Quiz Dasar-Dasar Pemrograman Berorientasi Objek

Perhatikan gambar di bawah ini sebagai latihan mengetahui istilah-istilah dasar pemrograman berorientasi objek.

Diagram di atas dikenal dengan nama ….(1)…. diagram. Hubungan Person dengan Mahasiswa dikenal dengan istilah ….(2)…. . Sementara itu relasi Mahasiswa dengan Utama dikenal dengan istilah ….(3)…. Atribut dari kelas Person adalah ….(4)…. dan ….(5)…. Simbol “-” dikenal dengan istilah ….(6)…. Sementara “+” dikenal dengan istilah ….(7)…. Sebutkan atribut-atribut lengkap kelas Mahasiswa: ….(8)…. Sebutkan operasi-operasi yang bisa dijalankan oleh kelas Mahasiswa: ….(9)…. Utama tidak bisa digunakan untuk membentuk obyek dari kelasnya, dikenal dengan tipe kelas ….(10)…. Kelas Utama tidak bisa merubah nama, usia, dan jurusan dari sebuah obyek Mahasiswa tanpa melewati operasi setJurusan(), setNama(), dan setUsia(), dikenal dengan konsep ….(11)… n. Sebuah obyek Mahasiswa dapat dibentuk dengan bantuan operasi otomatis yang dikenal dengan nama ….(12)…r. Obyek tersebut hanya sementara di random access memory (RAM), dikenal dengan istilah i…(13)…. Maka perlu disimpan dalam sistem basis data, misalnya DB4O atau database relational lainnya, istilah penyimpanan permanen ini dalam PBO dikenal dengan nama p…(14)…n.

Jawaban: (1) class, (2) inheritance/pewarisan atau bisa juga generalisasi, (3) association/asosiasi, (4) nama, (5) usia, (6) private (7) public, (8) nama, usia, dan jurusan, (9) getNama(), setNama(), getUsia(), setUsia(), getJurusan(), setJurusan(), greetings(), bio(), insertData(), (10) abstract/abstrak, (11) encapsulation, (12) constructor, (13) instance/instan, (14) persistence.

Untuk lebih lengkapnya silahkan kunjungi situs-situs yang berisi tes-tes dasar pemrograman berorientasi objek berikut ini. Banyak kontroversi-kontroversi yang muncul di sisi praktisi, misalnya insertData() yang terpisah dari kelas Mahasiswa pada conoh di atas. Ada yang berpendapat terpisah (karena business logic) tetapi teori dasarnya object-oriented tidak memisahkan program dan data (prinsip impedansi/impedance).

Iklan

Menganalisa Akun Twitter – Mendapatkan Keys & Token Twitter API

Twitter menyediakan API untuk mengunduh tweets seseorang. Walaupun yang tepat istilahnya “wrapper” bukan Application Programming Interface (API). Langkah pertama, tentu saja harus punya akun Twitter dulu. Berikut langkah-langkah yang perlu dilakukan.

Mendaftar Sebagai Developer

Pertama-tama masuk ke situs https://developer.twitter.com/ setelah login Twitter di browser, misalnya Mozilla. Atau langsung saja ke sini untuk membuat application baru: https://developer.twitter.com/en/apps. Tekan Create Account untuk membuat app baru.

Tiap saat sepertinya peraturan berubah-ubah. Ketika tulisan ini dibuat harus meng-apply akun sebagai developer.

Kemudian muncul pesan untuk verifikasi via nomor handphone. Tekan Add a valid phone number.

Setelah memasukan nomor ponsel yang sesuai, tunggu sms dari twitter untuk memasukan nomor verifikasi. Setelah meinginput nomor tersebut, maka phone number kita sudah terverifikasi. Tekan Continue. Berikutnya pilih perorangan atau organisasi app yang akan digunakan. Ada pertanyaan yang agak sulit mengenai mengapa membutuhkan API? Serta untuk apa dan metode apa yang digunakan nanti. Nah di sini kita diminta menjawab dengan gaya “mengarang bebas” karena diminta menulis jawaban lebih dari 300 kata. Akhiri dengan menekan Accept setelah membaca (kalau sempat) Term of Service.

