Peraturan Ristek-Dikti agar lektor kepala dan profesor menghasilkan publikasi pada jurnal internasional sedikit banyak membuat para dosen berfikir keras. Salut juga dengan para sesepuh yang masih bersemangat untuk berkarya lewat tulisan ilmiah. Walaupun di grup-grup WA yang saya ikuti banyak juga virus-virus negatif yang mengendorkan semangat, yang entah apa niatnya saya sendiri tidak tahu. Mulai dari mempertanyakan apa sumbangsih tulisan yang dibuat terhadap kemaslahatan masyarakat? Hingga tudingan kapitalisasme penelitian. Tidak perlu dijawab, ibarat pemain bola kita ikuti saja arahan manajer tim, toh tidak melanggar susila, larangan Allah, sang hyang widhi, jalan mulia berunsur delapan, dan lain-lain sesuai keyakinan kita.
Tulisan Ilmiah Sebagai Media Komunikasi Antar Peneliti untuk Perkembangan IPTEK
Bagi saya, tulisan ilmiah tidak lain dan tidak bukan adalah wujud keikutsertaan kita pada komunias keilmuan di dunia, apapun bidangnya. Bagi yang memprotes atau mempertanyakan manfaatnya, silahkan menyendiri dan tidak ikut komunitas dunia, tidak ikut mengembangkan ilmu. Sungguh tidak dapat dibayangkan jika ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia tidak berkembang. Jika tidak berkembang mungkin di masa yang akan datang ketika SMP seorang anak akan selesai sekolahnya karena ilmu sudah dikuasai semua, tidak ada hal-hal baru. Karena perkembangannya, suatu ilmu mungkin dulu level S3 sekarang turun jadi level S2, mungkin turun lagi ke level S1 atau bahkan SMA dan seterusnya. Jadi kalau ilmu tidak berkembang bisa jadi SMP sudah khatam. Beberapa postingan di facebook, atau di group (tidak semua postingan di grup abal-abal/hoax lho) menyebutkan peneliti-peneliti yang usianya makin muda, bahkan ada yang baru belasan tahun sudah jadi peneliti tingkat dunia akibat semakin mudahnya memperoleh akses IPTEK.
Menciptakan Lingkungan yang Baik untuk Perkembangan IPTEK
Negara kita harusnya terus melangkah, jangan perduli dengan omongan negatif rakyatnya yang tidak ingin maju. Memang penghasilan seorang dosen atau peneliti belum begitu menjanjikan jika dibanding profesi-profesi lainnya. Tapi satu hal yang terpenting adalah dinamikanya yang luar biasa. Ada kepuasan batin yang melebihi harta. Walaupun ada juga mereka yang statis, ditunjang dengan sikap sinis terhadap profesinya sendiri. Di sini saya sedikit mengeluarkan pendapat yang mungkin pembaca baru mendengarnya, dan mungkin juga tidak setuju.
Kita tahu bahwa negara kita adalah negara berkembang, dan sadar tertinggal dengan negara-negara maju lainnya. Dalam hal ini kita ambil satu sisi saja yaitu iptek dan dunia akademik. Pernahkah kita sadar bahwa banyak juga ilmuwan yang berasal dari negara kita? Muncul baru kemudian tenggelam, muncul lagi yang baru, dan seterusnya. Tetapi mengapa perkembangan IPTEK kita seperti jalan di tempat? Sangat sulit menjawab mengapa kita sedikit tertinggal (kalau malu mengatakan jauh tertinggal). Tapi harus tetap yakin pasti akan maju dan ilmuwan-ilmuwan baru akan bermunculan mengingat anak-anak muda yang saat ini mulai bersemangat terhadap IPTEK.
Kebetulan saya dapat kuliah gratis di Thailand, jadi sedikit bisa melihat perbedaan dengan negara kita. Di sana raja sangat memperhatikan pendidikan. Sarana dan prasarana sangat didukung, rakyatnya pun ikut mendukung, kecuali yang ingin di-cyduk karena protes melulu dan mengganggu. Walaupun dari segi otak, menurut saya masih kalah dengan rakyat kita tetapi mereka bisa menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan IPTEK. Apalagi jika dibandingkan dengan Inggris, Jepang, Jerma, Amerika Serikat, dan negara-negara maju lainnya yang dari pemerintah, LSM, industri, swasta, dan donor-donor lainnya sangat mendukung IPTEK dan juga dunia akademik. Dari sisi probabilitas, peluang munculnya ilmuwan di lingkungan yang cocok dengan IPTEK dan akademik jauh lebih besar dibanding lingkungan yang tidak mendukung. Dari sisi ‘gaib’, maaf bingung memberi istilahnya, jika tuhan ingin menghadirkan seorang ilmuwan, penemu besar, atau apa sebutannya, di manakah Dia akan menurunkannya? Tentu saja di negara yang mendukung IPTEK. Kalaupun ada yang “nyasar”, biasanya akan diarahkan ke negara yang mendukung baik bekerja di sana, pindah kewarganegaraan, dan sejenisnya.
Tidak ada cara lain, ciptakan saja wadah yang mendukung IPTEK dan akademik di negara kita. Cari orang-orang yang setia untuk mengembangkan lingkungan akademik yang baik, suatu saat jika sudah tumbuh maka Allah akan melahirkan para ilmuwan dan penemu-penemu besar tidak perlu jauh-jauh ke negara maju, cukup di Indonesia saja karena “perangkatnya” sudah ada (kampus yang baik, didukung oleh industri/swasta dan pemerintah). Jangan sampai kejadian yg belakangan muncul di facebook, seorang anak yang diterima di UGM, tidak jadi masuk karena ayahnya menyuruh si anak bantu kerja orang tua saja di rumah. Sebenarnya kita sudah pernah merasakah manfaat “mencipatakan suatu lingkungan” lho. Mengapa kita sampai saat ini selalu memunculkan bibit-bibit bulu tangkis? Selalu ada wakilnya juara di All England. Menurut saya karena kita sudah memiliki lingkungan dan perangkat untuk menciptakan atlet bulu tangkis kelas dunia, dimana tuhan akan menurunkan bibit pemain bulu tangkis di negara kita akibat sudah tersedia “perangkat” untuk menunjangnya. Seperti halnya sepak bola di eropa dan amerika latin, atau catur di Eropa timur. Jika pun satu waktu tertentu kalah oleh negara lain, tidak lama kemudian pasti muncul bibit baru lagi.
Semoga tulisan iseng ini sedikit bermanfaat dan memperkuat langkah di jalan terjal yang harus ditempuh oleh peneliti tanah air. Kita ciptakan lingkungan yang membuat tuhan menurunkan bibit-bibit ilmuwan di negara kita. (Bukan menciptakan lingkungan korup yang membuat tuhan menurunkan para koruptor di negara ini). Semoga pula Indonesia – “insulinde, putri cantik yang tidur sudah terbangun”, kata Van Deventer – tidak bobo lagi.