Baru kali ini saya mengikuti acara rapat kerja nasional (rakornas) asosiasi perguruan tinggi informatika dan komputer (APTIKOM) tahun 2017. Keikutsertaan saya karena mewakili pejabat (ketua jurusan) teknik komputer di kampus saya yang tidak bisa hadir dan juga karena saya sekalian presentasi seminar internasional ICIC 2017 yang menyertai acara tahunan itu. Alhamdulillah, paper yang saya buat diajukan untuk dipublish di jurnal internasional terindeks scopus. Postingan ini tidak bercerita hal-hal teknis dan akademis melainkan suasana di rapat kerja tahunan asosiasi tersebut.
Seminar ICIC 2017
Judulnya sih biasa-biasa saja, tetapi di lapangan sungguh luar biasa. Bayangkan, peserta yang hadir banyak yang doktor dan profesor, sementara saya masih menanti disertasi yang rencananya dikoreksi profesor dari nagoya univ. Berikut yang terasa dari acara yang baru pertama kali saya ikut.
Antara “pe-de” dan minder
Jangan terlalu percaya diri dan jangan pula terlalu minder, biasa saja. Itulah nasihat yang bisa dicoba saat ini. Mengapa? Untuk menjawabnya bisa mundur jauh beberapa tahun ke belakang. Di era 90-an dan awal 2000-an pakar-pakar IT masih sedikit dan cenderung didominasi oleh pakar tertentu dan kampus tertentu saja. Saat ini ketika perkembangan IT yang merambah ke mana-mana dan membuat heboh dan tumbangnya raksasa-raksasa bisnis, tidak ada satu pakar pun yang menguasai seluruh ilmu informatika dan komputer (infokom). Tiap orang yang menggeluti IT memiliki kelebihan khusus yang tidak dimiliki oleh orang IT yang lain. Bukan maksudnya menghibur diri, tetapi memang demikian.
Minder karena masih master atau bahkan sarjana? Sepertinya tidak. Jika memiliki kualifikasi keahlian level 9, seorang Susi Pudjiastuti yang hanya tamatan SMP setara dengan gelar doktor. Sarjana dan master “jaman now” sebaiknya memperhatikan hal itu, kecuali tentu saja yang memang berniat kuliah lagi ke jenjang doktoral.
Semoga bisa ketularan
Minder karena homebase di kampus-kampus level bawah? He he .. nyindir diri sendiri. Tetapi saat ini orang melihat kepakarannya bukan homebase-nya. Kalo tidak percaya searching saja di “forlap” Dikti homebase pakar2 IT, pasti banyak yang dari kampus biasa saja. Tapi kebanyakan sih dari kampus ternama, tapi setidaknya orang melihat kepakarannya bukan kampus tempat dia bekerja, apalagi status kepegawaiannya.
Terlalu percaya diri karena jago bahasa pemrograman tertentu atau bidang tertentu? Nanti dulu. IT itu bidang yang dinamis dan cepat sekali usang. Tadinya cloud computing, ternyata saat ini diambil alih oleh internet of things. Banyak anak-anak ABG yang bergelar doktor baru dan memiliki keahlian-keahlian tertentu yang bikin mulut saya mangap, he he.
Antara temuan dan terapan
Seperti disebutkan dalam buku disrupsi karangan Rhenald Kasali, bahwa perkembangan IT ada dua jenis yaitu dari nol ke satu dan dari satu ke-n. Beberapa ahli IT bermain di nol ke satu, dalam artian menemukan hal-hal baru. Bukan hanya ahli dalam artian individual, bisa juga korporasi seperti facebook, google, amazon, dan raksasa-raksasa IT menemukan “mainan” baru (nol ke satu). Beberapa orang IT bermain di sisi satu ke-n, dalam hal ini menyebarkan temuan-temuan dari orang yang bermain nol ke satu. Grab, gojek, bukalapak, dan sejenisnya memainkan perang dari satu ke-n. Termasuk yang mengembangkan ilmu-ilmu non infokom dengan bantuan infokom, seperti e-learning, sistem informasi geografis, kedokteran, dan lain-lain. Riset terkini bermain antara temuan dan terapan. Oiya, tidak ada pertanyaan “bodoh” dalam bidang terapan. Justru para peneliti menggandeng pertanyaan-pertanyaan yang bisa dikategorikan “Aset” itu. Aset karena bisa dijadikan sumber inspirasi yang terkadang tidak mungkin menjadi mungkin. Facebook, twitter, instagram, hingga grab dan gojek, mungkin berasal dari pertanyaan2 aneh pengguna.
