Bagi rekan-rekan yang sedang riset, apalagi yang sedang mulai menulis laporan (skripsi, tesis, disertasi, dan sejenisnya), pasti pernah melaksanakan studi literatur. Studi literatur membutuhkan sumber bacaan yang lumayan banyak. Sebenarnya banyak tidak masalah, hanya saja terkadang kita tidak tahu sumber bacaan mana yang bermanfaat dan kita pakai sebagai rujukan. Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan membaca dengan cepat suatu tulisan ilmiah (buku, jurnal, atau sumber bacaan dari internet).
Salah satu saran dari dosen ketika saya ambil master dulu adalah membaca judul, abstrak, dan hasil/kesimpulan. Lumayan juga dengan cara seperti itu, banyak jurnal yang berhasil saya baca. Tetapi cara itu berguna ketika men-sortir mana tulisan yang bermanfaat untuk riset yang dijalankan saat ini dan mana yang tidak ada hubungannya. Dan ketika menulis disertasi, mau tidak mau harus memahami seluruh tulisan yang sudah disortir yang bisa mendekati seratus artikel. Oiya, itu satu jurnal yang akan kita publikasikan, padahal disertasi bisa lebih dari satu jurnal isinya. Tidak ada pilihan lain, membaca cepat adalah solusinya.
Membaca mirip kebiasaan-kebiasaan lainnya, perlu dilatih. Sebenarnya sejak TK/SD kita sudah biasa membaca, hanya saja ketika SMA/Kuliah kurang efektif dalam membaca. Untungnya tuntutan untuk membaca tidak terlalu tinggi, kecuali yang memang mengambil jurusan sastra ketika kuliah dulu. Terus terang saya, yang orang teknik, tidak begitu mahir membaca. Tetapi jika dibandingkan dengan dulu waktu S1 atau S2, saya merasakan peningkatan kecepatan membaca, entah apa sebabnya, saya masih mencari tahu. Mungkin alasan berikut ini yang menyebabkan meningkatnya kecepatan membaca, walaupun belum pasti dan butuh riset oleh psikolog.
Tuntutan untuk Membaca
Ini mungkin penyebab meningkatknya kecepatan membaca. Karena dipaksa membaca untuk studi literatur mau tidak mau harus meningkatkan baik kualitas maupun kuantitas bacaan. Tuntutan itu juga menyebabkan saya harus memahami apa yang saya baca. Kalau sekedar menghabiskan bacaan sih tidak masalah, tetapi kalau banyak yang dibaca tetapi tidak paham juga ya percuma saja. Kemampuan bahasa Inggris, khususnya readingí merupakan skill wajib bagi yang ingin publikasi di jurnal internasional.
Tuntutan karena Menulis
Untuk bisa menulis, orang harus membaca. Tidak mungkin bisa menulis tapi tidak bisa membaca. Orang yang lancar menulis biasanya membaca suatu artikel lebih cepat dibanding yang kesulitan mengarang suatu tulisan. Ketika menulis terkadang kita terinspirasi dari suatu tulisan yang dibaca, baik dari teknik menyampaikan, gaya bahasa, atau sekedar urutan formal suatu karya ilmiah. Postingan yang lalu sudah dibahas teknik menulis yang baik, salah satu aspek yang terkenal adalah flow. Jika kita sudah memahami prinsip “mengalir” tersebut, dipastikan kita cepat membaca suatu tulisan, otomatis seperti robot. Tentu saja tulisan yang mengalir juga, dan jika dijumpai tulisan “berantakan” yang kita baca biasanya kita jengkel, apalagi ketika berperan sebagai reviewer.
Tuntutan sebagai Reviewer
Seorang reviewer dituntut untuk selain kecepatan membaca, juga kejelian dan kritis terhadap suatu ide. Reviewer bisa mereview suatu tulisan artikel (editor atau peer-review) maupun dosen yang membimbing skripsi/tugas akhir mahasiswa. Jika lambat membaca dipastikan akan keteteran dalam mereview suatu tulisan. Kemampuan menangkap suatu gagasan dengan cepat, merupakan syarat yang mutlak. Mata tidak hanya berfokus ke kata, atau kalimat, bahkan beberapa paragraf bisa dibaca dengan cepat.
Hobi
Untuk yang satu ini sepertinya masih kontroversial. Hobi di sini maksudnya adalah hobi membaca atau menulis. Satu referensi yang saya baca malah tidak percaya ada orang yang hobi-nya membaca. Tapi tidak ada salahnya juga membaca dijadikan hobi. Bukan hanya bacaan ringan (novel, surat kabar, media sosial, dll) tetapi coba ke artikel-artikel ilmiah dijadikan hobi juga.
Kursus/Seminar/Workshop
Terus terang saya berkali-kali ikut workshop tentang menulis. Tapi belum pernah workshop membaca. Menarik juga sih jika ada. Dan dari pengalaman yang sudah-sudah, mengikuti workshop tetapi tidak dipraktekan, sepertinya tidak begitu berhasil. Mungkin ada saran lain yang lebih oke, bisa dishare di sini. Selamat membaca.