprediksi bahwa bakal banyak kampus yang akan tutup, jangankan negara berkembang, negara maju tempat pusat IPTEKS pun diramalkan akan terjadi (misal di US, lihat link ini).

Secara teori, disrupsi memotong rantai antara produsen dengan konsumen. Jadi jika kita sebagai produsen atau konsumen, tentu saja tetap tidak tergantikan. Masalahnya adalah untuk jasa, seperti pendidikan, siapa kah produsennya? Kampus atau dosen? Sementara konsumen, mahasiswa ataukah industri penyerap tenaga kerja? Repotnya berita Google yg tidak mensyaratkan ijazah ketika merekrut karyawannya membuat posisi produsen (kampus dan dosen) kelimpungan (lihat link ini misalnya).

Menurut buku Renald Kasali tentang disrupsi, nanti peran kampus adalah sebagai even organizer yang menangani servis pendidikan dan pengajaran. Kampus dan dosen seolah lenyap (wah repot juga). Jika perusahaan penyerap memiliki tools yang canggih untuk menguji kemampuan calon tenaga kerja, sudah dipastikan peran ijazah bakal sirna dan digantikan peran lembaga yang mampu meningkatkan skill dan ilmu siswa/mahasiswa/calon tenaga kerja. Kalau diibaratkan tokopedia, bukalapak, shopee yang hingga kini bertarung habis-habisan, kemungkinan lembaga yang memberikan servis pengajaran pun pasti bertarung habis-habisan. Namun kondisi COVID-19 pen-disrupsi pun kewalahan (lihat berita ini).

Business-to-Business (B2B)

Di industri kita kenal perusahaan yang menjual barang bukan ke konsumen, melainkan ke perusahaan lain. Jadi kita tidak bisa sekedar menyamakan kampus dengan gojek atau toko online yang business-to-customer. Ketika ojek dibutuhkan, pasti ada pensuplainya, kendaraan dan driver. Begitu juga pendidikan, ada pihak pensuplai kurikulum/konten dan dosen. Hal ini terjadi karena pengajar bukan sebagai buruh, melainkan mitra. Nah, kondisi pengajaran online pun berbeda dengan ojek yang memang dibutuhkan jumlah yang banyak, untuk pengajaran terkadang dibutuhkan pengajar yang “menarik” konsumen karena kepakaran, skill, atau aspek-aspek penerimaan lainnya yang tentu saja karena online tidak perlu berjumlah banyak. Wah, bagaimana ini?

Tuntutan Spesialisasi

Perkembangan teknologi dan tuntutan kehidupan modern memaksa tidak adanya monopoli oleh seseorang. Sehebat apapun seorang pakar, dia tidak bisa menguasai semua ilmu yang dibutuhkan orang/masyarakat. Peta okupasi (profesi) pun terus bertambah, misalnya untuk dunia IT sudah ratusan. Jadi seharusnya tidak perlu khawatir. Nah, di sinilah sebenarnya akar permasalahan ketika transisi dari tatap muka/offline/blended menjadi murni online. Baik pengajar maupun mahasiswa khawatir tidak memperoleh hasil yang diinginkan. Sebagai contoh, silahkan ikuti webinar-webinar yang saat ini banyak dijumpai, tidak ada skill spesifik yang didapat karena memang bentuknya yang agak monolog dan tidak bisa meng-cover kebutuhan semua peserta.

Influencer

Jika sudah menjadi spesialis dan terus mengasah skill dan kepakaran, maka dampak nyatanya berupa karya kian terlihat. Uniknya di jaman online, sangat mudah terlihat dan viral. Sekali terlihat, permintaan pasti datang dan jika peminatnya banyak, banyak pihak-pihak yang menempel ketat. Jika kampus atau dosen sudah berperan seperti influencer, sepertinya aman-aman saja karena mendapat dukungan dari mahasiswa dan industri. Jika mahasiswa sudah menjadi follower setia, online pun tidak masalah. Peran model dan sosok sebagai sumber inspirasi seorang tutor/dosen/guru tidak bisa tergantikan. Sekian, semoga pembaca sekalian sependapat untuk beberapa poin dalam tulisan ini.

 

Iklan