Deep Learning dalam Kehidupan

Bagi mahasiswa IT, bahkan orang-orang non-IT pun, mengenal konsep Deep Learning (DL). Walau aslinya adalah Neural Networks (NN) dengan banyak layer yang terlibat, orang awam menganggap metode tersebut merupakan metode ampuh, terkini, dan menyerupai kecerdasan manusia. Postingan ini tidak membahas konsep DL yang kompleks, yang membuat akhir pekan tambah pusing, melainkan prinsip dasarnya, yaitu “mendalam”.

Multitasking vs Deep Thinking

Pesatnya informasi, khususnya dari media sosial membuat kita menerima gempuran informasi, yang dalam istilah Big Data, velocity dan variety. Akibatnya fikiran kita akan berusaha mengolah informasi yang diterima tersebut. Karena banyaknya maka sudah pasti tidak bisa mendalam terhadap satu bagian karena akan kehabisan waktu. Akibatnya fikiran terlatih untuk berfikir dangkal (shallow – mirip judul lagunya Lady Gaga). Fikiran dangkal yang beralih cepat ke fikiran lainnya dalam dunia meditasi merupakan sumber kegelisahan, dan dalam dunia modern dikenal dengan gelombang beta.

Ketika pekerja sibuk membaca WA, Fb, Youtube, dan sejenisnya, akibatnya tugas utama untuk menyelesaikan problem akan terganggu. Hal ini sering dialami oleh pelajar dan mahasiswa. Jangan bangga dulu kalau Anda dikenal orang yang multitasking, karena semua hal-hal mendasar, berbobot, dan penemuan-penemuan penting bukan berasal dari multitasking, melainkan Deep Thinking.

Kejelasan Arah

Sayangnya pendidikan kita sejak dulu tidak mengarahkan dari awal. Kalau seorang anak berbakat misalnya pilot, maka konsep pendidikan yang benar adalah dari seorang pilot ditarik mundur kompetensi-kompetensi apa saja yang perlu dipelajari dan harus disediakan oleh lembaga pendidikan. Termasuk juga dokter, teknisi, dan sejenisnya. Jika si anak hobi dan suka bisnis, tentu saja langsung diarahkan ke pendidikan bisnis dan ekonomi. Sehingga pelajar menjadi efisien dalam belajar serta lebih mendalam. Saat ini yang terjadi pelajar kita diminta mempelajari segala hal, yang akibatnya dangkal.

Konsep multidisiplin pun tetap memerlukan pemikiran mendalam. Hanya saja seorang peneliti harus memahami bidang lain yang berkolaborasi saja. Silahkan menjadi seorang generalis, tetapi jangan lupakan berfikir mendalam. Seorang Bill Gates yang sudah menjadi generalis pun menyempatkan menghabiskan 50 buku dalam setahun.

Membaca merupakan salah satu berfikir mendalam. Tentu saja bukan hanya membaca judul berita yang sering dijumpai dalam share berita di medsos yang terkadang yang men-share pun belum membaca seluruh tulisan tersebut.

Memulai Deep Thinking

Untuk berfikir mendalam perlu mengurangi multitasking di kepala kita. Sebagai bahan renungan, di jaman offline sebelum pandemi, ketika ada seminar, kita masuk ke ruangan, menyimak pemateri dan memperoleh insight dari seminar. Tetapi di jaman online, banyak webinar-webinar yang di awal-awal pandemi penuh antusias, tetapi lama kelamaan mulai kendor karena ketika webinar berlangsung, pendengar karena mengakses di rumah, di jalan, dan di manapun, tidak sanggup mengurangi jumlah multitasking di kepala. Akibatnya tidak sanggup berfikir mendalam, hanya ingin mendapat e-sertifikat, dan penyakit multitasking muncul yaitu gelisah, bosan, dan jenuh.

Untuk mengurangi jumlah fikiran yang ada di kepala banyak caranya. Salah satunya meditasi, sembahyang, merenung, dan sejenisnya, tergantung agama dan keyakinan masing-masing. Jika sulit menghadapi gangguan ponsel, ada baiknya dimatikan terlebih dahulu gadget kita, terutama yang mulai menulis skripsi/tesis/disertasi. Saya sempat mengalami kondisi dimana ketika di luar negeri mengerjakan naskah paper dalam 2 minggu, ketika di tanah air ternyata membutuhkan 2 bulan dengan kualitas yang tidak sebaik yang pertama. Hal ini terjadi karena ketika di tanah air banyak yang harus difikirkan, alias multitasking.

Prioritas

Tentu saja hal-hal yang kita jumpai tidak bisa dikerjakan secara mendalam seluruhnya. Oleh karena itu menentukan skala prioritas juga penting. Yuk mulai berfikir mendalam, dimulai dengan menghabiskan bacaan, dan jika Anda sudah sampai kalimat terakhir ini, Alhamdulillah, berarti sudah bisa sedikit berfikir mendalam.

Iklan