Dengan Prof Tedi Mantoro, masih jago bahasa Thai-nya
Menurunnya persaingan antar lembaga
Berbeda di era 90-an dimana antar kampus saling bersaing, dan terkadang sikut-sikutan, saat ini sepertinya mereka berangkulan. Perpindahan dosen dari satu kampus ke kampus lainnya pun biasa terjadi dan tidak ada benci dan dendam, biasa saja. Mungkin kesadaran akan ketertinggalan dalam hal riset dengan negara tetangga merupakan satu pemicu. Memang sudah jadi tuntutan antara peneliti dari Indonesia saling dukung mendukung (riset lanjutan), ditandai dengan saling sitasi antara sesama peneliti tanah air. Dulu mungkin gengsi atau menganggap saingan/kompetitor jika mensitasi rekan sendiri, saat ini tidak lagi, karena negara lain sudah tidak menganggap rekan sesama peneliti sebagai saingan. Heran juga saya melihat h-index jurnal di kampus yang masih nol dan bahkan tanpa ada yang mensitasi, padahal ketika saya lihat isinya ga jauh berbeda satu sama lain. Harusnya riset terdahulu terus dikembangkan, apalagi jurnal-jurnal lokal yang berisi hasil penelitian mahasiswa dimana junior cenderung melihat hasil seniornya.
Lembaga akreditasi mandiri
Selama ini kampus diakreditasi oleh badan akreditasi nasional (BAN) PT. Satu bidang, misalnya kampus kesehatan, sudah tidak diakreditasi lagi oleh BAN PT, melainkan oleh lembaga akreditasi mandiri (LAM) Kesehatan. Dan untuk bidang infokom, sudah 95% LAM infokom siap dijalankan yang artinya siap mengucapkan selamat tinggal ke BAN PT dengan aplikasi online-nya (SAPTO).
Jadi ketika yang mengakreditasi berasal dari asosiasinya sendiri, sepertinya akan mengakomodir kebutuhan bidangnya masing-masing. Tidak ada gunanya sikut-sikutan, rugi sendiri seperti kejadian beberapa tahun lalu ketika dinilai jelek akan membalas memberi nilai jelek, akibatnya jadi tidak obyektif. Sepertinya jika sistemnya rapi, jelas, dan lengkap, hasilnya akan obyektif dan borang tidak lagi “bohong dan ngarang”.
Mungkin itu sedikit gambaran yang ada di rakornas, selain seremonial dan laporan dari aptikom tiap wilayah serta seminar (internasional dan nasional). APTIKOM bisa dijadikan alat mediasi dengan pemerintah, apalagi kepala BAN PT saat ini adalah orang APTIKOM juga (Prof Chan). Masalah aturan-aturan pemerintah (Ristek-Dikti) yang terkesan memberatkan, ada baiknya mengikuti saran Prof R. Eko Indrajit, anggap saja seperti “game” yang versi berikutnya lebih menantang dari sebelumnya dan membuat game lebih menarik, bukannya memberatkan. Terhadap asosiasi-asosiasi, misalnya dalam hal okupasi dan profesi, pemerintah mulai mendengarkan, dan tidak ada lagi kejadia seperti lirik lagu yang saat ini sering saya dengar “.. sayang, apa kowe krungu, jerit e atiku ..”. Sekian laporan pandangan mata rakornas kali ini, semoga bisa ikut lagi di Palembang tahun depan.
Lha .. pulangnya bareng personel srimulat yang tersisa (Tesi, Nurbuat, Polo)