Jangan lupa menceklis kotak di bagian bawan TOS. Selanjutnya diminta membuka email dari akun kita. Jika sudah ada pesan masuk dari Twitter, tekan konfirmasi.

Selesai sudah mendaftar sebagai developer yang menggunakan fasilitas Twitter. Pastikan akan masuk ke jendela developer https://developer.twitter.com/en/account/get-started.

Mendapatkan Twitter API Key

Setelah terdaftar sebagai developer berikutnya adalah membuat app. Di bagian dashboard tekan Apps dan jika tidak ada akan muncul tombol Create an App. Cukup banyak yang harus diisi, tetapi ikuti saja sampai selesai, terutama yang required harus diisi. Jika sudah maka terakhir konfirmasi kembali. Di sini beberapa kali ditolak karena nama aplikasi sudah ada yang punya, akhirnya setelah diganti, misalnya “kepo_movie”, baru lah bisa, hehe.

Keys and tokens inilah yang akan digunakan untuk aplikasi meneliti tweets dari sebuah akun twitter. Langkah selanjutnya adalah memilih aplikasi untuk analisa tweeter, misalnya Tweepy yang terkenal bagi programmer Python. Selamat mencoba, semoga peraturan Twitter masih seperti ketika tulisan ini dibuat.

Stopword Berbahasa Indonesia – via Sastrawi

Jika Natural Language Toolkit (NLTK) sudah diinstal, di dalamnya terdapat pula corpus yang berisi sampel data maupun kamus khusus, salah satunya adalah stopwords. Jalankan kode berikut ini dengan Python. Buka IDLE dan masukan instuksi berikut, simpan dan RUN.

import nltk
from nltk.corpus import stopwords
from nltk.tokenize import word_tokenize
stop_words=set(stopwords.words(“english”))
print(stop_words)

Seperti biasa kode program mengimpor NLTK. Selain itu pada corpus diimpor juga stopwords. Berikutnya mengimpor word_tokenize dari tokenize pada NLTK. Kode terakhir adalah menampilkan stop words dalam bahasa Inggris. Sayangnya ketika mengganti “english” dengan “indonesia”, tidak ditemukan stop words dalam bahasa Indonesia. Kalau begitu kita coba dengan bahasa Inggris. Berikut hasil runningnya:

Kata-kata tersebut adalah stopword, yaitu kata yang tidak menjadi fokus search engine karena terlalu sering muncul seperti saya, kamu, dia, tatkala, dan lain-lain. Hanya saja dari corpus (berkas) NLTK untuk bahasa Inggris saja hasil donlot via nltk.download() (lihat post terdahulu).

Sastrawi Sebagai Corpus Berbahasa Indonesia

Corpus sastrawi dapat dilihat pada link resminya berikut ini. Jalankan pip install Sastrawi pada command prompt. Tunggu beberapa saat karena mengunduh file-file pendukung yang cukup besar.

Untuk mengujinya, jalankan kode berikut ini via IDLE python.

from Sastrawi.StopWordRemover.StopWordRemoverFactory import StopWordRemoverFactory
stop_factory = StopWordRemoverFactory()
more_stopword = [‘dengan’, ‘ia’,’bahwa’,’oleh’]
data = stop_factory.get_stop_words()+more_stopword
stopword = stop_factory.create_stop_word_remover()
print(data)

Perhatikan “more_stopword” bisa digunakan untuk menambah stopword baru jika dirasa Sastrawi kurang stopword-nya dan perlu ditambah misalnya “dengan”, “ia”, “bahwa”, “oleh”, atau lainnya.

Perhatikan dalam bahasa Indonesia, stopword selain kata ganti adalah penunjuk, sapaan, dan sebagainya. Sekian, semoga bermanfaat.

Install Natural Language Toolkit (NLTK) Python

Salah satu keunggulan Python adalah menyediakan toolkit gratis. Salah satunya adalah Natural Language Toolkit yang disingkat NLTK. Selain di versi Linux, NLTK juga disertakan di versi Windows yang ketika tulisan ini dibuat ada pesan untuk menggunakan Python versi 32 bit, terpaksa install ulang karena pada postingan yang lalu menggunakan versi 64 bit. Salah satu yang tidak saya suka dari Python adalah simbolnya ular, menyeramkan, he he.

