Hati-hati dengan Hati – Yang tak Berlogika

Kita mengenal logika yang berisi postulat-postulat tentang penarikan kesimpulan, seperti jika x maka y, dan sejenisnya. Bagaimana dengan hati manusia? Apakah ada logikanya, seperti kecintaan seseorang terhadap orang lain, atau sebaliknya kebencian? Mungkin cerita di bawah ini bisa menginspirasi.

Luka Hati yang Sulit Terobati

Di sini ceritanya dalam dunia akademis, cerita dari teman sekelas saya di information management. Seorang profesor yang terkenal ramah dan baik terhadap para mahasiswanya bercerita bahwa dia dulu tidak seperti yang tampak seperti saat ini. Sebagai seorang “super cerdas” banyak makan korban, baik dalam nilai maupun sidang skripsi. Suatu ketika dia menyidang seorang mahasiswi. Logikanya yang canggih membuat si mahasiswi mati kutu, namun ada satu statemen-nya yang “mengena” ke diri mahasiswi tersebut. Sidang berjalan lancar dan si mahasiswi dinyatakan lulus.

Beberapa waktu kemudian ada kabar bahwa si mahasiswi tersebut tidak mendaftar wisuda. Dan lebih mengejutkannya lagi, ijazah tidak diambilnya. Berita tersebut sampai ke profesor itu, dan meminta pihak kampus menyerahkan langsung ijazah. Namun, bahkan si profesornya sendiri yang memberikan, si mahasiswi tersebut tidak mau menerimanya. Aneh bukan? Di satu sisi banyak yang “beli ijazah” tapi di sini ketika hati yang terluka, tidak ada harganya sama sekali suatu ijazah sarjana. Sejak saat itu dia tidak akan lagi melukai hati mahasiswanya.

Yang Sulit Dimengerti

Saya menerima warisan buku “gratis” dari senior yang menghilang dari kampus. Buku yang sangat bermanfaat tentang sistem informasi geografis yang membantu saya menyelesaikan naskah disertasi. Kabarnya pihak kampus tidak bisa menghubungi lagi karena memang mahasiswi, yang lagi-lagi wanita itu tidak ingin lanjut. Padahal tinggal sedikit lagi menyelesaikan tesis yang sudah dibantu oleh pembimbingnya, cerita dari teman dekatnya, dan segera memperoleh master (M.Sc). Namun logika tidak sanggup menjawabnya.

Yang lebih mengejutkan adalah kabar meninggalnya senior saya, seorang mahasiswi doktoral, yang tinggal sedikit lagi menyelesaikan kuliahnya karena tugas terberatnya, publikasi di jurnal internasional, sudah selesai. Waktu berganti, bahkan saya sendiri yang sudah 4.5 tahun tidak mengenal langsung wajahnya karena dia tidak ada kabar semenjak saya datang. Biasanya, jika syarat publikasi terpenuhi, disertasi dapat diselesaikan paling lama setahun, atau bahkan ada yang sudah disertasinya dan tinggal nunggu publikasi. Rekan-rekan saya tidak ada yang sanggup memahaminya, yang melepas begitu saja gelar doktoral (Ph.D) bahkan hingga akhir hidupnya. Saya dan mungkin pembaca pernah ada luka di hati ketika kuliah/belajar, misalnya ketika sidang master dulu saya sempat “terluka” dengan kata-kata hinaan dosen penguji, yang padahal tadinya tokoh panutan saya.

Ada beberapa kejadian baru-baru ini yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang tokoh, terutama terhadap seorang wanita. Memang saat ini tidak ada lagi masalah gender yang berarti, tapi tetap saja seorang wanita memiliki hati yang berbeda, yang sebaiknya tidak sampai terluka, apalagi hinaan yang mengarah ke fisik dan kecantikannya, seperti kata-kata pesek, jelek, dan sejenisnya.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.