Dunia selalu berubah, dan hanya satu yang tidak berubah yaitu perubahan itu sendiri. Jika tidak mengikuti perubahan maka pasti akan tertinggal. Beberapa perusahaan papan atas banyak yang mengalami kemunduran bahkan kehancuran karena kurang mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi di era teknologi informasi yang cepat saat ini. Padahal beberapa tahun yang lalu perusahaan itu menguasai dunia. Dalam bukunya disruption, Prof. Renald Kasali membahas hal tersebut dan ada hubungannya dengan teknologi informasi yang berkembang pesat saat ini (lihat ulasannya di kompas). Sebenarnya bukan kita yang tidak maju, melainkan orang lain/pesaing jauh lebih pesat majunya. Henry David Thoreau berkata: Things do not change; we change.
Ketika lulus kuliah dan gagal melamar kerja di perusahaan-perusahaan besar, saya terpaksa banting stir menjadi dosen. Memang tidak dapat dipungkiri, karir dosen di jaman saya merupakan pilihan kedua (kalau bukan yang terakhir) dibanding bekerja di perusahaan-perusahaan swasta besar atau menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tetapi saat ini sudah banyak mahasiswa yang berkeinginan menjadi dosen karena memang kesejahteraannya mulai diperhatikan negara (tunjangan serdos, riset, beasiswa, dan sebagainya) dan tentu saja harus berniat mencerdaskan bangsa.
Waktu itu di sekitar tahun 2002 teknologi masih belum terlalu berkembang seperti saat ini. Google pun masih meraba-raba arah perkembangannya. Salah satu MEDSOS yang saya ikuti baru “friendster”, itu pun pasif mengingat akses internet yang masih sulit saat itu. Dan menjadi dosen hanya butuh membaca buku pelajaran yang pernah dipelajari waktu kuliah dulu. Siswa pun sangat mengandalkan ilmu dan informasi yang kita miliki.
Begitu perkembangan teknologi informasi mulai terlihat, google yang waktu itu hanya berupa pencarian kata kini sudah menjadi andalan dalam menggali informasi yang dibutuhkan. Bagi dosen hal ini bisa menguntungkan tetapi bisa menjadi bumerang, terutama dosen-dosen yang kurang update (KUDET). Sialnya lagi saya mengajar di bidang informatika yang mengharuskan update terus, terutama teknologi-teknologi terkini.
Siswa SD pun bisa melakukan searching di google jika ingin mengetahui informasi tertentu yang bahkan guru-nya pun bisa jadi belum mengetahuinya. Seringkali saya diminta anak saya mencari informasi di google untuk PR dari guru di sekolahnya. Bagus-bagus saja menurut saya, karena bukan dari hasil pencarian/jawaban yang terpenting melainkan “keingintahuan” sebagai modal untuk mempelajari sesuatu.
Salah satu tokoh yang merupakan ikon dari kejeniusan adalah Prof. Albert Einstein. Einstein ketika sekolah kerap menjengkelkan guru/dosen karena keingintahuannya yang tinggi. Bahkan beberapa profesor menolak membimbing/menjadikan asisten karena sifatnya itu. Tetapi saat ini jangan khawatir, karena literatur-literatur banyak beredar di internet, dari buku, jurnal, blog, dan lain sebagainya sehingga tidak perlu banyak bertanya, tinggal searching saja. Mungkin hal-hal berikut ini yang sering saya lakukan bisa menjadi pertimbangan pembaca sekalian. Oiya, silahkan komentar di bawah jika kurang setuju atau ada hal-hal lain yang bisa ditiru.
Menguasai bahasa Inggris. Bahasa ini merupakan salah satu bahasa yang paling banyak digunakan di internet saat ini. Dengan menguasai bahasa ini maka sudah dipastikan kita dengan mudah mencari informasi-informasi yang ada. Jika Anda betah membaca translate aneh (dengan google atau sejenisnya) ya tidak apa-apa sih.
Membaca Cepat. Seberapa cepat kah kita membaca? Sulit juga mengukurnya. Tetapi bagi Anda yang pernah ikut ujian saringan masuk di kampus-kampus terkenal di Indonesia, misalnya universitas Indonesia, maka Anda pasti tahu seberapa cepat kita dituntut memahami suatu bacaan. Saya sendiri sempat berfikir waktu mengikuti test TPA, terutama bagian reading, apa benar ada yang bisa menjawab dengan cepat tulisan beberapa halaman itu (dalam bahasa Inggris). Mungkin memang itu tuntutannya, sepertinya UI tidak mungkin asal bikin soal tanpa mengukur kecepatan membaca calon siswa yang dites.