Instal Python 32 Bit

Jika menggunakan sistem operasi Windows silahkan kunjungi situs resmi ini, pilih “Download Windows x86 executable installer” yang berupa installer agar lebih enak. Setelah diunduh (sekitar 20-an Mb) jalankan hingga proses instalasi selesai, cukup mudah.

Instal NLTK

Jika Python sudah terinstal masuk ke command prompt. Searching saja di Windows 10 ketik cmd dan pilih jendela hitam command prompt. Ketik pip install nltk pada command prompt. Oiya, sebelumnya untuk menguji apakah Python sudah terinstal atau belum ketik: python –version. Pastikan muncul versi Python anda di bawahnya.

Tunggu beberapa saat hingga muncul pesan “Successfully installed nltk-3.4.1 six-1.12.0. Tetapi ada pesan lain pip versi 18.1 sebaiknya diupgrade menjadi versi 19.0.3.

Upagrade PIP NLTK

Untuk mengupgrade PIP ternyata mudah, ketik instruksi: python –m pip install – upgrade pip.

Tunggu beberapa saat hingga muncul pesan “Successfully installed pip-19.0.3. Apakah sudah selesai? Ternyata belum.

Download Paket Lengkap

Tentu saja harus mendownload paket lengkapnya. Untungnya bisa dengan lewat command prompt di atas. Ketik: python untuk masuk ke lembar kerja Python yang dicirikan simbool >>>. Selanjutnya ketik: import nltk. Fungsinya adalah mengimport NLTK yang sudah diinstal, untuk digunakan. Dengan memanggil jika akan digunakan saja bisa menghemat RAM dan tidak memberatkan komputer dibanding ketika Python dijalankan, semua fasilitas hidup. Lanjutkan dengan mengetik: nltk.download(). Perhatikan, jendela NLTK Downloader langsung muncul.

Jika ingin mengunduh lengkap silahkan tekan all packages yang besarnya hampir 2 Gb, jadi kalau miskin pulsa, sebaiknya cari Wifi cepat dan gratis, hehe. Progres mengunduh dapat dilihat di pojok kanan bawah jendela NLTK Downloader.

Hmm .. lama juga. Sabar ya, tunggu hingga selesai, jangan menduga-duga kalau komputernya “ngerjain” apalagi curang. Silahkan baca tatacara-nya di link resmi NLTK ini. Terkadang saat menginstall satu komponen hang atau gagal. Lebih baik instal ulang manual saja dengan mengklik ganda item tersebut, misalnya “twitter samples”. Selamat menginstal.

Menguji Hasil Instalasi NLTK

Saatnya menguji dengan salah satu fasilitas yaitu word_tokenize. Fungsi ini berguna untuk memecah satu kalimat menjadi beberapa token. Token di sini mirip dengan kata. Ketik: from nltk.tokenize import word_tokenize yang bermaksud memanggil fungsi tersebut dari NLTK. Buat satu contoh kalimat yang akan ditoken, cek apakah berhasil atau tidak. Jika berhasil berarti NLTK siap digunakan. Selamat menginstal.

 

 

Natural Science vs Artificial/Design Science

Berbeda dengan jurnal yang memang sudah teratur terbitnya, seminar membutuhkan usaha ekstra terutama menyangkut deadline yang harus ditepati karena berkaitan dengan pembicara, lokasi seminar, dan hal-hal lainnya. Salah satu deadline utama adalah jadwal review yang biasanya agar lebih cepat beberapa pe-review berkumpul menyelesaikan sisa-sisa artikel yang harus direview. Masalah muncul dalam review karena seminar agak sedikit longgar dalam tema risetnya, berbeda dengan jurnal yang sudah spesifik. Postingan ini sedikit berbicara masalah perbedaan bidang ilmu yang kerap bersitegang antara satu bidang dengan bidang lainnya.

