Buat tulisan santai dulua ah. Syarat publikasi jurnal internasional bagi mahasiswa doktoral adalah momok yang menakutkan. Syarat tersebut merupakan syarat yang “fuzzy” alias kabur. Bagaimana tidak, dengan jurnal berimpact di atas satu, dan juga harus disetujui oleh kampus (bukan jurnal abal-abal), mahasiswa harus dipaksa menemukan satu research gap agar diterima di jurnal yang dituju. Yang paling menjengkelkan adalah proses dari submit dan accepted yang tidak jelas, dari dua bulan hingga dua tahun (ini beneran lho). Padahal argo (biaya registrasi kuliah, uang makan, kos, dan tetek bengek lainnya) jalan terus. Saya menyaksikan sendiri rekan saya yang dua tahun hanya menunggu publikasi jurnal internasional, sungguh betapa meraih gelar Ph.D itu sangat sulit dan “menyakitkan”. Ups.. sorry, seharusnya tulisan blog menyemangati, bukan menakut-nakuti. Tapi tidak ada salahnya kan mengetahui pahitnya dahulu karena menurut yang sudah lulus, manisnya mengambil Ph.D mengalahkan pahitnya, sukanya mengalahkan duka-nya.
Tip dan Trik
Mempublikasikan tulisan di jurnal internasional (atau jurnal nasional terakreditasi), seperti orang melamar kerja, diterima syukur, ga juga ga apa-apa, yang penting sudah mencoba. Trik untuk melamar kerja juga bisa diterapkan untuk melamar jurnal. Pengelola jurnal sangat membutuhkan tulisan yang meningkatkan kinerja suatu jurnal, yaitu impact factor. Apa itu? Yaitu jumlah sitasi terhadap suatu publikasi tulisan. Jika suatu tulisan berpotensi disitasi oleh banyak orang, maka biasanya editor merespon positif. Sebaliknya, jika tidak maka ada dua kemungkinan, lama revisinya (beronde-ronde) atau yang paling sering terjadi adalah ditolak (rejected). Sebelum berangkat studi lanjut saya pernah diterima naskah tulisannya, tetapi kebanyakan ditolak. Akan tetapi sakitnya tuh … berbeda dengan ketika studi lanjut, karena seperti telah saya sebutkan di awal, argo tetap jalan (waktu terbuang menunggu jawaban). O iya, berbeda dengan melamar kerja lho, tinggal nyebar surat lamaran ke beberapa perusahaan sekaligus, untuk jurnal kita tidak diperbolehkan menyebar satu tulisan ke beberapa jurnal sekaligus.
Biasanya dosen pembimbing menyarankan mensubmit tulisan ke jurnal berimpact tinggi terlebih dahulu baru kemudian jika ditolak dikirim kembali (resubmit) ke jurnal dengan impact factor di bawahnya. Tapi saran saya, sebaiknya ke yang rendah terlebih dahulu karena targetnya kan segera lulus. Kecuali kalo pengen lama lulusnya ya silahkan. Sialnya, dosen pembimbing akan menolak ke jurnal dengan impact factor yang rendah, maklum para dosen pembimbing memiliki target untuk menaikan ratingnya (h-index, lihat tulisan tentang h-index) sehingga ingin siswanya publish di jurnal yang ber-impact tinggi dan karena namanya juga tercantum sebagai co-author maka otomatis naik juga jumlah sitasi tulisannya. Saran saya sebaiknya tidak serta merta menerima usulan advisor, tetapi tidak nurut akibatnya lebih parah lagi, karena ribut dengan advisor merupakan salah satu penyebab mahasiswa ga kelar-kelar, bahkan bisa drop out. Lalu bagaimana?
Tidak ada cara yang lebih baik selain teknik kampanye-nya caleg, cagub, dan cabup, yaitu janji-janji yang bombastis (lho kok?). Ketika mengetahui advisor mengincar jurnal berimpact tinggi, tentu saja saya segera mencari yang tinggi, tetapi tidak tinggi-tinggi amat, misalnya dua. Lalu langsung diajukan? Tentu saja konyol kalau cara itu saya lakukan, maklum otak pas-pasan. Cari jurnal berimpact rendah lainnya, misalnya satu. Jika sudah punya tulisan yang siap submit, buat lagi yang kedua sebagai cadangan secepatnya (tidak perlu sempurna) dan setelah selesai langsung mengajukan keduanya ke advisor. Masukan tulisan utama ke jurnal ber-impact rendah dan cadangan ke impact tinggi. Dan segera, sebelum dia menolak, katakan bahwa dengan mengirim ke impact rendah maka kemungkinan akan cepat publish dan tulisan kedua segera bisa men-sitasi jurnal pertama yang sudah publish tersebut, dan perhatikan apakah wajahnya menunjukan setuju atau tidak (biasanya retina membesar jika setuju/senang). Pada umumnya, mendengar “di-sitasi”, setiap peneliti yang sering menulis jurnal akan bahagia. Syukurlah, cara itu berhasil. Saya menulis teknik ini dengan enak, tetapi pada praktiknya sulit sekali, bahasa inggris (speaking) harus benar dan sopan, ditambah lagi mencari waktu yang tepat. Saya sering “kabur”, tidak jadi bertemu ketika melihat wajah advisor yang lagi tidak mood (tentu saja dari jauh, sebelum bertemu), walaupun sudah menunggu lama. Tidak apa-apa, lebih baik besok bertemu lagi dari pada hari ini bertemu tapi gagal total. Lalu?
Cari section atau special issue tertentu yang cocok dengan tulisan. Mengapa? Biasanya pengelola jurnal meng-hire academic editor beberapa bulan untuk mereview. Oleh karena itu dapat dipastikan proses accepted akan cepat, tentu saja rejected nya juga cepat (hi hi). Tapi tidak apa-apa kan, dari pada sudah lama, ditolak pula. Yang unik dari pengalaman saya adalah adanya ego keilmuwan. Yaitu ego suatu disiplin ilmu terhadap disiplin ilmu lainnya. Saya termasuk kategori multidisiplin, yaitu informatika yang meriset bidang environment dan GIS. Mengapa unik? Di sini saya mengajukan dua tulisan yang sama tetapi dengan dua judul yang berbeda tetapi tidak jauh berbeda isinya di jurnal yang sama, yang pertama ditolak tetapi ketika mengubah judul dan sudut pandang dari sisi keilmuwan jurnal yang dituju (environment dan GIS) akhirnya diterima. Tentu saja dengan susah payah melawan pertanyaan reviewer.
Dengan judul bernada IT ditolak tetapi dengan nada Urban environment lolos di jurnal yang memang tentang urban. Tapi mungkin faktor lain, bisa saja, doa orang tua, amal ibadah, dan lain-lain. Akhir kata, janji kampanye saya waktu minta persetujuan publikasi waktu itu pun ditagih, advisor meminta publikasi kedua. Alhamdulillah, karena syarat lulus minimal satu publikasi, jadi publikasi kedua tidak wajib dan boleh setelah lulus. Tidak apa-apa kan, yang penting janji kampanye tetap dipenuhi lho.