Demonstrasi vs Ketetapan Tuhan

Beberapa hari yang lalu ada demonstrasi yang ditujukan kepada kementerian keuangan dan RISTEK-DIKTI. Isinya tentang beasiswa bagi mahasiswa yang sedang dan akan studi lanjut, khususnya para dosen di perguruan tinggi. Interpretasi mengenai tindakan mereka terserah Anda, postingan ini hanya mencoba berbagi pengalaman saja.

Ada satu ketentuan yang tidak dapat disangkal, yaitu ketetapan Allah. Kita boleh berencana, mengeksekusinya, tetapi ketetapan tuhanlah yang berlaku. Tidak ada orang yang ingin sakit, bencana, dan kesusahan-kesusahan lainnya, tetapi jika Allah berkehendak, siapa pula yang bisa membatalkannya. Bahkan yang sudah pastipun, misalnya mati, tidak ada orang yang menginginkannya. Apalagi hal-hal lain yang tidak ganas-ganas banget, misalnya studi lanjut.

Sebenarnya beasiswa sendiri itu bagian dari studi lanjut. Masalah beasiswa ya berarti masalah studi lanjut. Karena dalam menyelesaikan kuliah S3, sepertinya hanya 20% fokus yang diberikan untuk murni perkuliahan, dan sisanya yang 80% untuk hal-hal lain yang salah satunya adalah beasiswa. Kenapa harus 80% dan 20%? Tidak ada hitungannya sih, hanya angka statistik dari Pareto saja. Jadi jika calon mahasiswa melihat bahwa studi lanjut itu fokus hanya ke 20% saja, alias 100% murni untuk kuliah, sudah dipastikan jika ada masalah-masalah non teknis maka mereka menganggap itulah penyebab dari lama atau bahkan tidak lulus-nya perkuliahan. Padahal itu sejatinya bagian dari proses penyelesaian studinya yang bahkan besarnya jauh melebihi proporsi kuliah.

Apakah kita bisa membantu para karyasiswa (sebutan untuk mahasiswa yang menerima beasiswa)? Tentu saja bisa, khususnya pemerintah yang untuk dosen dipegang oleh kementerian RISTEK-DIKTI dan departemen agama serta untuk non dosen oleh kementerian keuangan dan lain-lain (di tempat saya ada dari departemen pertanian). Mungkin di sini hanya pendapat saya mengenai bagaimana melancarkan proses studi lanjut:

Pantauan Perkuliahan oleh Institusi Asal

Tentu saja para karyasiswa harus melaporkan kemajuan studinya baik ke pemberi beasiswa (misalnya RISTEK-DIKTI) maupun institusi asal (misalnya departemen atau kampus). Namun selama ini kebanyakan institusi asal tidak ambil pusing, mungkin karena tidak tahu menahu apa yang terjadi terhadap karyasiswanya, atau menyerahkan semua kepada pemberi beasiswa. Jika beasiswa mengalir lancar, pasti kemajuannya oke, alias baik-baik saja. Padahal yang terjadi tidak demikian, karena banyaknya penerima beasiswa maka pemberi beasiswa pun tidak cukup mampu mengawasi, padahal laporan-laporan kemajuan belum tentu akurat, bahkan kebanyakan sedikit ada manipulasi. Bahkan untuk laporan kemajuan yang dibuat oleh supervisor pun bisa saja dibuat sebisa mungkin baik, karena supervisor agak meringankan beban si mahasiswa itu agar beasiswa cair.

Hubungan dengan supervisor terkadang sangat menentukan si mahasiswa cepat atau lambat lulusnya. Teringat rekan saya yang walaupun sudah beres semua syarat-syarat tetapi diperlambat dalam proses pengecekan naskah oleh dosen kampus lain (external review). Tapi ternyata masalah beres. Bagaimana caranya? Ternyata sederhana, pimpinan di kampusnya (dekan) beserta rombongan datang main ke universitas tempat siswa tersebut kuliah, bincang-bincang sebentar tentang apa kendala yang membuat mahasiswa tersebut tidak lulus-lulus. Setelah rombongan dekannya pulang, tidak lama kemudian lulus. Itulah salah satu bantuan terhadap aspek 80% terhadap si mahasiswa itu. Tentu saja hanya itu yang bisa dibantu, masalah aspek teknis yg 20% tentu saja karyasiswa harus mikir sendiri mengingat biasanya research question untuk level S3 jarang yang sudah ada jawabannya. Contoh lainnya adalah salah satu kampus IT terkenal di Jakarta, ketua jurusannya selalu berkomunikasi dengan tempat kuliah dosennya di kampus negeri di Jakarta juga. Bahkan di Facebook sering terlihat dia mengikuti sidang-sidang si mahasiswa tersebut (sidang proposal, sidang terbuka, dan acara-acara lainnya). Mungkin cara tersebut, dengan menjaga komunikasi ke dosen pembimbing (atau ke departemen) rekannya yang sedang kuliah, bisa di terapkan untuk dosen yang kuliah di kampus dalam negeri. Mengingat tingkat kegagalannya (lama lulusnya bahkan drop out) yang mengambil S3 di dalam negeri cukup tinggi. Tentu saja untuk yang luar negeri agak sulit karena jarak dan biaya. Untuk yang di dalam negeri toh tidak ada salahnya dicoba.

Support dan Penghargaan

Tidak ada salahnya karyasiswa diberi penghargaan walau belum selesai. Banyak caranya, misalnya tetap memberikan gaji ke dosen tersebut, bisa tetap menerima tunjangan serdos (khusus yang biaya sendiri), atau sekedar menjadi pembicara di institusinya. Ini mirip dengan cara sebelumnya, jika yang sebelumnya melibatkan aspek fisik, support dan penghargaan melibatkan aspek mental dan spritual. Si mahasiswa merasa diperhatikan sehingga berusaha sekuat tenaga menjawab tantangan-tantangannya.

Support dan penghargaan pun saya terima, misalnya ketika acara wisuda di luar dugaan ternyata dubes dan atase kebudayaan ikut hadir. Suatu hal sederhana tetapi merupakan wujud penghargaan yang tak bisa dihargai dengan apapun. Pantas saja ada seseorang yang memperhatikan saya yang duduk di depan (wisudawan doktoral selalu di depan), ternyata dia p dubes yang baru (sampai tidak kenal karena lamanya waktu kuliah hingga dubes dan bahkan raja pun sudah ganti yang baru).

Ketika pertemuan asosiasi APTIKOM, seorang rektor dari kampus besar di semarang mengatakan bahwa jika ada dosennya yang lulus doktor dalam negeri, maka akan diberikan umroh gratis. Jika dari luar negeri akan diberi satu unit kendaraan (xenia/avanza). Di kampus saya lebih keren lagi, ketika lulus kuliah (luar atau dalam) ternyata diberi uang tunai yang besarnya bisa melebihi xenia/avanza … (pesangon). Sekian semoga bermanfaat, atau minimal bisa menghibur di waktu libur.

Ternyata mereka datang ..

Iklan