Komunitas Ilmu

Terlepas dari jenis bidang ilmu, ada komunitas ilmu yang terbentuk baik secara sengaja maupun terbentuk sendiri. Komunitas ini memiliki kode etik, konsep, dan hal-hal spesifik mengenai ilmu yang dikajinya. Komunitas ilmu lain mungkin memiliki pandangan yang berbeda, tetapi tidak bisa memaksakan suatu pandangan ke komunitas lainnya. Hanya sedikit masalah muncul karena antara satu bidang ilmu memiliki singgungan-singgungan dengan bidang lainnya. Gambar di bawah adalah kuadran ilmu yang ada saat ini. Tidak ada bidang ilmu yang 100% murni analitis, sintetis, simbolis atau real.

knowledge domain

Natural Science

Ini merupakan bidang yang sudah dikenalkan sejak kita SD dengan “metode ilmiah”-nya. Diawali dengan problem dilanjutkan dengan hipotesa yang kemudian diuji dengan eksperimen untuk menghasilkan kesimpulan yang berupa ilmu baru. Aktivitas tersebut dikenal dengan istilah riset yang kadang diartikan sebagai aktivitas dalam mengamati sebuah fenomena yang menjadi pusat perhatian. Ketika studi lanjut, pengelolaan jurnal diambil alih rekan saya yang alumni ilmu komputer IPB dan ternyata ketika saya amati format gaya selingkung (istilah karakter tulisan sebuah jurnal) mirip IPB yang natural science, misalnya ada bab tentang “material dan bahan” yang membingungkan para peneliti ilmu komputer apa yang harus diisi di bab tersebut. Jika dilihat dari kuadran di atas, bidang ini agak ke kiri ke arah analitis.

Artificial Science/Design Science

Semua orang mengenal Facebook, Twitter, dan sejenisnya untuk bidang komputer. Apakah ini termasuk ilmu? Jika dibilang natural science tentu saja bukan. Begitu pula untuk disain produk, metode produksi, dan kawan-kawan. Sebenarnya jika dirunut sama dengan natural science yang memang sudah ada di alam dan tinggal diamati untuk kebaikan manusia hasil pengamatannya, pada artificial science yang di amati tidak muncul sendiri di alam melainkan buatan manusia. Keberadaannya sama untuk kebaikan manusia, baik untuk kesehatan, keuntungan, dan lain-lain, walaupun terkadang bisa membahayakan umat manusia itu sendiri. Pada kuadran ilmu di atas letaknya sintetis dan real.

Ketika me-review terkadang dihadapkan dengan kondisi seperti itu. Ketika mendapati sebuah artikel yang membahas perancangan alat atau sebuah sistem terkadang karena tidak bisa menunjukan kebaruan/novelty akan di-reject oleh penganut natural science murni. Alkisah dalam suatu ruangan review intensif yang diistilahkan “sapu jagat” hehe, profesor dari rombongan yang direject terlihat kecewa melihat anak buahnya yang merancang alat tersebut direject dan mencari tahu siapa yang mereject dan ketika tahu namanya, dia sadar kalau dia juga banyak me-reject riset dari rombongan yg mereject tersebut karena dianggap riset sistem informasi yang berulang tanpa ada temuan baru. Ya begitulah, riset satu komunitas ilmu jika direview oleh komunitas ilmu lainnya pasti ada konflik yang berakhir saling me-reject. Ada karakter khas dari design science misalnya tidak adanya hipotesa di awal. Hipotesa sendiri terjawab sepanjang perjalanan tahapan perancangan dan tidak dimunculkan secara eksplisit. Novelty pun akan diketahui oleh reviewer yang banyak mereview artikel perancangan/disain tanpa si penulis menyodorkan bukti ke-novelty-annya. Untuk jurnal tidak ada masalah karena yang mereview adalah komunitasnya, berbeda dengan seminar yang kadang “gado-gado” bidang ilmunya. Beberapa jurnal internasional bereputasi, misalnya “mechatronics” reviewer harus disodorkan video alat tersebut ketika beroperasi, tidak hanya dengan tulisan saja, atau harus mengirim data beserta alat pengujinya. Begitulah dunia riset. Silahkan baca link ini untuk Design Science bidang sistem informasi.