Menulis dengan Cepat. Mungkin ada yang tidak setuju, tetapi saya sudah menerapkannya dan cocok. Dengan menulis cepat, Anda otomatis membaca dengan cepat pula. Berbeda dengan membaca menulis membutuhkan manajemen yang rapi. Anda mungkin membaca cepat, tetapi jika bukan penulis yang cepat, saya yakin Anda kurang bisa melakukan manajemen terhadap informasi yang masuk. Saya ingat ketika sidang tesis, penguji saya (pa romi), mengkritik saya karena tidak bisa menunjukan tulisan yang saya yakin pernah baca. Jadi tulislah dengan cepat informasi-informasi yang masuk ke Anda saat itu juga, karena otak/ingatan ada batasnya. Selain itu dengan kebiasaan menulis, Anda sudah terbiasa memahami pola-pola suatu tulisan dan mencari dimana letak-letak poin penting dari sesuatu yang Anda baca. Tentu saja jadi bisa mengetahui “amburadul”-nya tulisan siswa-siswa bimbingan yang tidak terbiasa menulis tetapi biasa copy-paste.
Multi-disiplin. Ini merupakan obat mujarab untuk saya yang kurang “brilian” dibanding rekan-rekan saya. Mula-mula saya masuk ke dunia Computer Science murni, dan sempat satu semester masuk doktoral ilmu komputer. Tetapi karena kurang kuat bersaing dengan anak-anak muda dari negara lain akhirnya saya memutuskan untuk pindah haluan ke Information Management yang lebih lebar karena bisa memasuki wilayah-wilayah (disiplin) ilmu yang lain. Ketika tidak sanggup berkontribusi terhadap bidang kita, kita bisa berkontribusi menggunakan bidang kita terhadap bidang lainnya, yang terkadang lebih membutuhkan. Di sini fikiran terbuka (open minded) sangat diperlukan, dan tentu saja seperti di saran kedua di atas, membaca cepat sangat dibutuhkan karena kita harus memahami bidang-bidang baru lainnya karena sifat multi-disiplin. Tentu saja jangan terlalu jauh dari core ilmu kita dan road map riset yang kita tekuni.
Rendah Hati. Ada pepatah yang mengatakan di atas langit ada langit. Artinya kita tidak boleh sombong karena mau tidak mau saat ini kolaborasi/kerja sama sangat penting. Lihatlah tulisan-tulisan ilmiah, pasti ada bagian reference yang berisi sumber-sumber referensi yang mendukung tulisan tersebut, selain tentu saja acknowledgement terhadap pihak-pihak tertentu. Pertukaran informasi saat ini mungkin bisa melalui hubungan orang per orang. Tidak semua bisa diakses lewat google. Bagaimana kita berhubungan dengan periset-periset lain sangat menentukan informasi yang kita terima. Beda dengan google apa yang kita minta selalu diberikan, dengan manusia sedikit berbeda karena ada faktor lain yang menentukan diterimanya suatu informasi penting, yaitu kerendahan hati. Bagaimana menggunakan bahasa yang baik sangat menentukan diterimanya kita di suatu komunitas/forum/millist bidang tertentu. Kerendahan hati juga mengandung arti bahwa kita merasa selalu sebagai pemula. Dan salah satu karakter pemula/beginner adalah mudah bertanya dan selalu ingin tahu.
Menikmati Kehidupan. Yang terakhir ini hanya tambahan dan iseng-iseng saja. Tetapi ini saya praktekan karena bermanfaat dalam implementasi prinsip keingintahuan di atas. Prinsip keingintahuan pada dasarnya membuat pertanyaan yang tidak diketahui kemudian mencoba mencari jawabannya baik lewat analisa, sintesa, uji coba, maupun men-searching dari sumber lain. Kalau Einstein yang ber-IQ 200-an sih tidak masalah, selalu bisa menjawab. Lha bagaimana dengan saya yang pas-pasan, makin banyak saya belajar, makin banyak pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa saya jawab (solved). Jika diambil hati bisa stres sendiri. Oleh karena itu, sebagai saran ya nikmati saja ketidaktahuan yang dialami, nikmati kehidupan yang ada, sebelum akhirnya, karena mungkin Allah kasihan, doa orang tua, doa keluarga, doa pihak kampus tempat saya bekerja yang kasihan ga lulus-lulus, entah mengapa muncul sendiri jawabannya .. waks.
Source foto: https://id.wikipedia.org/wiki/Albert_Einstein. Ternyata bukan photoshop ya.