Dalam melaksanakan suatu pekerjaan ada satu target yang harus dicapai. Terkadang target tersebut tidak memiliki tahapan yang jelas. Tidak ada salahnya mencari tahapan-tahapan sendiri yang dalam versi Inggrisnya dikenal dengan “milestone“. Jika kita pergi naik mobil ke Bandung via toll maka akan tampak suatu rambu yang menjelaskan berapa kilometer kita sudah melangkah, nah istilah milestone diambil dari situ.
Pangkat
Misal seorang dosen dalam karirnya ada jenjang yang menunjukan peningkatan kinerjanya, diistilahkan dengan kepangkatan. Dari tenaga pengajar, seorang dosen terus meningkatkan kinerjanya, lanjut ke asisten ahli, hingga berakhir ke profesor/guru besar. Beberapa kampus kurang memperhatikan kepangkatan dosen-dosennya, tetapi ada kampus yang sudah mulai melayani peningkatan kualitas dosennya dengan mengurusi proses kenaikan pangkat, bahkan dari pemberkasan. Dosen tinggal menjalankan fungsinya saja dan ketika saatnya naik pangkat, bagian yang mengurus kepangkatan langsung bekerja mencatat, mendokumentasi, hingga mengajukan ke LLDIKTI.
Bagaimana dengan yang sedang studi lanjut? Untuk yang satu ini tiap kampus memiliki karakter masing-masing. Beasiswa DIKTI sendiri membedakan program doktoral dengan kuliah dulu dan program yang langsung riset. Biasanya ada selisih satu tahun (dengan kuliah dulu lebih lama setahun). Repotnya, kenyataannya tidak selisih setahun tetapi dua tahun, tiga tahun, atau abadi .. hehe. Tahapan-tahapan tersebut terkadang tidak sama jangka waktunya. Misalnya untuk tahapan-tahapan di tempat saya kuliah, atau yang menganut perkuliahan awal sebelum riset: course work, candidacy, progress meeting, journal acceptance, dissertation writing, external examination, final defence. Course work terkadang bisa lebih dari setahun, maklum karena tuntutan IPK 3.5 ke atas maka jarang doktoral yang ambil satu semester lebih dari 3 mata kuliah, bahkan ada yang tiap semester 1 mata kuliah. Sempat saya kagum dengan mahasiswa dari Nepal yang menurut saya cerdas banget dalam program (ruby and rail), tetapi ternyata satu semester dia hanya ambil mata kuliah itu. Pantas saja jago, siang malam cuma utak-atik itu, sementara saya ambil empat mata kuliah dan kewalahan. Di antara tahapan-tahapn itu fokuslah ke yang “tidak jelas” waktu penyelesaiannya. Misalnya, journal acceptance yang tiap jurnal tidak jelas kapan selesainya, apalagi jika sering ditolak, repot juga. Menunggu naskah yang diterima hingga dua tahun terkadang jadi hal yang biasa bagi seorang mahasiswa doktoral. Itu pun terkadang tidak pasti karena supervisor/advisor bisa memiliki “hak veto” untuk menahan siswa-nya. Kalau begitu tidak ada jalan lain selain berdoa dan nikmati saja perjalanan itu.
Ketika ke Bandung, terkadang kita butuh mampir ke rest area untuk enjoy sejenak. Tapi tentu saja tidak berlama-lama di situ dan harus melanjutkan lagi perjalanan ke Bandung. Begitu pula, terkadang seorang dosen butuh hal-hal lain yang bermanfaat untuk enjoy sejenak. Tapi jangan lupa dengan tangga yang harus dilewati. Ristek-Dikti sepertinya melihat gejalan ini sehingga memaksa para lektor kepala dan guru besar untuk mempublikasikan karya ilmiahnya di tingkat internasional serta terindeks (Scopus, WoS, DOAJ, dll). Kadang tangga yang seharusnya kita lalui tidak memiliki keuntungan material dibanding kegiatan-kegiatan lain seperti menguji kopentensi siswa, uji sertifikasi, pembicara sana sini, dan lain-lain. Padahal tangga yang jika tidak dilalui sekarang, besok belum tentu lebih mudah dilalui, ditambah lagi usia yang memang tidak segesit sebelumnya. Ketika usia sudah melewati masa beasiswa barulah kelimpungan melanjutkan studi ke jenjang wajib bagi dosen, yaitu S3. Tapi untungnya tidak ada kata terlambat, banyak rekan-rekan saya yang memiliki semangat untuk studi lanjut di usia kepala lima, yang jujur saja level ilmunya sebenarnya sudah di level doktor, andai saja dia mengikuti tangga yang seharusnya dilalui ketika usia muda dahulu.
Jabatan
Mirip dengan militer, ada istilah pangkat dan jabatan. Repotnya tidak ada hormat-menghormat di per-dosen-an. Tidak hanya penghormatan oleh dosen lain, bahkan oleh stat tata usaha pun saat ini penghormatan sudah jarang. Bahkan karena berkuasa dalam hal tertentu, seperti yang memegang kunci dan mengatur ruang, seorang dosen terkadang “dikerjai” oleh mereka, tentu saja dengan cara yang halus. Akhirnya banyak yang lebih suka mengincar jabatan karena memiliki kekuasaan yang sepertinya menggoda dan kadang bisa membuat mabuk. Sudah bisa ditebak, ketika menjabat biasanya melupakan tangga yang harus dilalui dan sibuk dengan mainan kekuasaan yang ada di hadapannya.
Pemimpin Akademis
Ada hal-hal yang unik dari dunia akademis, yang berhubungan dengan kepemimpinan. Ada yang beranggapan pemimpin institusi akademik haruslah seseorang yang baik dari sisi tri-darma, terutama sisi riset. Tapi ada pula yang beranggapan bahwa karena pemimpin akademik bermain dari sisi administratif maka tidak perlu seorang calon pemimpin akademis memiliki performa di sisi riset.
Beberapa kampus besar di Indonesia, mungkin di luar negeri, memiliki pemimpin-pemimpin akademis dengan performa akademis yang baik. Pemimpin memang harus memahami apa yang dia pimpin dan akan mengalami kesulitan jika orang yang non-akademis dipaksa menjadi pemimpin akademis. Banyak hal-hal rumit yang khas yang dimiliki oleh institusi akademis.
Seperti dikutip dari artikel ini, ketika memimpin akademis, waktu seorang dosen akan terpecah dan riset-nya pun berkurang mengingat harus melaksanakan kegiatan administratif yang kadang membosankan. Pengalaman saya ketika menjabat, memang terjadi hal-hal yang demikian. Akan merepotkan mengerjakan riset ketika diminta melaksanakan hal-hal administratif. Biasanya kampus yang baik akan menyediakan staf non akademik yang akan membantu pejabat akademik menjalankan kegiatan administratif, tidak seperti yang saya alami, yaitu pejabat sekaligus juga menjalankan fungsi administratif yang membosankan, tidak ada staf, ditambah lagi tim dari tenaga pendukung yang malah tidak mendukung, malah disuruh “memohon” ketika membutuhkan suatu fasilitas.