Oleh-oleh dari Seminar Internasional di Jogja

Kebetulan saya ikut menghadiri seminar internasional Asian Intelligent Information and Database Systems (ACIIDS) 2019. Seminar yang disponsori oleh salah satu penerbit terkenal ini (Springer) sudah yang kesebelas. Sebagus-bagusnya seminar internasional ternyata tetap kalah dengan jurnal internasional dari sisi isi. Tapi dari sisi ide sepertinya tidak kalah, mungkin karena aslinya prosiding itu adalah pengantar riset seorang peneliti yang biasanya bermuara ke jurnal internasional. Dan yang terpenting sebenarnya dari seminar internasional adalah pertemuan dan bertukar fikiran dengan para profesor dari seluruh dunia disamping tentu saja acara jalan-jalannya (tour).

Tema Riset Teknologi Informasi

Kebetulan saya saat ini mengampu mata kuliah Riset Teknologi Informasi, jadi bisa menambah referensi riset-riset yang berkaitan dengan teknologi informasi di dunia saat ini. Computer vision, machine learning, dan sejenisnya masih merupakan riset yang banyak dilakukan saat ini. Ada juga yang melakukan tes dan uji coba menangani data warehouse dengan konsep cubic-nya berupa tabel fakta (fact table) dan dimension.

Begitu masuk ke riset tentang mesin turing (turing machine), di situlah mulai “pusing pala barbie”. Maklum, itu materi yang paling saya benci, walaupun ketika masuk ke teknik kompilasi sebenarnya bidang ini sangat menarik karena kita diajarkan membuat bahasa pemrograman custom sendiri.

Doctoral Proposal

Ada juga sesi yang dihadiri oleh mahasiswa doktoral yang menyajikan proposal risetnya. Di sini mereka akan ditanya oleh profesor-profesor yang mengikuti seminar. Banyak masukan yang diperoleh yang membuat risetnya berskala internasional. Berbeda dengan mahasiswa doktoral yang proposal risetnya hanya dihadiri oleh dosen-dosen lokal, walaupun dosen-dosen tersebut alumni kampus luar negeri. Mungkin ini sedikit komentar yang diberikan oleh profesor-profesor luar yang mengikuti acara khusus mahasiswa doktoral ini yang jika diikuti sarannya bisa meningkatkan kualitas penelitiannya.

Kurang Berskala Internasional

Biasanya jika tema yang diangkat terlalu lokal, misalnya ada yang bertema deteksi rekaman otak yang dikonversikan ke bahasa. Di sini dikritik karena bahasa yang digunakan bahasa Indonesia. Walaupun respondenya orang Indonesia ada baiknya mencoba orang Indonesia yang bisa berbahasa internasional, misalnya bahasa Inggris.

Obyektivitas dalam Tes Performa

Beberapa riset membutuhkan pengujian. Kebanyakan riset yang diusulkan agak sulit mengujinya secara obyektif, biasanya yang bertema-tema “agak sosial” seperti bidang e-learning. Memang bidang ini agak sulit mengecek benar salah dari sistem yang diusulkan, misalnya sistem rekomendasi tertentu di e-learning, apa dasar benar atau salahnya suatu rekomendasi.

Tentang Metode

Metode merupakan topik utama teknologi informasi. Topik ini selalu bermunculan di jurnal-jurnal internasional, jadi saran seorang profesor, mutlak harus membaca studi literatur terkini sebanyak mungkin. Juga hati-hati dengan pengujian performa metode yang diusulkan. Oiya, ada satu proposal yang dikritik karena hanya membandingkan metode-metode yang ada dan repotnya metode yang dikuasai oleh si profesor yang mereview tidak dicantumkan, misalnya Support Vector Machine (SVM).

Format Presentasi Kurang Dipahami

Memang beda presentasi di hadapan dosen-dosen pembimbing dan promotor dengan di hadapan khalayak ramai. Misalnya seorang peserta menyampaikan tema “long term memory ..” tetapi di slide yang dipresentasikan tidak mencantumkan penjelasan mengenai “long term memory” sehingga pendengar agak kesulitan mengikuti alur penjelasan slide kemudian.

Research Question, Hipotesa, dan sejenisnya, wajib kah?

Ini yang saat ini agak berbeda dengan riset-riset dahulu. Sepertinya saat ini pertanyaan penelitian tidak vulgar seperti riset-riset di era 90-an yang mengharuskan hal tersebut dinyatakan secara eksplisit. Begitu juga kesimpulan yang harus menjawab pertanyaan penelitian sepertinya agak berubah saat ini. Kesimpulan sendiri dari buku-buku tentang artikel ilmiah mengatakan bahwa kesimpulan merupakan “pemberi kesan” dari suatu artikel. Jika suatu artikel bisa memberi kesan yang membekas bagi pembacanya, bahkan menyampaikan ke orang lain tentang yang ia baca, maka artikel tersebut dapat dikatakan berhasil. Dan bukan hanya formalitas menjawab pertanyaan riset belaka. Begitu pula dengan hipotesa yang biasanya diajarkan dalam riset-riset yang berbau statistik. Oiya, ada bedanya lho riset yang berupa natural science dengan design science. Inilah yang bikin “ribut” antara satu dosen bidang tertentu (misalnya dosen-dosen pertanian, biologi, dan sejenisnya) dengan dosen bidang lainnya (arsitek, sastra, perancang, dan lain-lain). Sepertinya perlu postingan khusus tentang hal ini, sekian semoga bermanfaat.

Milestone Dosen

Dalam melaksanakan suatu pekerjaan ada satu target yang harus dicapai. Terkadang target tersebut tidak memiliki tahapan yang jelas. Tidak ada salahnya mencari tahapan-tahapan sendiri yang dalam versi Inggrisnya dikenal dengan “milestone“. Jika kita pergi naik mobil ke Bandung via toll maka akan tampak suatu rambu yang menjelaskan berapa kilometer kita sudah melangkah, nah istilah milestone diambil dari situ.

Pangkat

Misal seorang dosen dalam karirnya ada jenjang yang menunjukan peningkatan kinerjanya, diistilahkan dengan kepangkatan. Dari tenaga pengajar, seorang dosen terus meningkatkan kinerjanya, lanjut ke asisten ahli, hingga berakhir ke profesor/guru besar. Beberapa kampus kurang memperhatikan kepangkatan dosen-dosennya, tetapi ada kampus yang sudah mulai melayani peningkatan kualitas dosennya dengan mengurusi proses kenaikan pangkat, bahkan dari pemberkasan. Dosen tinggal menjalankan fungsinya saja dan ketika saatnya naik pangkat, bagian yang mengurus kepangkatan langsung bekerja mencatat, mendokumentasi, hingga mengajukan ke LLDIKTI.

Bagaimana dengan yang sedang studi lanjut? Untuk yang satu ini tiap kampus memiliki karakter masing-masing. Beasiswa DIKTI sendiri membedakan program doktoral dengan kuliah dulu dan program yang langsung riset. Biasanya ada selisih satu tahun (dengan kuliah dulu lebih lama setahun). Repotnya, kenyataannya tidak selisih setahun tetapi dua tahun, tiga tahun, atau abadi .. hehe. Tahapan-tahapan tersebut terkadang tidak sama jangka waktunya. Misalnya untuk tahapan-tahapan di tempat saya kuliah, atau yang menganut perkuliahan awal sebelum riset: course work, candidacy, progress meeting, journal acceptance, dissertation writing, external examination, final defence. Course work terkadang bisa lebih dari setahun, maklum karena tuntutan IPK 3.5 ke atas maka jarang doktoral yang ambil satu semester lebih dari 3 mata kuliah, bahkan ada yang tiap semester 1 mata kuliah. Sempat saya kagum dengan mahasiswa dari Nepal yang menurut saya cerdas banget dalam program (ruby and rail), tetapi ternyata satu semester dia hanya ambil mata kuliah itu. Pantas saja jago, siang malam cuma utak-atik itu, sementara saya ambil empat mata kuliah dan kewalahan. Di antara tahapan-tahapn itu fokuslah ke yang “tidak jelas” waktu penyelesaiannya. Misalnya, journal acceptance yang tiap jurnal tidak jelas kapan selesainya, apalagi jika sering ditolak, repot juga. Menunggu naskah yang diterima hingga dua tahun terkadang jadi hal yang biasa bagi seorang mahasiswa doktoral. Itu pun terkadang tidak pasti karena supervisor/advisor bisa memiliki “hak veto” untuk menahan siswa-nya. Kalau begitu tidak ada jalan lain selain berdoa dan nikmati saja perjalanan itu.

Ketika ke Bandung, terkadang kita butuh mampir ke rest area untuk enjoy sejenak. Tapi tentu saja tidak berlama-lama di situ dan harus melanjutkan lagi perjalanan ke Bandung. Begitu pula, terkadang seorang dosen butuh hal-hal lain yang bermanfaat untuk enjoy sejenak. Tapi jangan lupa dengan tangga yang harus dilewati. Ristek-Dikti sepertinya melihat gejalan ini sehingga memaksa para lektor kepala dan guru besar untuk mempublikasikan karya ilmiahnya di tingkat internasional serta terindeks (Scopus, WoS, DOAJ, dll). Kadang tangga yang seharusnya kita lalui tidak memiliki keuntungan material dibanding kegiatan-kegiatan lain seperti menguji kopentensi siswa, uji sertifikasi, pembicara sana sini, dan lain-lain. Padahal tangga yang jika tidak dilalui sekarang, besok belum tentu lebih mudah dilalui, ditambah lagi usia yang memang tidak segesit sebelumnya. Ketika usia sudah melewati masa beasiswa barulah kelimpungan melanjutkan studi ke jenjang wajib bagi dosen, yaitu S3. Tapi untungnya tidak ada kata terlambat, banyak rekan-rekan saya yang memiliki semangat untuk studi lanjut di usia kepala lima, yang jujur saja level ilmunya sebenarnya sudah di level doktor, andai saja dia mengikuti tangga yang seharusnya dilalui ketika usia muda dahulu.

Jabatan

Mirip dengan militer, ada istilah pangkat dan jabatan. Repotnya tidak ada hormat-menghormat di per-dosen-an. Tidak hanya penghormatan oleh dosen lain, bahkan oleh stat tata usaha pun saat ini penghormatan sudah jarang. Bahkan karena berkuasa dalam hal tertentu, seperti yang memegang kunci dan mengatur ruang, seorang dosen terkadang “dikerjai” oleh mereka, tentu saja dengan cara yang halus. Akhirnya banyak yang lebih suka mengincar jabatan karena memiliki kekuasaan yang sepertinya menggoda dan kadang bisa membuat mabuk. Sudah bisa ditebak, ketika menjabat biasanya melupakan tangga yang harus dilalui dan sibuk dengan mainan kekuasaan yang ada di hadapannya.

Pemimpin Akademis

Ada hal-hal yang unik dari dunia akademis, yang berhubungan dengan kepemimpinan. Ada yang beranggapan pemimpin institusi akademik haruslah seseorang yang baik dari sisi tri-darma, terutama sisi riset. Tapi ada pula yang beranggapan bahwa karena pemimpin akademik bermain dari sisi administratif maka tidak perlu seorang calon pemimpin akademis memiliki performa di sisi riset.

Beberapa kampus besar di Indonesia, mungkin di luar negeri, memiliki pemimpin-pemimpin akademis dengan performa akademis yang baik. Pemimpin memang harus memahami apa yang dia pimpin dan akan mengalami kesulitan jika orang yang non-akademis dipaksa menjadi pemimpin akademis. Banyak hal-hal rumit yang khas yang dimiliki oleh institusi akademis.

Seperti dikutip dari artikel ini, ketika memimpin akademis, waktu seorang dosen akan terpecah dan riset-nya pun berkurang mengingat harus melaksanakan kegiatan administratif yang kadang membosankan. Pengalaman saya ketika menjabat, memang terjadi hal-hal yang demikian. Akan merepotkan mengerjakan riset ketika diminta melaksanakan hal-hal administratif. Biasanya kampus yang baik akan menyediakan staf non akademik yang akan membantu pejabat akademik menjalankan kegiatan administratif, tidak seperti yang saya alami, yaitu pejabat sekaligus juga menjalankan fungsi administratif yang membosankan, tidak ada staf, ditambah lagi tim dari tenaga pendukung yang malah tidak mendukung, malah disuruh “memohon” ketika membutuhkan suatu fasilitas.